Thursday, May 04, 2017

Stunning Gedong Sanga

STUNNING GEDONG SANGA!

Prolog

Gedong Sanga (atau Gedong Songo) bukanlah destinasi wisata baru buatku. Mungkin aku pertama kali kesini waktu duduk di bangku SMP bersama kawan-kawan ‘karang taruna’ satu RT. (SSShhttt ... zaman remaja dulu aku aktif ikut kegiatan dengan para tetangga lho. LOL.) Sewaktu Angie kecil, dia juga sudah kuajak kesini. Jika tidak salah ingat, minimal dua kali aku mengajak Angie kesini ketika dia masih duduk di bangku SD. Yang sekali dengan kawan-kawan kerja (ex) Stiba – Aki. Yang kedua bersama siswa-siswiku di LIA, di akhir dekade sembilanpuluhan, mungkin.

Yang tidak kuingat adalah apakah aku dulu juga menikmati pemandangan yang menakjubkan dan sangat “menghijaukan mata”. LOL. Semenjak ‘pernah menjalin hubungan’ dengan X (:D) yang katanya suka mendaki gunung, mendadak aku pun menjadi satu penikmat pemandangan yang serba hijau di pegunungan, padahal sebelumnya aku sangat menyukai pantai, memandang hamparan laut yang nampak tak berbatas itu ‘soothing’. Tapi, eh, aku masih suka pantai lho.

1 Mei 2017 adalah hari libur. Thanks to Kangmas Jokowi to make this ‘labor day’ holiday. J Aku memberi Angie dua opsi tempat: Gedong Sanga (karena aku ingin trekking sambil melihat hehijauan) atau Jepara untuk menikmati pantai. Angie belum pernah ke Pulau Panjang. J Hari Sabtu 29 April, Angie memilih Jepara. Dan dia memilih pergi di hari Minggu 30 April, agar di hari Seninnya kita bisa full istirahat di rumah. Namun ternyata kedua adikku juga telah berencana pergi somewhere. Oh well, kita berdua mengalah dengan mengundurkan kepergian di hari Senin 1 Mei 2017 saja. My Mom (Angie’s granny) sebaiknya tidak ditinggal seorang diri di rumah seharian.


Terakhir aku ke Gedong Songo sekitar akhir tahun 2014 bersama Ranz. Waktu itu, kita naik BRT sampai Ungaran. Setelah sarapan, kita lanjut ke arah Gedong Sanga dengan naik bus jurusan Sumowono. Tidak sulit untuk mendapatkan bus waktu berangkat. Namun waktu pulang, ternyata kita menunggu sampai cukup lama tak nampak bus yang sama. Maka, kita berjalan kaki hingga pasar Bandungan. Sampai sana, kita naik angkot hingga seberang pom bensin Lemah Abang. Dari sana kita naik bus AKDP dari Solo menuju Semarang.

Tak ingin mengulang kisah waktu kita ke Kaliurang – terpaksa menginap semalam di kawasan Tlogo Putri karena tidak ada angkutan pulang ke arah Jogja di sore hari – Angie benar-benar menginginkan kepastian dariku bahwa ada bus yang menuju Sumowono. LOL. Akhirnya aku mengemukakan ide : dari rumah naik motor sampai Pasar Bandungan. Kita parkir motor di tempat parkir disana, kemudian lanjut naik angkutan umum/ojek.

NOTE: jalan menuju Gedong Sanga sangat curam. Angie masih trauma waktu memboncengkan aku ke Magelang bulan Desember lalu, karena aku jatuh dua kali dari boncengannya. LOL. Bukan karena jalanan curam, tapi karena sedang tidak beruntung saja. LOL. Menurutku, naik motor dari satu kota ke kota lain, Angie lebih meyakinkan ketimbang aku, karena aku mudah terserang kantuk. LOL. (itu sebab aku lebih memilih bersepeda, ketimbang naik motor. LOL.)

Perjalanan

Kita meninggalkan rumah sekitar pukul 08.00. Perjalanan pagi itu cukup lancar. Kita mampir di pom bensin di ujung tanjakan Gajahmungkur untuk membeli BBM. Selanjutnya lancar. Aku mengantuk di boncengan Angie. LOL. Angie terkesan baik-baik saja. LOL. Kita sampai di Pasar Bandungan pukul 09.10. Setelah memarkir motor di tempat parkir, mampir toilet sebentar, kita dengan mudah menemukan angkutan setelah menyeberang dari tempat parkir.

Kondisi angkutan sudah cukup penuh, namun masih ada ‘seat’ untukku dan Angie. Kulihat kebanyakan penumpang adalah perempuan paruh baya, atau lebih tua dari itu. (Jadi ingat waktu naik angkutan umum menuju Kaliurang. Hampir semua penumpang lain rambutnya telah memutih. Namun jika dilihat dari fisiknya, semua masih nampak sehat wal afiat.)

