Saturday, November 28, 2020

One weekend in Solo and Wonogiri

 




Tumben-tumbenan anakku mengajak dolan, (biasanya aku yang mengajaknya), karena dia merasa perlu ambil cuti dari kantornya. Di kantornya yang ini, triconville, dia sudah bekerja selama 2 tahun. Dan seingatku dia belum pernah ambil cuti, kecuali tahun lalu waktu kita perlu ke Cirebon, Yusdi sakit dan kemudian Yusdi meninggal. Di luar 2 hari itu, Angie belum pernah mengajukan cuti.

 

Setelah dia bilang mau ambil cuti satu hari, Angie nanya ke aku, "Mama mau mengajak Angie dolan kemana?" wow, aku syukaaa sekali, lol.

 

Sabtu 21 November 2020

 

Kita meninggalkan rumah menuju Solo pukul 10.30, bukan hanya kita berdua, tapi bertiga bersama Fitri, kawan Angie yang sering menemani kita dolan bareng. Fitri 'dibutuhkan' untuk memboncengkan Ranz, plus menemani Angie jika aku sedang ngobrol panjang lebar dengan Ranz. Hihihi …

 

Fitri itu tukang ngebut, kata Angie. Tapi naik motor keluar kota bareng Angie, dia bisa sedikit mengerem kebiasaannya ngebut. Dari Semarang sampai Salatiga kita tidak berhenti. Begitu melewati kampus Satya Wacana, Angie bilang dia butuh istirahat sebentar, untuk meredam tangan yang terus menerus kesemutan. Kita pun mampir di satu minimarket dimana aku beli cappuccino, untuk Angie, dia kubelikan cold brew. Setelah beristirahat kurang lebih 30 menit, kita bertiga melanjutkan perjalanan. Kita sampai rumah Ranz sekitar pukul 13.40.

 

Menjelang pukul tiga sore kita keluar, yang pertama kita lakukan adalah makan siang (yang kesorean ya, lol). Aku mengajak Angie dan Fitri untuk mampir ke warung makan milik adiknya Ranz. As usual, aku memilih menu soto ayam, Ranz soto sapi, Angie dan Fitri memesan ayam goreng kremes. Setelah selesai makan, sekitar hampir pukul empat sore, kita menuju destinasi kita pertama.

 

Gedung Joeang '45

 

Ranz pertama kali mengajakku kesini bulan Agustus 2020, 3 bulan lalu. Aku suka dengan disain gedung lawas ini dan langsung berpikir pasti Angie suka jika kuajak kesini.

 

Setelah kekenyangan makan siang, untuk masuk Gedung Joeang, kita harus beli es krim sebagai tiket masuk, maka kita memilih es krim dalam ukuran 'petite' yang paling kecil. Memang benar, Angie dan Fitri langsung terlihat antusias untuk berfoto disana disini, disini disana.

 







Suasana Gedung Joeang jauh lebih ramai ketimbang saat aku dan Ranz kesini bulan Agustus lalu. Meski ramai, kita masih bisa mengusahakan jaga jarak dan menghindari kerumunan, don't worry be happy. Di masa pandemi covid 19 ini, itu penting sekali, selain mengenakan masker dan mencuci tangan ya. Jadi, aku merasa tidak papa dolan kesana kemari asala 4 M itu kita praktekkan.

 




Cuaca mendung, tapi masih cukup ada cahaya di halaman belakang Gedung Joeang yang luas itu, karena kita kesitu masih cukup sore.

 

Kita meninggalkan Gedung Joeang tak lama setelah adzan maghrib berkumandang. Kita menuju destinasi yang kedua.

 

NDalem Gondosuli / Saudagar Laweyan

 

Ranz mengajakku kesini pertama kali bulan September, saat aku ke Solo untuk 'menjalankan' jamselinas 10 yang diselenggarakan secara virtual. Aku juga langsung membayangkan Angie bakal suka dengan gedungnya yang nampak lawas namun megah itu.

 

Setelah memarkir motor, kita masuk area, Angie berbisik, "Ma, kayaknya Angie sudah bermimpi kesini!" nah kaaan, she loves this place.

