Thursday, June 13, 2019

Idul Fitri Syawal 1440 H / Juni 2019

Untuk pertama kali dalam hidupku -- sependek ingatan yang kusimpan -- tahun ini keluarga Podungge Semarang memiliki acara keluarga: pergi ke Cirebon. Bukan untuk menengok kakakku yang sakit seperti yang kulakukan di postingan ini, namun untuk "nyekar" kata orang Jawa, alias menengok makam. Ya, kakak yang kutengok pada tanggal 17 - 19 Mei 2019 akhirnya meninggal pada hari Selasa 21 Mei 2019 pukul 13.44 WIB. :(

Latar belakang:

Kedua orangtuaku adalah sepupu -- mereka berdua menyandang nama 'fam' yang sama, yakni Podungge. Ayah konon telah merantau ke Semarang semenjak beliau lulus SD, mengikuti kakakknya yang waktu itu tinggal di Semarang. Mungkin setelah tinggal dan bekerja di Semarang selama kurang lebih 10 tahun, Ayah kembali ke Gorontalo untuk menikah. (kedua orangtuaku tidak saling kenal sebelum menikah itu.) setelah menikah, Ibu diboyong ke Semarang. Semua anak-anaknya lahir di Semarang. Semenjak mereka berdua menikah dan tinggal di Semarang, mereka tidak membiasakan 'mudik' ke Gorontalo di hari lebaran.

Waktu aku masih kecil dulu, aku ingat kadang kedua orangtua mengajak menghadiri satu acara yang diselenggarakan oleh dan untuk orang-orang Gorontalo yang tinggal di Semarang. Entah, mulai kapan acara gathering itu berhenti jadi tak ada lagi acara silaturrahmi antar orang-orang berdarah Gorontalo di Semarang. Tapi, saya masih ingat di tahun 1986 aku dan kakak adik diajak orangtua untuk berkunjung ke rumah sebuah keluarga keluarga Gorontalo waktu lebaran. Tak lama kemudian aku melanjutkan studi di Jogja. Tak ada lagi acara kunjung mengunjungi seperti ini lagi.

Lebaran bagi kami sekeluarga ya shalat Ied di lapangan, kemudian pulang ke rumah, saling salam-salaman (tidak ada ritual sungkeman di budaya Gorontalo), kemudian makan ketupat opor plus sambal goreng ati masakan Ibu. Setelah itu, paling nongkrong di teras menonton orang-orang lalu lalang mengenakan baju baru, satu hal yang dulu tidak pernah kupahami mengapa orang-orang lain nampak sibuk di hari lebaran sementara keluarga kami tidak. :)

6 Juni 2019

Setelah 'nyekar' di makam Ayah Ibu dan kakak pertama (yang tidak pernah kami kenal karena kakak ini meninggal di usia lima bulan karena muntaber), kami sekeluarga bersiap-siap berangkat ke Cirebon. Aku, Angie, Nunuk, (adikku persis) dan Riska (adik bungsu) bersama suami dan kedua anaknya. Kita berangkat ke Cirebon setelah berkunjung ke rumah tetangga di depan rumah, yang biasanya berkunjung ke rumah di hari pertama lebaran tatkala Ibu masih sugeng.

Kita lewat jalan tol buatan Pak Jokowi setelah kita keluar dari Mangkang. Jalan tol yang semula dibuat one way dari arah Jakarta menuju Semarang untuk memberi ruang luas pada para pemudik, kali itu sudah buka untuk dua arah. Perjalanan lancar, kita sempat istirahat di satu rest area yang kemungkinan terletak di daerah Tegal.

Kita sampai di rumah kakak ipar sekitar pukul 15.00.

7 Juni 2019

Pagi-pagi aku sempat mengajak dua keponakan jalan-jalan ke sawah (maklum, orang kota, lol) ditemani Nunuk dan Angie. Setelah pulang ke rumah, mandi, kita baru siap-siap nyekar.


Kita berangkat ke makam Kasinengan sekitar pukul 09.30.