Jarak yang kita tempuh mungkin hanya sekitar 2 – 3 kilometer, dari pasar Bandungan sampai pertigaan menuju Gedong Songo. Kita cukup membayar Rp. 5000,00 berdua. Sang sopir yang ramah memberitahu kita bisa melanjutkan perjalanan dengan naik ojek. Kebetulan di pangkalan ojek, hanya ada satu tukang ojek. Dengan kepercayaan diri yang penuh, dia menawarkan memboncengkan kita berdua bersama di satu motor. Gosh! Padahal trek sangat curam saat mendekati Gedong Sanga. Angie tak henti-hentinya berdecak kagum sembari tertawa geli. Si Bapak daebak! LOL.

Tahun 2014 lalu waktu berdua dengan Ranz, si Bapak ojek meminta kita membayar Rp. 15.000,00. Kali ini aku memberi si Bapak ojek Rp. 20.000,00. Dan aku sangat bahagia waktu melihat rona wajahnya bersinar saat melihatku mengulurkan uang sepuluh ribuan dua lembar.


Saat sampai di pelataran parkir (pukul 09.40), aku langsung bisa melihat bahwa pihak pengelola telah melakukan usaha untuk mempercantik kawasan wisata tersebut. Ada tulisan GEDONG SONGO yang dikitari bunga-bunga. Loket penjualan tiket juga nampak cukup memadai. Untuk turis dalam negeri, harga tiket Rp. 10.000,00. Untuk turis manca negara, mereka perlu merogoh kocek lebih dalam, Rp. 75.000,00.

Suasana cukup ramai. Pelataran parkir terlihat penuh dengan kendaraan bermotor para pengunjung. Aku dan Angie baru saja melewati pintu gerbang, kita sudah ditawari naik kuda. “Sayang lho bu, sudah jauh-jauh kesini kok tidak mengitari kawasan Gedong Sanga sampai candi kelima.” Kujawab, “Tentu kita akan sampai candi kelima. Dengan jalan kaki. Bukan naik kuda.” J

Oh ya, waktu masih di rumah, Angie sudah sempat bilang ke aku kalau dia tidak mau jalan sampai candi kesembilan. LOL. Langsung saja dia kuolok-olok, orang waktu masih kecil dia bisa jalan memutari kawasan itu, ga pake minta gendong, mosok sekarang sudah besar Cuma mau berhenti, entah di candi satu atau dua? LOL. Sambil kudorong semangatnya, tentu, orang Cuma 4 kilometer ini. Trekking ke Curug Lawe + Curug Benowo malah lebih jauh dan lebih ‘sulit’ treknya. Waktu trekking ke kedua curug ini, adikku menyalakan endomondo, dan jarak yang kita tempuh malah sampai hampir 9 kilometer. Trek untuk berjalan di Gedong Sanga sudah dibuatkan jalan setapak sehingga jauh lebih mudah dilewati.


(By the way, candi di kawasan Gedong Sanga ini hanya tinggal 5 candi, bukan sembilan jumlahnya.)

Letak candi pertama tidak terlalu jauh dari pintu gapura masuk. Candi pertama ini berdiri sendiri, tidak terlihat candi perwara (maupun puing-puingnya). Jika diamati dari batu-batunya, kondisi candi masih asli, belum nampak ada batu ‘baru’ seperti jika candinya merupakan hasil renovasi setelah candi yang asli runtuh.

Trek yang lumayan jauh dan melelahkan harus kita tempuh dari candi pertama menuju candi kedua. Namun pemandangan yang hijau dan hawa yang dingin sejuk sangat ‘worth’ semua energi yang harus kita keluarkan saat trekking.

Saat sampai candi ketiga, aku sempat melongok ke dalam candi (tidak ada penampakan yoni maupun lingga), aku mendapati sesajian yang nampak masih baru. Angie heran apakah sesajian baru selalu diletakkan di dalam candi setiap hari. Kupikir kebetulan saja waktu kita sampai disana, ada orang yang baru meletakkan sesajian di dalam. Ternyata benar. Tak jauh dari candi, kita melihat empat orang yang mengenakan busana ala orang Hindu Bali saat mereka sedang melakukan ritual. Berarti benar. Memang barusan ada orang yang melakukan sembahyangan dan meletakkan sesajian di dalam candi.