 

Seperti bulan September lalu, aku kembali memilih menu kopi cendol, Ranz coklat, sedangkan Angie dan Fitri memesan menu yang sama, entah aku lupa namanya. Selain itu, Ranz juga memesankan chicken wings, dan aku pesan vegetable rolls, sejenis lumpia tapi isinya sayur-sayuran.

 






Angie dan Fitri pun sibuk berfoto-foto, bahkan juga masuk ke toko batiknya dan eksplore di lantai 2, satu hal yang belum kulakukan.

 

Menjelang pukul delapan malam kita pulang. Sesampai rumah Ranz, memarkir motor, pipis, Angie ganti kaos, kita keluar lagi jalan kaki. Setelah makan dua kali dan kekenyangan, kita butuh olahraga. Hohoho … Ranz mengajak kita jalan kaki memutar melewati Omah Lowo yang sekarang menjadi toko (museum?) Batik Keris. Menurut satu obrolan di satu media sosial, aku tahu sekarang kita tidak bisa bebas foto-foto di gedung lawas yang kembali megah setelah direnovasi. Makanya bulan Oktober lalu aku dan Ranz tidak bisa foto-foto di halaman depan Omah Lowo yang eksotis itu.

 

Setelah memotret Omah Lowo dari luar pagar (saja), kita lanjut berjalan kaki, dan … mampir ke Wedangan Pak Basuki. Aku wajib ngeteh nasgitel doooong. Untung sudah berjalan kaki, jadi lumayan, perut ga terlalu penuh-penuh amat, lol.

 

Dari Wedangan Pak Basuki, kita pulang, saat beristirahat.

 

Minggu 22 November 2020

 

Menyadari bahwa kita 'hanya' akan melakukan perjalanan naik sepeda motor (bukan sepeda yang dikayuh, lol) Ranz nampak santai pagi ini. Aku seperti biasalah, kegiatan pagiku dimulai setelah Ranz selesai mandi, lol. Angie dan Fitri gantian mandi setelah aku selesai mandi.

 

Jam delapan lebih sedikit kita pun memulai perjalanan kita. As usual, kita mampir sarapan di RM soto Hj. Fatimah di Jl. Bhayangkara. Soto ayam masakan adiknya Ranz bisa disaingkan dengan soto legendaris dari Boyolali satu ini loh.

 

 

Telaga Claket

 

Usai sarapan, kita melanjutkan perjalanan ke Telaga Claket, destinasi pertama kita hari ini. Telaga ini terletak di perbatasan antara Sukoharjo dengan Wonogiri, jadi tidak jauh-jauh amat. Kita sampai di telaga yang mungil namun cantik ini pukul 10.00. cuaca masih cukup sunny. Tiket masuk Rp. 10.000,00 per orang. Ukuran telaga ini tidak terlalu besar, dengan pemandangan satu bukit yang cukup hijau saat kita datang. Di satu akun instagram aku melihat bukit itu tandus soalnya, mungkin foto dijepret di musim kemarau. Beberapa spot instagrammable telah disediakan, meski tidak terlalu mencolok sehingga tidak menghapus keindahan utama lokasi ini: telaga.

 




Usai foto-foto (suasana lumayan banyak pengunjung, namun tidak sampai menimbulkan kerumunan), sang mentari tak lagi terlihat: mendung. Bahkan di satu sisi langit (ga tahu apakah itu Utara atau Selatan, kayaknya sih Utara) mendung tebal sekali. Hmmm …

 





Kita sempat jajan di satu warung sederhana disamping tempat parkir. Saat itu, mendadak turun hujan yang cukup lebat. Waaah … tanda perjalanan kita berhenti disini nih, ga bisa lanjut ke destinasi yang sudah kurencanakan sebelumnya.

 

Setelah hujan agak mereda, kita meninggalkan telaga Claket, meski kita tetap mengenakan mantel, in case mendadak di tengah jalan, turun hujan lebat lagi. Kita tidak jadi melanjutkan perjalanan menuju kota Wonogiri, kita kembali ke arah Sukoharjo, mampir makan siang di RM Ayam Goreng Mbah Karto Tembel.