Dari sana, istri kakakku mengajak dolan ke satu destinasi wisata bernama 'Waterland'. Waktu kesini aku baru ngeh bahwa Laksamana Cheng Ho konon juga mampir di Cirebon ketika berlayar ke Nusantara, mungkin sekitar abad 14, tak hanya mampir di Semarang, atau Surabaya.

Melihat sekilas 'Waterland' ini, aku ingat BJBR alias Bee Jay Bakau Resort yang kukunjungi bersama Ranz di Probolinggo Desember 2017. BJBR merupakan area hutan bakau / mangrove di pinggir laut. Selain berwisata menjelajah hutan bakau, pihak pengelola juga membangun cottage-cottage di atas air laut, jembatan panjang di atas laut dimana pengunjung bisa berjalan-jalan di atasnya, sembari berfoto di spot-spot yang dibuat instagrammable. Ada juga kolam yang dibuat sedemikian rupa sehingga ketika bermain air disini seolah-olah main di pantai, dengan air tawar tentu saja.






Waterland tidak ada kawasan bakaunya, namun ada cottage-cottage yang dibangun di atas air laut, selain ada restauran yang berbentuk kapal dan ada nama CHENG HO di satu dinding luar kapal. Ada dua kolam renang yang disediakan untuk mereka yang ingin bermain air . Namun karena kita tidak membawa baju berenang, kita tidak nyemplung. Selain itu, ada beberapa waha permainan sederhana untuk menyenangkan anak-anak. Tiket masuk sebesar Rp. 60.000,00 (mungkin kena 'tuslah' lebaran ya?) terasa cukup mahal jika kita kesini tanpa berenang. :D

Menjelang pukul 13.30 kita sudah kembali.



Sorenya kita sempat ke Pantai Kejawanan untuk menonton sunset. Mengapa aku memilih pantai ini karena beberapa bulan lalu kakakku sempat dibawa kesini untuk dimandikan, konon air yang ada di pantai ini bisa dipakai untuk mengobati penyakit kulit yang diderita kakakku. Nunuk yang waktu itu sedang berada di Cirebon, ikut menemani ke pantai. Katanya setelah dimandikan di pantai ini, penyakit kulit kakakku terlihat kian parah, melepuh. Tapi, setelah itu, luka-lukanya 'lepas', hingga istrinya waktu itu, konon tinggal mengusap seluruh kulit tubuhnya dengan baby oil.

8 Juni 2019

Setelah mandi dan packing, kita meninggalkan rumah kakak iparku sekitar pukul 08.00. Dia mengajak kita sarapan di RM Jamblang Bu Nur. Tapi, sesampai sana, ternyata antrian para pengunjung yang ingin makan disana mengular hingga keluar. :( Duh, padahal kita ingin segera balik ke Semarang, karena ada info yang beredar bahwa jalan tol akan dibuat one way menuju Jakarta untuk memberi ruang yang lebih lapang pada mereka yang ingin kembali ke ibu kota.

Kita tidak jadi makan di Bu Nur; kita pindah ke RM Jamblang Pelabuhan. Ternyata, sesampai sini, kita juga kudu ngantri untuk mengambil makan. :D well, maklum, lebaran yaaa. baru kali ini kita berlebaran di kota lain, bukan di Semarang. :)

Sebelum pukul 10.00 kita sudah berada di jalan menuju Semarang.

N.B.:

Waktu kakak (menjelang) meninggal, adikku sempat bertanya apakah kita akan memakamkan jenazahnya di Cirebon atau di Semarang. Adikku sempat kepikiran untuk memakamkan di Semarang. Aku pikir istrinya justru yang memiliki hak penuh untuk menentukan dimakamkan di Semarang atau Cirebon. Ketika istrinya tahu kita tidak keberatan, maka proses pemakamannya pun cepat. Aku bilang ke adik-adikku kita akan punya alasan untuk menjaga silaturrahmi dengan kakak ipar ketika kita akan menengok makam.

N.B. (2):

Jika aku mendapatkan mood yang bagus, mungkin aku akan menulis sedikit khusus tentang kakakku, Yusdi Podungge.

13.31 13-Juni-2019