Kita beristirahat saat sampai di candi keempat. Tak jauh dari candi keempat ini ada pelataran yang cukup luas, di pinggirnya ada beberapa ‘gubug’ dimana beberapa orang berjualan jajan dan minuman. Aku membeli kopi hitam, Angie beli cappuccino. Kita juga membeli satu biji jagung bakar. Baru beberapa menit kita beristirahat, mendadak cuaca berubah. Jika sebelumnya panas, mendung mendadak datang. Tak lama, kabut pun datang menyelimuti. Mulai terdengar suara gemuruh di langit. Sebuah ‘peringatan’ bahwa tak lama lagi, hujan bakal datang. (Waktu dalam angkutan, para penumpang sudah mengingatkan bahwa hujan biasa turun di kawasan Gedong Sanga mulai pukul satu siang, meski sebelumnya cuaca panas.)

Meski sudah ada tanda-tanda bahwa hujan akan datang, aku dan Angie tetap menikmati perjalanan kita dengan berjalan pelan-pelan. Tetap memotret suasana dengan kamera hape kita. Hingga akhirnya titik-titik gerimis mulai turun, kita berjalan dengan agak cepat menuju pintu keluar. LOL. Thanks to the path yang sudah dibangun oleh pihak pengelola sehingga mudah bagi kita untuk berjalan, tak perlu (lagi) terpeleset karena licin. LOL.

Setelah keluar, sesampai pangkalan ojek, kita langsung disambut tukang ojek. Kali ini dua tukang ojek siap membawa kita. Karena khawatir hujan kian deras, aku langsung naik di boncengan motor seorang tukang ojek, dan aku meminta Angie naik di satu motor lain. Aku meminta tukang ojek langsung mengantar kita ke pasar Bandungan, karena khawatir bakal lama kita menunggu angkutan umum lewat selepas pertigaan menuju Gedong Sanga. Untuk dua tukang ojek ini, kita membayar Rp. 50.000,00. Untunglah kita naik ojek, karena jalanan cukup macet.

Sebelum mengambil motor di tempat parkir, kita mampir toilet dulu. Hujan turun cukup deras saat kita meninggalkan Pasar Bandungan. Sesampai Semarang, kita mampir WS untuk makan siang kesorean. LOL. Kemudian mampir ke satu gerai supermarket untuk membeli sesuatu. Sebelum adzan maghrib berkumandang, kita telah sampai rumah.

Sampai jumpa di kisah jalan-jalan Angie dan nyokapnya selanjutnya. J


LG 13.13 04 Mei 2017 

Wednesday, April 12, 2017

KE JOGJA NOSTALGIA MASA KULIAH Day 3

Selasa 28 Maret 2017 Day 3

Seperti sehari sebelumnya, aku memulai kegiatan pukul 06.00 pagi, mandi, kemudian packing. Setelah itu, membangunkan Angie.

Pukul setengah delapan kita meninggalkan penginapan. Hawanya dingin dan segar. Kita bertemu dengan serombongan wisatawan yang tentunya semalam sebelumnya juga menginap di lokasi itu.

20 menit kemudian, kita melihat penampakan angkutan umum datang. Hwaaaa ... we are safe! We would be back to Jogja! :D

Sebelum berangkat ke Jogja, aku nawarin Angie untuk mampir ke Museum Ullen Sentalu. Waktu itu aku berpikir akan mudah mendapatkan ojek di kawasan Tlogo Putri. Namun karena ternyata selama di Tlogo Putri, kita sama sekali tidak melihat penampakan seorang tukang ojek sekalipun, terpaksa kita batalkan dolan ke museum Ullen Sentalu ini. Sebagai ganti, aku menawari Angie untuk berkunjung ke beberapa candi, atau ke Tebing Breksi. How to go there? Radit telah memberitahu bahwa kita bisa menyewa sepeda motor. Beberapa persewaan sepeda motor bisa kita dapatkan di Jalan Pasar Kembang, tak jauh dari stasiun Tugu. Namun, ternyata Angie enggan kuajak jauh-jauh.

Dari Kaliurang, kita butuh waktu kurang lebih satu seperempat jam – dengan naik angkutan umum – untuk sampai di kawasan UGM. Kita berhenti di satu halte Trans Jogja di seberang fakultas Pertanian (atau perpustakaan yak?) Dari sana, kita naik Trans Jogja koridor 2 B untuk sampai di Malioboro.

Yak, sekali lagi kita jalan-jalan di Malioboro! Sekaligus beli oleh-oleh untuk orang rumah. J Kurang lebih pukul 13.00 kita telah sampai di halte Trans Jogja seberang Rumah Pintar. Setelah menunggu kurang lebih selama 40 menit, bus yang ditungguin para (calon) penumpang yang memenuhi halte saat itu tiba juga. J

Kita sampai di terminal Jombor sekitar pukul 14.30. kembali ke Semarang, kita naik bus Ramayana lagi. Jika waktu berangkat, bus lumayan sepi, kali ini, bus penuh!

Perjalanan cukup lancar, tanpa kendala satu pun. Kita sampai di Sukun saat adzan maghrib terdengar dari beberapa masjid di sekitar Sukun.