 

 

Tara Farm dan Alas Karet Polokarto

 

Setelah makan siang (suasana restoran tidak seramai biasanya saat aku dan Ranz makan siang disini), aku dan Ranz mengajak Angie dan Fitri ke Tara Farm, satu kebun jahe merah yang terletak di dusun Sugihan, kurang lebih hanya terletak sekitar 7 kilometer dari tempat kita makan siang. Well, Tara Farm ini adalah destinasi wisata hasil swadaya masyarakat. Lumayanlah buat nambah koleksi foto-foto karena kita batal melanjutkan perjalanan ke Wonogiri.

 






Dari Tara Farm, aku mengajak ke Alas Karet Polokarto. Thanks to google maps yang memudahkan kita mencari destinasi-destinasi yang ingin kita kunjungi. Ranz tidak menolak kuajak kesini karena Polokarto ini terletak di area Bekonang, Karanganyar, jadi bisa sekalian pulang ke arah Solo.

 







Kita kembali ke rumah Ranz di area Laweyan dari Polokarto. Sampai disana sebelum adzan maghrib berkumandang.

 

Malam itu kita makan malam di daerah Penumping, aku memilih menu paklay, Angie bakmi godog, Fitri mihun nyemek, Ranz bestik lidah.

 

Aku, Angie, dan Fitri pulang ke Semarang hari Senin pagi. Sebelum Ranz berangkat ke kantor, aku dan Angie meninggalkan rumahnya, sementara Fitri lebih pagi lagi, pukul lima pagi.

 

Sampai ketemu di kisah kita berempat dolan bareng lagi yaaa.

 




Sunday, August 23, 2020

Dolan ke Candi Cetha dan Candi Sukuh

 

Honestly, alasan utama yang merupakan 'trigger' aku kembali ke kedua lokasi ini adalah Taman Hutan Rakyat KGPAA Mangkunegoro I yang terletak di lereng Gunung Lawu, tak jauh dari Candi Sukuh.

 

'Kok bisa?'

 

Iya. Ada dua alasan mengapa Tahura satu ini membawaku kembali ke dua candi yang bentuknya mirip satu sama lain, meski terletak sejauh sekitar 13 kilometer. Pertama, waktu aku dan Ranz berkesempatan mengunjungi Tahura tahun 2013, kita tidak sempat explore sampai lumayan jauh. Keterbatasan waktu saat itu jelas merupakan alasan mengapa kita tidak menyempatkan diri. Yang kedua, taman hutan rakyat ini merupakan salah satu latar tempat yang disebut-sebut dalam novel 'Aroma Karsa', tempat Jati Wesi yang memiliki kemampuan mencium aroma yang luar biasa menjelajah hutan untuk mencari Puspa Karsa.

 

(Aku memang sering 'kebablasan' begini jika sedang membaca satu karya. Hihihi …)

 



Setelah menahan keinginan ini selama kurang lebih dua tahun, alhamdulillah awal Agustus 2020 aku bisa mewujudkannya, dengan ditemani Ranz, Angie, dan Fitri.

 

Aku, Angie, dan Fitri berangkat ke Solo hari Jumat 31 Juli 2020, naik motor. Ya, kita kembali bertualang dengan naik motor.

 

Sabtu 1 Agustus 2020

 

Kita berempat meninggalkan rumah Ranz di kawasan Laweyan pukul 07.00. karena Angie dan Fitri ingin sarapan nasi liwet, kita sarapan nasi yang di Semarang disebut 'nasi ayam' ini di satu lokasi yang tidak begitu jauh dari rumah Ranz. Setelah sarapan ini, kita menuju RM soto segeer Hj. Fatimah yang terletak di Jl. Bhayangkara, Solo. Sarapan lagi kitaaa. Porsi nasi liwet yang kecil jelas ga begitu 'nendang' laaah. Tapi, memang aku sudah nyidam sarapan nasi soto ayam disini kok.

 

Sekitar pukul 08.00 kita selesai sarapan, kemudian kita langsung menuju arah Karanganyar. Dari Jl. Bhayangkara, Ranz mengajak kita ke arah Jl. Veteran, kemudian luruuus hingga Bekonang, luruuuuus hingga melewati Danau Lalung (yang pernah kita berdua kunjungi naik sepeda di tahun 2012) dan kita pun sampai Karanganyar. Setelah membeli bensin di satu SPBU, Ranz mengajak kita ke arah jalan propinsi yang cukup lebar.

