Friday, November 27, 2020

One weekend in Solo and Wonogiri

 




Tumben-tumbenan anakku mengajak dolan, (biasanya aku yang mengajaknya), karena dia merasa perlu ambil cuti dari kantornya. Di kantornya yang ini, triconville, dia sudah bekerja selama 2 tahun. Dan seingatku dia belum pernah ambil cuti, kecuali tahun lalu waktu kita perlu ke Cirebon, Yusdi sakit dan kemudian Yusdi meninggal. Di luar 2 hari itu, Angie belum pernah mengajukan cuti.

 

Setelah dia bilang mau ambil cuti satu hari, Angie nanya ke aku, "Mama mau mengajak Angie dolan kemana?" wow, aku syukaaa sekali, lol.

 

Sabtu 21 November 2020

 

Kita meninggalkan rumah menuju Solo pukul 10.30, bukan hanya kita berdua, tapi bertiga bersama Fitri, kawan Angie yang sering menemani kita dolan bareng. Fitri 'dibutuhkan' untuk memboncengkan Ranz, plus menemani Angie jika aku sedang ngobrol panjang lebar dengan Ranz. Hihihi …

 

Fitri itu tukang ngebut, kata Angie. Tapi naik motor keluar kota bareng Angie, dia bisa sedikit mengerem kebiasaannya ngebut. Dari Semarang sampai Salatiga kita tidak berhenti. Begitu melewati kampus Satya Wacana, Angie bilang dia butuh istirahat sebentar, untuk meredam tangan yang terus menerus kesemutan. Kita pun mampir di satu minimarket dimana aku beli cappuccino, untuk Angie, dia kubelikan cold brew. Setelah beristirahat kurang lebih 30 menit, kita bertiga melanjutkan perjalanan. Kita sampai rumah Ranz sekitar pukul 13.40.

 

Menjelang pukul tiga sore kita keluar, yang pertama kita lakukan adalah makan siang (yang kesorean ya, lol). Aku mengajak Angie dan Fitri untuk mampir ke warung makan milik adiknya Ranz. As usual, aku memilih menu soto ayam, Ranz soto sapi, Angie dan Fitri memesan ayam goreng kremes. Setelah selesai makan, sekitar hampir pukul empat sore, kita menuju destinasi kita pertama.

 

Gedung Joeang '45

 

Ranz pertama kali mengajakku kesini bulan Agustus 2020, 3 bulan lalu. Aku suka dengan disain gedung lawas ini dan langsung berpikir pasti Angie suka jika kuajak kesini.

 

Setelah kekenyangan makan siang, untuk masuk Gedung Joeang, kita harus beli es krim sebagai tiket masuk, maka kita memilih es krim dalam ukuran 'petite' yang paling kecil. Memang benar, Angie dan Fitri langsung terlihat antusias untuk berfoto disana disini, disini disana.

 







Suasana Gedung Joeang jauh lebih ramai ketimbang saat aku dan Ranz kesini bulan Agustus lalu. Meski ramai, kita masih bisa mengusahakan jaga jarak dan menghindari kerumunan, don't worry be happy. Di masa pandemi covid 19 ini, itu penting sekali, selain mengenakan masker dan mencuci tangan ya. Jadi, aku merasa tidak papa dolan kesana kemari asala 4 M itu kita praktekkan.

 




Cuaca mendung, tapi masih cukup ada cahaya di halaman belakang Gedung Joeang yang luas itu, karena kita kesitu masih cukup sore.

 

Kita meninggalkan Gedung Joeang tak lama setelah adzan maghrib berkumandang. Kita menuju destinasi yang kedua.

 

NDalem Gondosuli / Saudagar Laweyan

 

Ranz mengajakku kesini pertama kali bulan September, saat aku ke Solo untuk 'menjalankan' jamselinas 10 yang diselenggarakan secara virtual. Aku juga langsung membayangkan Angie bakal suka dengan gedungnya yang nampak lawas namun megah itu.

 

Setelah memarkir motor, kita masuk area, Angie berbisik, "Ma, kayaknya Angie sudah bermimpi kesini!" nah kaaan, she loves this place.

 

Seperti bulan September lalu, aku kembali memilih menu kopi cendol, Ranz coklat, sedangkan Angie dan Fitri memesan menu yang sama, entah aku lupa namanya. Selain itu, Ranz juga memesankan chicken wings, dan aku pesan vegetable rolls, sejenis lumpia tapi isinya sayur-sayuran.

 






Angie dan Fitri pun sibuk berfoto-foto, bahkan juga masuk ke toko batiknya dan eksplore di lantai 2, satu hal yang belum kulakukan.