Sampai jumpa di kisah dolan Angie dan emaknya yang akan datang yak! :D


LG 12.12 05/04/2017 

KE JOGJA NOSTALGIA MASA KULIAH Day 2

Senin 27 Maret 2017 Day 2

Pukul enam pagi aku putuskan untuk meninggalkan tempat tidur untuk mandi dan siap-siap. Setelah sarapan nasi kuning yang disediakan oleh hotel, aku dan Angie meninggalkan hotel pukul setengah delapan.

Aku ingat dulu ada (banyak) angkutan menuju Kaliurang, yang berangkat dari terminal Terban, di ujung Jalan c. Simanjuntak. Aku dan Angie berjalan menuju perempatan dimana Mirota Kampus terletak. Kita menunggu angkutan di depan Fakultas Pertanian UGM. Kata Raditya, meski jarang, sekarang masih ada angkutan umum menuju Kaliurang.

Tidak lama berselang, satu angkutan umum dengan tulisan KALIURANG di kaca depan datang. Ah ... ternyata sekarang angkutan itu tidak melewati Jalan C. Simanjuntak kala meninggalkan terminal Terban, namun muter ke Jalan Cik Di Tiro. Kalau tahu begitu, kita ga perlu berjalan kaki menuju perempatan, cukup menunggu angkutan lewat di seberang RS. Panti Rapih. J

Angkutan yang kita naiki meninggalkan fakultas Pertanian pukul 07.44. dengan berjalan sangat lambat, colt menuju utara, ke arah Kaliurang. Dengan begini, aku justru bisa menikmati pemandangan di sepanjang jalan (kenangan). :D Sudah ada banyak bangunan yang berubah fungsi. Di Jakal km 4,8 dulu ada toko ARTHA, tempat orang menuju untuk membeli segala jenis kamera, film, maupun untuk ‘afdruk’ alias cetak foto. Sekarang bangunannya masih ada, namun sudah berubah fungsi. Ada warung makan yang telah berubah menjadi distro. :D Yang menyenangkan, aku masih melihat bangunan kos tempat aku tinggal tahun 2005 masih ada, tempat aku ‘berjuang’ menyelesaikan menulis tesis di tahun 2005 itu.

Sekitar pukul 08.44 angkutan sampai di satu pasar yang terletak di Jakal km 17. Semua penumpang telah turun. Tinggal aku dan Angie. Waduw, alamat kita bakal dipindah nih. Baru aku selesai berpikir begitu, sang sopir meminta kita untuk pindah ke angkutan lain. Di angkutan ini, aku melihat ada 6 penumpang lain, 5 perempuan, 1 laki-laki. Dua perempuan berkerudung,  3 perempuan lain berambut putih, si laki-laki juga berambut putih, yang menunjukkan bahwa mereka telah senior dalam hidup ini. Selain 5 penumpang, mobil juga penuh dengan barang-barang bawaan mereka, berbagai jenis sayur mayur, dan tetek bengek lain yang menunjukkan bahwa mereka (mungkin) adalah pedagang yang berjualan di kawasan Tlogo Putri, Kaliurang.

Aku bertanya dengan seorang penumpang yang duduk di sebelah Angie, jam berapa angkutan terakhir meninggalkan Kaliurang di sore hari. Jawabannya sangat mengagetkanku karena angkutan yang kunaiki itulah angkutan umum terakhir yang menuju Tlogo Putri, dan tentu sang sopir tidak akan menunggu lama. Setelah semua penumpang turun, dia akan langsung kembali ke arah Jogja.

“Sekarang jarang Mbak angkutan seperti ini dari Jogja ke Kaliurang. Dulu sih banyak. Sekarang orang-orang lebih memilih berkunjung ke Kaliurang dengan naik kendaraan sendiri, lebih leluasa mungkin ya, sehingga angkutan umum seperti ini sudah jarang yang beroperasi.”

Ok. Fixed. Berarti aku dan Angie ga bakal bisa kembali ke Jogja di hari yang sama. Kita (terpaksa) menginap di kawasan Tlogo Putri malamnya. Padahal rencana di malam kedua ini, kita akan menginap di rumah Detta – salah satu sobatku – yang rumahnya di Jalan Kaliurang km 8, sekaligus reunian, ngobrol. Bye bye Detta ... J

Di perjalanan, selepas Jakal km 22-an, aku mulai melihat beberapa lokasi yang menawarkan “lava tour Merapi”, satu hal yang ingin kulakukan. Sempat berpikiran untuk berhenti di satu lokasi yang menawarkan itu, namun, kupikir sebaiknya kita sampai di Tlogo Putri saja, yang terletak kurang lebih 25 km dari titik 0 kota Jogja. Tentu saja sambil berharap bahwa nanti di Tlogo Putri, kita bakal menemukan tempat yang menawarkan ‘lava tour’ ini.

