Thursday, December 25, 2008

Eating out




Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menikmati liburan bersama yang tersayang. Windowshopping dan eating out misalnya.
Sudah bertahun-tahun kita berdua--Angie dan aku--tak menginjakkan kaki di food court CL Simpanglima Semarang. Kalaupun sempat ke CL, kita makan di tempat lain, e.g fastfood restaurant yang menunjukkan kita berdua masih terjajah secara kultural oleh negara pengimpor restauran tersebut.
Nah, sebelum masuk food court yang terletak di lantai 2, aku berbisik ke Angie, "Will that woman offering ice cream be here?"
Angie mengangguk-angguk geli.
Baru saja kita berdua duduk di kursi yang kita pilih, datanglah perempuan yang kita maksud.
"Mau pesan esnya mbak?" sambil menyodorkan menu.
Berhubung kita berdua sedang menjaga kesehatan tenggorokan, aku langsung menolaknya.
"Maaf mbak. Kita sedang tidak minum dingin, maunya minum yang hangat."
Surprisingly, orang itu langsung pergi dengan takzim, tanpa ngeyel.
Dulu, beberapa tahun yang lalu, dia selalu ngeyel dan merengek-rengek kalau kita tidak pesan.
"Aha, in fact she is still here! But she looks slimmer and tidier now. Not to mention more well-behaved." kataku pada Angie.
To make our stomach full, we ordered rice and its friends, shrimp fried rice 4 Angie, hainan chicken rice 4 me.
During our meal, Angie told me the place she is going to do her social care, a drop in center special 4 people who suffer from mental disorder.
"interesting topic 4 my blog, honey! Can I join u?" I asked.
I know the answer is NO. :-(
From eating late brunch, we browsed stores, floors, etc.
Before going home, 2 hours later, I was already hungry again! LOL.

PT 56 15.35 261208

Windowshopping

Dari satu toko ke toko yang lain
Dari satu section ke section yang lain
Dari satu lantai ke lantai yang lain
Dari satu department store ke department store yang lain
...
"bentar lagi kaki Angie gempor nih Ma!"

Lah, yang ngajakin siape Neng?
LOL

CL 15.05 261208

Monday, December 15, 2008

The continuation

Setelah keluar dari ruang Wakasek, aku bercerita kepada Angie apa yang terjadi. Dengan tenang, Angie bilang, “Memang orangnya reseh gitu kok Ma.”

“Mama sebenarnya pengen ‘menjewernya’ dengan mengatakan, “Saya sebagai orang tua Dzikrina saja ga pernah membaca sms-sms di hapenya tanpa sepengetahuan dia. Apalagi sms baru masuk, itu jelas hak privasi dia untuk membaca terlebih dahulu, dan kemudian memutuskan apakah saya boleh membacanya atau tidak.” Kataku pada Angie.
Angie langsung meringis lebar.

“You should have done that, Mama!” katanya.

Well, aku punya alasan tertentu mengapa aku tidak melakukannya.
Pertama, agar dia merasa ‘senang’ karena aku membuatnya merasa berhak untuk ‘menjajah’ hak-hak privasi orang lain—dalam hal ini siswanya.
Kedua, agar dia merasa ‘senang’ karena aku menganggapnya ‘tahu permasalahan’ pribadiku lebih jauh, dan aku menganggapnya ‘berhak’ untuk itu.
Ketiga, agar dia merasa ‘senang’ karena aku menganggapnya sebagai seseorang yang ‘mature’ dan ‘wise’ saat aku membiarkannya memberiku petuah ini itu, tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya.
Keempat, ini yang paling penting, agar dia melupakan kasus Angie, agar dia tidak selalu mengingatku sebagai ortu yang ‘ngeyelan’ diberitahu seorang Wakasek. LOL. I don’t mind anyway. 
Nana memang seorang ngeyelan (ask my Abang for this LOL), wise-guy juga (LOL, ngaku!!!) plus annoying intellectual snob, yang sebenarnya ga intellectual-intellectual amat. LOL.
PT56 23.17 141208

Two sides ...