 

Sekitar pukul 09.30 kita sudah sampai di tempat parkir. Angie dan Fitri memang bisa diandalkan, padahal trek tanjakannya super curam, terutama sekitar 3 kilometer menjelang Candi Cetha. Kalau aku, mending naik sepeda deh. Jika ketemu tanjakan securam itu, ya kutuntun deh sepedanya, lol.

 

To our surprise, Candi Cetha dikunjungi banyak orang! Sebagian dari mereka nampak akan mendaki Gunung Lawu. Nampak ada puluhan orang yang membawa carrier yang menandakan mereka akan mendaki gunung. Hmmm … ga lagi 'new normal' inih, tapi 'back to the old normal'. :( bener-bener unpredictable.

 



Setelah mlipir ke toilet yang terletak di satu lokasi tempat kita memarkir sepeda motor, kita berjalan ke loket penjualan karcis. Untuk membeli satu tiket, kita membayar Rp. 10.000,00. Setelah membeli tiket, kita 'digiring' ke tempat kita akan diberi kain batik yang harus kita kenakan di pinggang. Oh ya, saat dipinjami kain batik ini, kita dimohon untuk menyumbang seikhlasnya, untuk perawatan kain. Untuk berempat, aku menyumbang sepuluh ribu rupiah.

 

Kawasan Candi Cetha berkabut tebal saat kita datang, dan kabutnya ga hilang-hilang sampai kita meninggalkan lokasi ini. Bener-bener tidak menyangka bahwa Candi Cetha telah memiliki 'penggemar'; meski berlokasi yang cukup sulit dijangkau, banyak orang yang menyempatkan diri kesini, setelah 'new normal' diterapkan. Padahal menurut berita yang kubaca, pengunjung Candi Cetha 'hanya' sekitar 30% dibandingkan sebelum pandemi. Gileee.

 

Ini aku membandingkan dengan saat aku dan Ranz kesini bulan Januari 2013 ya. Waktu itu kayaknya ga ada sampai 10 orang deh yang kita jumpai di area Candi Cetha. Aku cukup bersyukur bahwa pihak pengelola tidak berpikir untuk menyediakan 'instagrammable spots' yang ga penting. :D jadi, meskipun ramai, aku tidak 'pangling' dengan lokasinya.

 

maksi kita di Ndoro Dongker


Another 'surprise' adalah saat kita akan melanjutkan jelajahan kita ke Puri Saraswati. Ada loket penjualan tiket lagi. Per orang dikenai biaya Rp. 7000,00. 'Blessing in diguise' bagiku karena lokasi Puri Saraswati jadi sunyi, persis seperti yang kuharapkan. Enak buat menyepi dan meditasi.

 

Dari Puri Saraswati, aku mengajak keluar, ga melanjutkan ke lokasi Candi Kethek, karena aku ingat, disana tidak ada bangunan 'fisik' berbentuk candi. :)

 


Otw ke tempat parkir, kita sempat jajan serabi dan cilok. Angie dan Fitri sudah kelaparan nampaknya, padahal paginya kita sarapan dua kali, nasi liwet dan soto segeer, lol. Pastinya mboncengin aku dan Ranz naik sepeda motor ke Candi Cetha yang menantang adrenalin cukup melelahkan mereka berdua sekaligus membuat mereka kelaparan, lol.

 



Dalam perjalanan menuju Candi Sukuh, ada trouble menimpa sepeda motor yang dikendarai Fitri -- rem sebelah kanan blong! Inilah resiko naik sepeda motor matic di lokasi tanjakan/turunan curam. Kata Angie, "sepeda motor matic itu enak buat nanjak Ma, tapi turunnya beresiko." Pertama kali meninggalkan Cetha, Ranz dan Fitri di depan. Sampai di satu belokan tajam, aku melihat mereka berhenti di ujung, kirain mereka menunggu aku dan Angie. Angie terus melenggang memacu sepeda motor yang dia kendarai, dipikir setelah itu Fitri akan segera menggeber gas dan menyusul kita. Namun, ketika aku dan Angie sudah sampai di perkebunan teh, kira-kira berada 5 kilometer di depan, kita tidak melihat penampakan Fitri dan Ranz. Kita pun berhenti, menunggu. 15 menit kemudian mereka baru muncul. Fitri bercerita kasus rem sebelah kanan blong. Maka, Angie pun kemudian memilih terus berada di belakang motor yang dikendarai Fitri.