Angkutan kedua yang kita naiki menuju Tlogo Putri ini sampai di pelataran parkir Tlogo Putri – di lembah Gunung Merapi – pukul 10.00, kurang lebih 2 jam setelah kita meninggalkan kawasan UGM.

Hal pertama yang kita lakukan setelah sampai di lokasi wisata yang berhawa sejuk ini adalah mampir ke toilet. :D Berhubung kita berdua sedang sama-sama menstruasi, kita sama-sama mudah memproduksi air kencing. LOL. Setelah itu, kita sarapan kedua. :D Sarapan nasi kuning yang kita dapatkan dari hotel Limaran kurang ‘nendang’. LOL. Di salah satu tempat makan yang ada di lokasi, aku memilih menu nasi goreng spesial, sedangkan Angie memilih indomie rebus + telur + sayur.


Usai sarapan kedua, kita masuk ke lokasi wisata yang sekarang disebut “Tlogo Muncar”. Harga tiket Rp. 6000,00 per orang. Terakhir aku kesini tahun 2011, beberapa bulan setelah gunung Merapi meletus, lokasi wisata ini masih porak poranda. Kita tidak bisa berjalan kemana-mana, kecuali hanya memutari lokasi yang terletak tak jauh dari pintu masuk. Rute trekking tak terlihat sama sekali. Rusak.

Kali ini trek menuju Plawangan tetap rusak, tak bisa dilewati. (Gosh, Angie lupa bahwa di tahun 2003, dia kuajak kesini bersama bokapnya, kita trekking menuju Plawangan!) Namun, pemda telah menyediakan menu trekking lain, yakni menuju gardu pandang Pronojiwo. Well, not bad laaah. J Jarak yang harus kita tempuh menuju Pronojiwo kurang lebih 700 meter. (Lebih pendek ketimbang trekking menuju air terjun Semirang yang 1 km. Dan ... jauuuuh lebih pendek ketimbang trekking menuju Curug Lawe. Hahaha ...)




Rute menuju Pronojiwo tidak hanya jauh lebih pendek, namun juga jauh lebih mudah dilewati. Kutengarai, tentu ini karena didukung oleh pemda yang tidak ingin lokasi wisata ini mati, tidak melulu menggantungkan kedatangan wisatawan yang datang ‘hanya’ untuk ber’lava tour’ semata. Demi kelangsungan hidup para pedagang di pelataran parkir juga tentu. Oh ya, daerah ini terkenal dengan jualan ‘jadah’ dan ‘tempe’ bacemnya.

Untuk meringankan trekking, aku dan Angie menitipkan backpack kita di tempat dimana kita sarapan. J meski ini adalah hari Minggu, kita tidak banyak melihat wisatawan yang trekking menuju Pronojiwo.

On the way balik ke pelataran parkir, kita bertemu dengan rombongan anak-anak sekolah dengan guru sekolahnya. Rupanya, anak-anak itu tetap bisa ‘having fun’ berangkat sekolah di hari ‘kejepit’ karena acaranya adalah field trip. :D

Sesampai di ‘playground’, tak jauh dari pintu masuk, maupun air terjun Tlogo Muncar, kita melihat lebih banyak wisatawan ketimbang saat kita baru datang. Bagus lah. J

Menjelang pukul 14.00 kita telah berada di tempat ‘info lava tour Merapi’. Ada 3 jenis tour, yang paling pendek berharga Rp. 350.000,00, yang tengah-tengah Rp. 450.000,00, dan yang paling panjang Rp. 5550.000,00. Kita memilih yang paling pendek, karena itu pun akan memakan waktu 2 jam.

Akhirnyaaaaaaaaaaaa. My dream come true! :D Sudah selama beberapa tahun aku memendam keinginan menjelajah kawasan yang menjadi korban keganasan letusan gunung Merapi tahun 2010!


Tiga lokasi dipilih untuk para wisatawan yang memilih jalur pendek dari ‘lava tour Merapi’ ini. Yang pertama adalah desa Petung, salah satu desa yang terparah terkena keganasan letusan gunung Merapi. Ada sekitar 3 rumah yang masih lumayan utuh dinding-dindingnya. Di rumah itu ditata banyak pernak-pernik peninggalan letusan gunung Merapi. Dari berbagai macam bahan pecah pelah, jam, gambar-gambar, sepeda motor, hingga kerangka binatang (sapi) yang dipajang. Beginilah cara orang-orang di sekitar gunung Merapi kembali bersemangat untuk survive dari letusan gunung, dengan cara memanfaatkan sisa-sisa letusan itu.