Segala sesuatu memiliki dua mata pisau: positif dan negatif, tergantung dari perspektif mana kita memandangnya. Demikian juga teknologi. Teknologi telpon selular misalnya. Di satu sisi sangat membantu seseorang yang dalam kegiatannya sehari-hari sangat ‘mobile’ sementara dia harus tetap mudah dijangkau dan menjangkau. Ini dari sisi positif. Dari segi negatif, misalnya saja, kemungkinan terkena radiasi yang cukup tinggi dari telpon seluar, seseorang memiliki kecenderungan untuk terkena penyakit ini itu, misalnya saja tumor otak, kurang suburnya sperma, dll.
Bagi para pelajar, terutama di musim ujian, teknologi komunikasi via telpon selular, baik melalui sms, maupun feature yang lain (misal, MXIT), sangat ‘membantu’ mereka untuk saling meminta dan memberi contekan. ‘Membantu’ jika dilihat dari perspektif mereka, karena meringankan beban harus belajar keras; ‘merusak’ mungkin dari perspektif guru yang mengharapkan para siswanya belajar dengan baik, dan tidak menggunakan ‘metode’ contek mencontek.
Hal ini pun dilakukan oleh seorang Angie. :-D Apakah sebagai nyokapnya aku tahu? Aku tahu banget! Seperti aku juga tahu bahwa meskipun dia tidak meninggalkan ‘budaya’ saling membantu dan meminta bantuan dalam ujian, dia tetap saja belajar dengan giat di musim-musim ujian, seperti minggu lalu. Mengapa aku diam saja? Bukan karena aku berpikir ‘Angie membantuku’ tatkala mencontek temannya atau memberikan contekan (agar memperoleh nilai bagus, sehingga ini berarti Angie membantuku kan?), namun lebih cenderung karena aku sudah cukup menghargai usaha dia untuk belajar dengan giat. Kalau ternyata yang dia pelajari tidak keluar pada soal-soal ujian, ya boleh sajalah dia mencontek temannya.
Aku ada alasan lain untuk hal ini. Sebagai seorang guru, aku lebih suka tatkala siswa-siswiku memahami suatu permasalahan dengan benar, suatu teori dengan benar, menganalisis suatu peristiwa dengan benar, dll, daripada hanya sekedar menghafalkan untuk ujian, setelah itu lupa. ‘Kultur’ pendidikan di Indonesia, hafalan jauh lebih terkenal daripada memahami suatu permasalahan, mengerti teori, maupun memahami mengapa suatu peristiwa terjadi pada satu waktu tertentu. Nampak kemungkinan para pendidik tidak mementingkan apakah anak didiknya memahami topik yang didiskusikan, yang penting mereka hafal. Ataukah mereka tidak mengerti beda hafalan dan pemahaman?
Apa resiko tatkala seorang siswa/mahasiswa lulus hanya karena hafalan saja? Ketika dia memasuki dunia kerja, dia tidak akan memahami kasus/topik atau apapun itu yang dia hadapi, karena dia hanya hafal, namun tidak paham. Ketika diberi permasalahan yang sama, namun dengan kasus lain, dia akan mudah grogi dan tidak mampu memecahkannya dengan baik.
Aku selalu menekankan pada Angie, juga para siswa/siswiku, bahwa pemahaman jauh lebih penting daripada hanya sekedar menghafalkan. Pemahaman membutuhkan waktu dan proses yang lebih panjang. Ini sebab banyak siswa/mahasiswa lebih memilih jalan pintas—menghafalkan. Hal ini juga yang nampaknya lebih dituntut dari para guru/dosen. Atau mereka berpikir bahwa jika seorang siswa/mahasiswa hafal, hal ini siswa/mahasiswa tersebut paham?
***
Beberapa hari lalu Angie sms, “Ma ... hapenya Angie disita!”
Aku langsung menelponnya—via nomor telpon temannya. “How did it happen honey?”
Bahwasanya dia tidak hati-hati tatkala menggunakan hape ketika ujian, (ketika mencontek atau pun memberi contekan tentu saja), LOL, adalah alasan utamanya.
Dua hari kemudian, aku ke sekolah Angie—yang juga almamaterku—untuk bertemu Wakasek, untuk mengambil hapenya. Tidak banyak basa basi, hanya Angie harus menandatangani sebuah surat pernyataan bahwa dia tidak akan melakukannya lagi. Aku harus ikut menandatangani surat pernyataan itu.
Setelah selesai, Angie diminta keluar ruangan, karena pak Wakasek akan berbicara khusus denganku.
Aku pikir ada sesuatu yang penting yang akan diperbincangkan denganku selaku ortu Angie; atau mungkin sekedar ‘judgmental’ character of a teacher, bahwa sebagai ortu, aku ga merhatiin anak yang contek-contekan. Dan dia akan memintaku untuk lebih memperhatikan Angie. (Biasa, ini hasil dari cara berpikirku yang terlalu cepat, LOL, atau aku ternyata memiliki sifat defensif yah? LOL.)
Ternyata ... oh ternyata ...
The vice principal talked something else.
He said he accidentally (though I don’t believe that he did it accidentally) read a new message from Angie’s dad, and fussily and nosily asked me, “Have you been separated from him?”
G-U-B-R-A-K!!!
Well ... teknologi pun telah ‘membantu’ orang asing tahu hal-hal yang dia tak perlu tahu!!!
PT56 141208