 

Tak lama dari situ, Fitri merasakan rem sebelah kanan bermasalah lagi, kita berhenti lagi di depan sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Kebetulan ada seorang laki-laki yang berdiri di depan rumah itu memperhatikan kita, kemudian menyapa, "Ada masalah kah?" saat tahu bahwa rem sepeda motor yang dikendarai Fitri, trouble, dia langsung menyarankan menyemprot bagian rem yang panas dengan air; kebetulan ada pipa air di halaman.

 

"Kalau naik matic di tanjakan/turunan tajam, jangan lupa bawa air buat menyiram rem yang panas. Ini sangat membantu memecahkan masalah rem mendadak terasa blong," sarannya. Satu hal yang benar-benar 'baru' buat kita berempat. :)

 

Setelah mengucapkan terima kasih, kita melanjutkan perjalanan. Aku bilang ke Ranz ingin makan siang di "Ndoro Dongker"; satu tempat yang mendadak ngetop di telingaku setelah tempat ini menjadi tujuan bersepeda saat Jamselinas 5 Solo tahun 2015. Tahun 2013 dulu, sepulang dari Candi Cetha, Ranz mengajakku mampir ke resto "Kemuning Indah.

 



Setelah makan siang, kita melanjutkan perjalanan ke Candi Sukuh, kurang lebih 4 kilometer dari Ndoro Dongker, dengan trek tanjakan yang lumayan curam juga, meski tidak securam ke Candi Cetha.

 

Sekitar pukul 15.15 kita sampai di kawasan Candi Sukuh. Saat berencana kesini lagi, aku bilang ke Ranz aku pingin menginap di rumah penduduk yang dulu kita inapi juga di tahun 2013. lokasinya yang sangat dekat dengan Candi Sukuh lah yang membuatku ingin menginap disini lagi. Tapi Ranz agak keberatan karena (1) kamar mandinya terletak di luar. (2) tidak ada air panas. Dia ingin menginap di hotel yang dia browsing bernama "Sukuh Cottage" dengan pemandangan yang spektakuler, tapi terletak agak jauh dari Candi Sukuh.

 

"Toh kita naik motor? Gampang kan ke Sukuhnya?" kata Ranz.

 

Tapi aku bergeming. :D

 

Sesampai kawasan ini, aku melihat tulisan HOMESTAY di warung sederhana milik si Ibu yang rumahnya kita inapi 7 tahun lalu. "Ah … dia sudah memberi tulisan HOMESTAY di warungnya agar orang-orang tahu." kata Ranz. Tak jauh dari situ, di sebelah kanan, aku melihat satu penginapan baru, bertulisan GRIYA SUKUH BUMI DEWATA. Aku melangkah ke arah situ, ingin tahu kamarnya seperti apa dan harga sewa berapa. Penginapan ini juga lumayan dekat dengan Sukuh.

 

Penginapan ini jelas masih baru, bangunannya juga nampak masih baru, meski ketika aku bertanya kepada yang menjaga bangunan penginapan ini sudah dibangun sekitar 2 tahun yang lalu. Lumayan banyak penginap sebelum pandemi. Dia membanderol Rp. 350.000,00 per kamar, yang kata Ranz, "Wih, dia berani pasang harga mahal, di masa pandemi seperti ini." aku jatuh cinta pada balkon yang memiliki pemandangan lembah dan sawah di kejauhan. Apalagi sore hari begitu, mudah mendapatkan pemandangan sunset dari situ. Aku tambah jatuh cinta lagi ketika melihat satu kamar yang terletak di sebelah kiri, samping balkon, jendela kaca yang lumayan lebar memudahkan kita memandang lembah dan sawah itu hanya dari kamar! Wow!