Tempat kedua yang kita hampiri adalah lokasi dimana terletak batu ‘alien’. Batu yang ‘mendadak’ ada setelah letusan gunung, yang jika dilihat dari satu sisi tertentu, batu ini ternyata ‘berwajah’, bisa kita lihat bentuk mata, hidung, hingga bibirnya. Di tempat yang sama, ada pemandangan spektakuler, yakni sungai Gendol tempat mengalir lava yang dimuntahkan oleh gunung. Oleh beberapa orang tertetu spot itu dimanfaatkan dengan menyediakan satu papan untuk berfoto-ria. Cukup dengan membayar sepuluh ribu satu orang, kita bisa berfoto dengan latar belakang bukit hijau dimana di depannya adalah sungai Gendol.

Tempat ketiga yang kita sambangi adalah Bunker Kaliadem. Aku dan Angie tidak bisa terlalu menjelajah disini karena mendadak turun hujan. Bunker ini pun menjadi korban keganasan lahar panas yang dihasilkan dari letusan gunung Merapi di tahun 2010. Ada 2 sukarelawan yang meninggal disini, terpanggang api. L


Dari Bunker Kaliadem, kita kembali ke titik semula, pelataran parkir Tlogo Putri. Dalam perjalanan, sopir jeep yang kita naiki (lupa nanya namanya :D) menawarkan kita untuk nyebur ke sungai yang kita lewati. Angie dengan bersuka cita menerima tawaran itu. Lumayan, menambah pengalaman, naik mobil jeep melewati sungai yang berair. LOL.

Kita sampai di Tlogo Putri kembali sekitar pukul 16.00 dalam kondisi hujan deras. Sopir jeep yang baik hati itu mengantar kita ke salah satu penginapan, yang terletak tak jauh dari patung Elang Jawa. Saat beristirahat.

Jelang maghrib kita keluar untuk makan malam. Penginapan itu sekaligus juga rumah makan, sehingga mudah bagi kita untuk mencari makan. J Kali ini, aku memilih menu capcay goreng, sedangkan Angie memilih bihun rebus.


Malam itu kita nonton debat paslon gubernur cawagub DKI nomor 2 dan nomor 3 di Metro TV sebelum tidur. J Hawa yang cukup dingin mengantar kita ke kelelapan yang lumayan nyaman.

KE JOGJA NOSTALGIA MASA KULIAH Day 1

KE JOGJA
NOSTALGIA MASA KULIAH

Barangkali semenjak aku mengenal ‘bikepacking’ a.k.a mbolang naik sepeda, Jogja kota tempatku kuliah, itu sebab dia menyandang gelar “my second hometown”, kukunjungi hampir tiap tahun. (2011 dalam event Jogja Attack, 2012 Joglo Attack, 2013 raceplorer dagadu plus JLFR, 2014 reuni bersama rekan kuliah S1 dan Jamselinas4, 2015 outing bersama rekan-rekan kantor, 2016 Pitulungan alias ultah JFB plus mbolang bareng anak-anak ‘pelor’, LOL, Februari 2017 ngikut J150K). Namun karena selalu (sok) sibuk dengan kegiatan ini itu, sisi nostalgia tidak begitu terasa. Kecuali pas reuni tahun 2014 itu.

Kali ini aku dolan ke Jogja, tanpa Austin maupun Snow White, namun hanya berdua dengan Angie, my Lovely Star.

Minggu 26 Maret 2017  Day 1

Aku dan Angie meninggalkan kota Semarang sekitar pukul 08.00, naik bus Ramayana dari Sukun. Perjalanan agak tersendat saat kita melewati kawasan Jambu – Ambarawa karena ada kecelakaan. Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan. Hawa di dalam bus dingin – gegara AC, di luar pun dingin. J bus tidak penuh penumpang, mungkin kurang dari 15 orang.

Bus yang kita naiki sampai di terminal Jombor sekitar pukul 11.25. Tinggal gerimis. Jika dulu dari Jombor, untuk menuju Malioboro, kita harus naik bus kota jalur 5 berhenti di Mirota Kampus kemudian berganti bus kota jalur 2 atau 4, kali ini cukup sekali naik Trans Jogja jalur 2B. (Kalau tidak salah ingat.)

Hal pertama yang membuat Angie menganggapku ‘sok tau’ Jogja, padahal telah meninggalkan Jogja sejak awal tahun 2006, adalah ketika kondektur berkata, “halte Mangkubumi 2 ... stasiun ... stasiun ...” aku mengajaknya turun dari bus. Sebagai anak yang menurut ke Emaknya, dia turun, tapi protes, “Ma ... ini kan belum Malioboro? Kok turun disini?”

Jawabku, “Yang ... kayaknya bus ini ga lewat Malioboro deh, tadi si kondektur nyebut Malioboro juga kan?”

“Iya ... tapi kan juga nyebut halte Mangkubumi 2?” protes Angie. LOL.