 

Menjelang pukul delapan malam kita pulang. Sesampai rumah Ranz, memarkir motor, pipis, Angie ganti kaos, kita keluar lagi jalan kaki. Setelah makan dua kali dan kekenyangan, kita butuh olahraga. Hohoho … Ranz mengajak kita jalan kaki memutar melewati Omah Lowo yang sekarang menjadi toko (museum?) Batik Keris. Menurut satu obrolan di satu media sosial, aku tahu sekarang kita tidak bisa bebas foto-foto di gedung lawas yang kembali megah setelah direnovasi. Makanya bulan Oktober lalu aku dan Ranz tidak bisa foto-foto di halaman depan Omah Lowo yang eksotis itu.

 

Setelah memotret Omah Lowo dari luar pagar (saja), kita lanjut berjalan kaki, dan … mampir ke Wedangan Pak Basuki. Aku wajib ngeteh nasgitel doooong. Untung sudah berjalan kaki, jadi lumayan, perut ga terlalu penuh-penuh amat, lol.

 

Dari Wedangan Pak Basuki, kita pulang, saat beristirahat.

 

Minggu 22 November 2020

 

Menyadari bahwa kita 'hanya' akan melakukan perjalanan naik sepeda motor (bukan sepeda yang dikayuh, lol) Ranz nampak santai pagi ini. Aku seperti biasalah, kegiatan pagiku dimulai setelah Ranz selesai mandi, lol. Angie dan Fitri gantian mandi setelah aku selesai mandi.

 

Jam delapan lebih sedikit kita pun memulai perjalanan kita. As usual, kita mampir sarapan di RM soto Hj. Fatimah di Jl. Bhayangkara. Soto ayam masakan adiknya Ranz bisa disaingkan dengan soto legendaris dari Boyolali satu ini loh.

 

 

Telaga Claket

 

Usai sarapan, kita melanjutkan perjalanan ke Telaga Claket, destinasi pertama kita hari ini. Telaga ini terletak di perbatasan antara Sukoharjo dengan Wonogiri, jadi tidak jauh-jauh amat. Kita sampai di telaga yang mungil namun cantik ini pukul 10.00. cuaca masih cukup sunny. Tiket masuk Rp. 10.000,00 per orang. Ukuran telaga ini tidak terlalu besar, dengan pemandangan satu bukit yang cukup hijau saat kita datang. Di satu akun instagram aku melihat bukit itu tandus soalnya, mungkin foto dijepret di musim kemarau. Beberapa spot instagrammable telah disediakan, meski tidak terlalu mencolok sehingga tidak menghapus keindahan utama lokasi ini: telaga.

 




Usai foto-foto (suasana lumayan banyak pengunjung, namun tidak sampai menimbulkan kerumunan), sang mentari tak lagi terlihat: mendung. Bahkan di satu sisi langit (ga tahu apakah itu Utara atau Selatan, kayaknya sih Utara) mendung tebal sekali. Hmmm …

 





Kita sempat jajan di satu warung sederhana disamping tempat parkir. Saat itu, mendadak turun hujan yang cukup lebat. Waaah … tanda perjalanan kita berhenti disini nih, ga bisa lanjut ke destinasi yang sudah kurencanakan sebelumnya.

 

Setelah hujan agak mereda, kita meninggalkan telaga Claket, meski kita tetap mengenakan mantel, in case mendadak di tengah jalan, turun hujan lebat lagi. Kita tidak jadi melanjutkan perjalanan menuju kota Wonogiri, kita kembali ke arah Sukoharjo, mampir makan siang di RM Ayam Goreng Mbah Karto Tembel.

 

 

Tara Farm dan Alas Karet Polokarto

 

Setelah makan siang (suasana restoran tidak seramai biasanya saat aku dan Ranz makan siang disini), aku dan Ranz mengajak Angie dan Fitri ke Tara Farm, satu kebun jahe merah yang terletak di dusun Sugihan, kurang lebih hanya terletak sekitar 7 kilometer dari tempat kita makan siang. Well, Tara Farm ini adalah destinasi wisata hasil swadaya masyarakat. Lumayanlah buat nambah koleksi foto-foto karena kita batal melanjutkan perjalanan ke Wonogiri.

 






Dari Tara Farm, aku mengajak ke Alas Karet Polokarto. Thanks to google maps yang memudahkan kita mencari destinasi-destinasi yang ingin kita kunjungi. Ranz tidak menolak kuajak kesini karena Polokarto ini terletak di area Bekonang, Karanganyar, jadi bisa sekalian pulang ke arah Solo.

 







Kita kembali ke rumah Ranz di area Laweyan dari Polokarto. Sampai disana sebelum adzan maghrib berkumandang.

 

Malam itu kita makan malam di daerah Penumping, aku memilih menu paklay, Angie bakmi godog, Fitri mihun nyemek, Ranz bestik lidah.

 

Aku, Angie, dan Fitri pulang ke Semarang hari Senin pagi. Sebelum Ranz berangkat ke kantor, aku dan Angie meninggalkan rumahnya, sementara Fitri lebih pagi lagi, pukul lima pagi.

 

Sampai ketemu di kisah kita berempat dolan bareng lagi yaaa.