 



Tanpa pikir panjang aku langsung memberi tanda setuju ke Ranz. Ranz sempat menawar, "Dua kamar enamratus ribu nggih?" tapi oleh si penjaga tidak dikabulkan. Padahal waktu berangkat dari rumah, aku berencana menginap di HOMESTAY aku hanya menganggarkan dana maksimal duaratus ribu rupiah untuk menginap kita berempat. Sekarang malah harus merogoh kocek sampai tujuhratus ribu rupiah. Tapi Ranz memberi sinyal bahwa dia mau ikut membayar sejumlah uang, aku cukup lega. Hohoho …

 

Dari artikel yang kubaca di internet, aku tahu bahwa Candi Cetha dan Sukuh buka jam 09.00 sampai pukul 15.00 (sebelum pandemi buka jam 07.00 tutup jam 17.00) maka aku tidak berharap bakal bisa masuk ke dalam area Candi Sukuh. Tapi, si penjaga penginapan memberitahuku bahwa kita masih bisa masuk area, jika meminta izin ke satpam. Meskipun begitu, aku merasa tidak nyaman. Aku mengajak Ranz, Angie dan Fitri berjalan ke arah Tahura. Ternyata, di samping kanan Tahura ada satu destinasi wisata baru: TENGGIR PARK. Kata seorang ibu penjaga warung disitu, ini adalah area selfie.

 



Kita berempat berjalan kesana. Melihat kawasan Tenggir Park yang nampak seperti mendaki bukit, aku mendadak lelah, lol. Aku dan Ranz hanya berdiri di halaman parkir yang cukup luas. Sementara itu, di jalan masuk Tahura, ada palang penutup dengan tulisan di mmt TAHURA TUTUP SELAMA PANDEMI. Waduh, aku langsung patah hati. Lha aku ke Sukuh tuh ya demi menjelajahi Tahura je. Kok malah ga bisa masuk? Sementara aku dan Ranz berdiri sambil ngobrol, Angie dan Fitri berjalan ke arah jalan setapak Tahura. Dari halaman parkir Tenggir Park ke jalan setapak Tahura memang tidak ada pagar pembatas, yang berarti kita bisa saja bebas masuk jalan kedalam. Apalagi kita juga melihat beberapa orang naik sepeda motor keluar dari arah dalam Tahura.

 

Waktu itu cuaca mendung. Sekitar pukul setengah lima Ranz mengajak balik ke penginapan. Dia ingin mencoba peruntungan memotret sunset dari arah balkon penginapan. Namun, mendung benar-benar tebal, menutupi sinar matahari.

 

Sekitar 20 menit kemudian, mendadak matahari muncul dari balik awan. Waaah … penjaga penginapan meyakinkan kita bahwa sore hari begitu cahaya di kawasan candi sedang bagus-bagusnya. Dia bilang dia sudah menelpon satpam yang menjaga candi bahwa tamunya akan berkunjung sebentar. Akhirnya kita berempat berbondong-bondong ke candi, mumpung sang mentari nampak bersinar.

 

Meski pak satpam membolehkan kita masuk, dia meminta kita untuk tidak stay lama di dalam. Aku malah jadi tidak jenak. Ada 3 orang lain lagi yang juga diijinkan masuk waktu itu, selain kita berempat. Kulihat yang seorang dari mereka melakukan sembahyangan, sedangkan yang 2 orang hanya mengikuti dari belakang. Saat mereka melakukan meditasi di depan candi, aku mau ikutan duduk bersila, Ranz langsung menegurku, "Ga usah ikut-ikutan. Pak satpam tadi bilang jangan lama2." hadeeeh … benar-benar tidak menyenangkan. :(

 

Akhirnya kita berempat cepat-cepat meninggalkan lokasi, saat kita lihat matahari kembali bersembunyi di balik awan. Kita langsung kembali ke penginapan.

 

Malam itu kita makan malam dengan memesan nasi goreng 2 porsi dan mie goreng 2 porsi ke penjaga penginapan, entah mereka memesannya dari mana. :) Kita makan di balkon sambil ngobrol. Setelah itu, kita masuk ke kamar masing-masing. Hawa dinginnya masih okelah, masih bisa dinikmati dengan syahdu. :D

 

Sekarang waktu menulis ini aku nyesel, kenapa kita ga mencoba keluar penginapan untuk melihat suasana di luar seperti apa ya, saat malam begitu? 7 tahun yang lalu waktu menginap disini, malamnya hujan, jadi kita ya hanya ngendon di dalam kamar.