Namun karena jarak yang kita tempuh berjalan kaki menuju Malioboro cukup dekat, plus cuaca mendung – gerimis telah reda – Angie ga lama-lama protes. J

Perut kita berdua mulai keroncongan. Kita butuh pertolongan pertama pada perut lapar. LOL. Namun, yang pertama kali harus dilakukan adalah mencari toilet umum; kita butuh membuang yang harus kita buang. J

Kita “menemukan” toilet di samping gedung Dinas Pariwisata. Syukurlah. Setelah itu, baru kita mampir ke satu warung bakso + mie ayam untuk makan siang.


Saat makan siang, Angie melihat sepasang lelaki perempuan yang jika dilihat dari model wajahnya, mereka adalah turis dari Korea. Angie berbisik, “Ma ... itu ada turis dari Korea!” aku yang ga begitu memahami beda tekstur wajah orang Korea atau Cina atau Jepang atau mana pun yang memiliki mata sipit atau kecil, sempat menoleh ke arah dua orang yang ditunjuk Angie, sambil manggut-manggut. Ternyata, eh, ternyata, sepasang turis berwajah Korea itu mampir ke warung tempat aku dan Angie sedang makan! LOL.

Mereka duduk di meja di belakang tempat aku duduk. Sang pelayan segera menghampiri mereka sambil menyodorkan menu. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris, dan sang pelayan memahami secukupnya. J setelah itu, kudengar mereka bercakap-cakap dalam bahasa yang aku agak familiar karena sering mendengar dalam film Korea yang Angie tonton. Owh ... ternyata benar, mereka dari Korea. J

Usai makan, kita melanjutkan perjalanan. Tujuan kita adalah ke Tamansari. Waktu mencari becak yang akan membawa ke Tamansari, Angie bercerita bahwa ternyata sepasang turis dari Korea itu bukanlah sepasang kekasih atau pun suami istri. Waktu mereka ngobrol, Angie sempat mendengar, karena suara mereka cukup keras. Si cewe bilang, “Kamu jangan naksir aku lho ya. Sudah banyak cowo yang naksir aku. Kita temenan saja.” LOL. (Sebagai seorang Korean freak, maklum lah ya jika Angie belajar bahasa Korea. J )

Tidak mudah, ternyata, mendapatkan becak yang bersedia membawa kita ke Tamansari. Semua tukang becak minta harga yang cukup tinggi, berkisar antara Rp. 30.000,00 sampai Rp. 40.000,00. Namun ... pucuk dicinta ulam tiba. Di seberang benteng Vredeburg, kita ditawari seorang tukang becak dengan harga hanya Rp. 15.000,00. Waaaah ... kita tentu langsung mau! Becaknya cukup sempit (bandingkan dengan becak-becak di Semarang yang besar dan gagah LOL.) namun cukup lah untuk kita berdua berhimpitan, plus 2 backpack kita.


Sesampai di Tamansari, kuulurkan uang duapuluh ribuan kepada si tukang becak. Waktu aku dan Angie mau berjalan, dia bilang, “Sekedap mbak, jujule dereng.” (sebentar Mbak ... kembaliannya belum.) kujawab, “Kagem njenengan mawon Pak ...” (Buat anda saja Pak.) dan si tukang becak pun terlihat berseri wajahnya, dan mengucapkan terima kasih. That made my day! J

Gerimis kembali turun sebelum kita masuk ke Tamansari. Angie yang butuh ke toilet, mengajakku ke toilet dulu, sembari menunggu gerimis sedikit berkurang.

Karena aku ingin mengajak Angie ke masjid Sumur Gumuling yang terletak di bawah tanah, namun aku tidak tahu jalan menuju kesana, LOL, aku mengiyakan ketika ditawari apakah aku butuh guide. Kepada si bapak guide – yang entah mengapa di mataku nampak mirip bapak mekanik di ‘bengkel’ sepeda di Jalan Suyudono, LOL, rambut gondrongnya dan kumisnya, namun secara fisik dia lebih tinggi badannya – aku sampaikan bahwa aku ingin ke masjid Sumur Gumuling.

Bisa kau bayangkan bukan betapa ramainya Tamansari di hari Minggu, apalagi ini adalah long weekend karena ada tambahan hari libur (Nyepi) di hari Selasa, yang membuat hari Senin adalah hari kejepit. J

Bapak guide menjelaskan nama ketiga kolam yang ada di kawasan dalam Tamansari. Yang pertama disebut “umbul kawitan” yang digunakan mandi anak-anak perempuan dari para selir raja (zaman itu.) yang berada di tengah disebut “umbul sari”, kata “sari” konon berarti harum, digunakan mandi para selir. Saat para selir mandi ini, sang raja ‘menonton’ dari kamar yang terletak di atas. Setelah memilih selir yang akan menemaninya mandi, raja akan melemparkan bunga kepada selir tersebut. Langkah selanjutnya adalah selir yang terpilih itu akan mandi bersama raja di kolam yang letaknya agak tertutup dari kedua kolam yang lain, kolam ini disebut “umbul binangun”; kata ‘binangun’ memiliki arti ‘membangun’, yaitu membangun hubungan antara raja dan selir yang terpilih, dimana saat ‘membangun hubungan’ ini mungkin sang selir akan hamil dan melanjutkan keturunan sang raja. J

Setelah selesai mengitari kawasan kolam dan sekitarnya, bapak guide membawa kita menjelajah kawasan di luar, menuju masjid Sumur Gumuling. Dia juga menjelaskan bahwa para abdi dalem yang mendiami rumah-rumah di kawasan ‘magersari’ (yang berarti tanah itu secara resmi milik keraton) akan direlokasi di kawasan lain mulai tahun 2025, karena tanah di kawasan ‘magersari’ di sekitar Tamansari akan dikembalikan seperti dulu, yakni kolam.

Sang guide menjelaskan awal mula kawasan ‘magersari’ itu dipenuhi bangunan rumah yang kemudian ditempati para abdi dalem adalah saat perang kemerdekaan, para abdi dalem meminta perlindungan dari Sri Sultan dari serangan Belanda. Belanda tidak berani menyerang Sri Sultan rupanya.


Di lokasi masjid Sumur Gumuling juga penuh pengunjung, sehingga tidak leluasa bagiku dan Angie untuk motret, apalagi selfie, maupun wefie, LOL. Angie masih (sok) malu jika berfoto saat banyak orang di sekitar. (She should learn it from me! LOL.)

Sekitar pukul 15.00, kita telah kembali ke pintu masuk/keluar Tamansari. Setelah mampir toilet (lagi!) LOL, kita jajan es teh di satu warung yang ada disitu. Kebetulan gorengannya masih cukup hangat, jadi selain minum segelas es teh, aku juga ngemil 2 biji mendoan.

Kita kembali lagi ke kawan Malioboro dengan naik becak. Ada sedikit ‘incident’ waktu itu. Setelah meninggalkan warung tempat kita beristirahat dan minum es teh, aku melihat sebuah bentor (becak bermotor) datang mengantar penumpang. Aku langsung mengajak Angie naik bentor itu, setelah si tukang bentor menyetujui harga Rp. 20.000,00. Namun, ternyata ‘policy’ (tak tertulis) yang ada tidak membolehkan bentor/becak yang baru saja datang membawa penumpang yang ada di kawasan Tamansari; seorang tukang bentor yang mangkal disitu protes. Akhirnya aku turun dari bentor (yang baru datang itu) dan pindah ke bentor yang mangkal. Kita diantar sampai kantor pos, sebrang Malioboro.

Setelah itu kita jalan-jalan lagi ke Malioboro. Setelah kita rasa cukup, aku mengajak Angie berjalan ke arah Jalan Mataram, take it for granted bahwa masih ada bus kota jalur 2 yang lewat situ menuju kawasan UGM. J Ternyata, oh, ternyata I was wrong! LOL. Di tengah lalu lintas nan padat merayap, tak kulihat penampakan satu pun bus kota maupun Trans Jogja menuju arah utara. (5 tahun lalu, waktu akan mengikuti tour ke Gunung Kidul, kita masih menemukan bus jalur 2 lewat Jalan Mataram! Wait!!! 5 tahun yang lalu? Owhhh ... ternyata sudah cukup lama yaaa? Wkwkwk ...) Kelelahan membuat Angie manyun. LOL. Dia sempat bilang, “Cari penginapan di kawasan sini aja Ma! Angie sudah cape!” LOL. Aku menolak karena keesokan pagi kita berencana akan ke Kaliurang, akan terlalu ‘ribet’ jelang berangkat kesana kalau kita menginap di kawasan Malioboro.

Saat Angie cape, dan duduk beristirahat (untung ada satu tembok tempat kita bisa duduk), kulihat ada bentor yang akan melintas di tengah lalu lintas nan padat. Bless us! LOL. Aku berencana kita menginap di hotel Limaran yang terletak di belakang RS Panti Rapih.


Untunglah saat kita sampai di hotel Limaran, masih ada 1 kamar kosong. J Angie pun bernafas lega. J Setelah istirahat beberapa saat, kita keluar lagi untuk makan malam di satu warung makan yang terletak di seberang RS. Panti Rapih, kemudian berjalan kaki menuju Mirota Kampus untuk membeli beberapa barang. (hwaaa ... nostalgia nih, zaman aku ngekos di Jl. C. Simanjuntak, sering belanja disini!) 

to be continued :)