 

Minggu 2 Agustus 2020

 

Pagi itu ternyata aku mager. :D Jika 7 tahun yang lalu sekitar pukul enam pagi aku sudah 'menyeret' Ranz untuk keluar jalan-jalan melihat suasana sekitar -- termasuk masuk ke Tahura -- kali ini aku dan Ranz masih sama-sama mager. Apalagi dari kamar, kita bisa menikmati pemandangan lembah dari jendela yang cukup lebar. Sengaja aku meminta Ranz untuk tidak menutup korden agar dari dalam kamar kita bisa menatap langit, sekaligus memandang cahaya lampu yang banyak berpendar di kejauhan.

 

Jam tujuh aku dan Ranz sudah mandi. Fitri ternyata sudah keluar, untuk berolahraga, sementara Angie masih nyantai di kamar, dia belum mandi. Karena sarapan belum juga disediakan, aku bertanya ke penjaga jam berapa sarapan diantar. Ternyata, mereka menunggu kita mau pesan sarapan apa, lol. Menunya sama dengan yang semalam, hanya ada nasi goreng dan mie goreng. Untuk minum bisa memilih teh atau kopi.

 

 

Jam delapan seperempat, setelah sarapan dan packing, aku dan Ranz keluar berjalan menuju Tahura. Seperempat jam kemudian, Angie mengabariku bahwa dia dan Fitri akan menyusul. Kita berjalan di jalan setapak Tahura pelan-pelan; sering kali kita berhenti untuk foto-foto. Hingga di satu lokasi dekat tempat berselfie-ria, mereka bertiga berhenti, aku yang penasaran masih terus berjalan hingga sampai di kawasan dimana ada petunjuk "Camping ground. Office. Tempat parkir." aku berhenti disitu, sembari memotret petunjuk itu. Kemudian balik ke tempat Ranz, Angie, dan Fitri menungguku.

 

Jam setengah sepuluh, Angie dan Fitri kembali ke penginapan, aku mengajak Ranz masuk ke Candi Sukuh. Harga tiketnya sama dengan harga tiket masuk ke Candi Cetha: Rp. 10.000,00. Saat mengenakan kain batik yang dililitkan ke sekitar pinggang, kita juga diminta menyumbang seikhlasnya.

 

Jam 10 lebih aku dan Ranz balik ke penginapan. Ternyata Angie dan Fitri menunggu kedatanganku dengan leyeh2 di kamarku, Angie ngiri karena dari kamar yang kuinapi bersama Ranz memiliki jendela kaca besar sehingga kita bisa menikmati pemandangan lembah dengan hanya leyeh2 di tempat tidur. Hihihi …

 

Jam setengah sebelas, kita meninggalkan penginapan. Kita menuju Telaga Madirda yang terletak kurang lebih 1,5 kilometer dari Sukuh. 7 tahun yang lalu rasanya jauh sekali, karena meski 'hanya' terletak kurleb 1,5 kilometer, namun dengan trek naik turun yang curam, dan kita naik sepeda, kita butuh waktu lama untuk mencapainya, lol.

 

To our disappointment, Telaga Madirda yang dulu sunyi (meski waktu aku dan Ranz kesana 7 tahun yang lalu ada rombongan orang yang camping) sekarang ramai sekali! Meski pandemi, tetap banyak orang yang datang. Duh, ga nyaman banget. Mana Angie sudah terlihat manyun, lol, dia inginnya kita sudah sampai rumah Semarang sebelum maghrib.

 

Tiket masuk Telaga Madirda juga dibanderol Rp. 10.000,00 per orang. Namun, karena aku dan Ranz sudah telanjur patah hati melihat suasana yang ramai sekali, ditambah Angie yang pingin buru-buru balik, kita ga lama berada di dalam. Ga ada 15 menit kemudian kita sudah keluar. Di jalan yang menuju Tawangmangu, jalanan terlihat cukup padat dengan mobil-mobil yang menuju Tawangmangu. Pandemi? New normal? Ga terlihat tanda-tanda seperti itu. Kondisi sudah seperti balik ke old normal. Hmft …

 

Sebelum pukul 14.00 kita sudah sampai di Tenda Biru, tempat kita makan siang. Usai makan siang, kita mampir ke rumah Ranz sebentar. Pukul 15.00 aku, Angie, dan Fitri sudah on the way ke Semarang.

 

Pukul 17.30 aku dan Angie sudah sampai rumah, safely. Alhamdulillah.

 

Sampai jumpa di kisah jalan-jalan kita berikutnya!

 

PT56 22.34 09/08/2020