Setelah tujuh tahun
berlalu, akhirnya aku dan Angie plus Ranz berkesempatan dolan ke Dieng lagi,
tanpa rencana muluk-muluk. 😃 Jika di bulan Januari 2012 dulu kita bertiga
dolan ke Dieng setelah aku mendapat undangan nikahan seorang (eks) rekan kerja
di Wonosobo, kali ini kita "ngikut" rencana yang dibuat oleh Tami dan
Dwi, dua gadis pelor yang ternyata telah tak kuat lagi bersepeda jarak jauh. 😔
Tiga hari sebelum
berangkat, aku baru menawari Angie apakah dia mau ikut ke Dieng. Ternyata
matanya langsung berbinar-binar waktu mendengar tawaranku itu, padahal beberapa
tahun lalu sepulang dia dari Dieng diajak tantenya, dia nampak enggan
mendatangi kawasan yang terkenal berhawa dingin itu. 😀
Sabtu 29 Juni 2019
Kita bertiga -- aku,
Angie, Ranz -- bersama Fitri sobat lama Angie yang telah beberapa kali menemani
kita jalan-jalan telah sampai di terminal mini Sukun pukul tujuh pagi. Ternyata
Dwi dan Tami yang mengajak kita berkumpul di Sukun jam itu belum kelihatan.
Setelah menitipkan motor, sarapan ringan di warung yang ada disitu, Dwi dan
Tami muncul.
Pukul 08.00 kita
berangkat ke Wonosobo naik shuttle car jurusan Purwokerto. Biayanya Rp. 60.000,00
per orang. Di tengah jalan kita harus melewati beberapa kawasan yang sedang
diperbaiki, yang berarti perjalanan kita agak tersendat. Untunglah kita naik shuttle car yang lebih mudah mobile ketimbang bus. Kendaraan yang kita
naiki sudah berbelok ke arah Barat, sebelum sampai Secang. (Aku molor di hampir
sepanjang jalan, lol, gegara malam sebelumnya aku tidak bisa tertidur nyenyak.)
Kita melewati satu hutan (karet?) yang nampak kering kerontang di tengah musim
kemarau ini, dan jalan yang dipilih bapak sopir nampaknya bukan jalan yang
biasa dilewati orang, sempit dan tentu tidak beraspal. (hari gini, di Pulau
Jawa, ada jalan yang tidak beraspal? Kudu dilaporin Pak Jokowi nih. Lol.)
Untunglah saat lewat jalan sempit ini kita tidak berpapasan dengan shuttle car lain dari arah berlawanan, bakal
ga cukup space-nya.
Menjelang pukul
12.00 kita telah sampai terminal Wonosobo. (Diam-diam aku deg-degan excited
karena ingat 7 tahun lalu kita turun disini, kemudian aku dan Ranz gowes ke
arah alun-alun, sementara Angie naik angkot kesana. Ya, aku memang lebay.
Hihihi … ) Di bangku depan, Fitri dan Angie yang duduk di samping bapak sopir
yang bekerja ngobrol, Fitri memberitahu bapak sopir bahwa kita akan ke Dieng.
Maka, ketika kendaraan yang kita naiki melewati bus yang menuju Dieng
(tulisannya WONOSOBO - DIENG - BATUR) bapak sopir memberi tanda agar bus itu
berhenti karena ada calon penumpang yang akan ikut naik.
Dwi menandai jam
12.20 kita pindah ke bus mini itu. Biayanya Rp. 20.000,00. Semula bus itu hanya
ada 1 penumpang, plus kita berenam, lama-lama bus pun penuh, meski sebagian
dari mereka tidak menempuh jarak jauh. Jika 7 tahun yang lalu, aku molor di bus
menuju Dieng, lol, kali ini aku cukup alert memandang jalan yang kita lewati.
Ternyata trek menuju Dieng cukup sempit dan berkelok-kelok nanjak. Duh, trek
yang sulit nih jika naik sepeda karena jalan yang sempit itu dipadati kendaraan
yang lalu lalang dari dua arah. Mending nanjak Bromo deh kayaknya.
Sekitar satu
setengah jam kemudian kita sampai di kawasan Dieng. Horraaaaay. Kita turun tepat di depan losmen
Bu Djo** yang lumayan terkenal di google itu. Dwi telah booking dua kamar
disitu. Ranz pun kemudian juga booking satu kamar lagi setelah dia kuberitahu
bahwa Angie dan Fitri positif ikut kita. Jika dua kamar yang dibuking Dwi itu
tanpa kamar mandi (dalam), kamar yang dibuking Ranz ada kamar mandi dalam.
Ketika kita akan check in, kita baru ngeh jika satu kamar yang dibuking Ranz
terletak di homestay yang berbeda. :( Kita baru nyadar bahwa pihak losmen Bu
Djo** itu semacam makelar. Angie, Fitri, Dwi, dan Tami sudah diantar seseorang
untuk masuk kamar yang sudah dibuking, sementara aku dan Ranz masih menunggu
diantar ke homestay yang dipesankan oleh pihak makelar.
Setengah jam
kemudian kita baru diantar ke homestay PRATAMA yang terletak di Gang Pandawa,
tak jauh dari minimarket Indo*****. Setelah melihat kamar yang dipesankan untuk
kita disini, Ranz langsung memutuskan untuk memindah keempat gadis di losmen Bu
Djo** ke homestay yang sama dengan kita. Meski kita bisa saja berkomunikasi
lewat WA untuk memutuskan kita mau ngapain bersama, ga enak lah ya jika kita
menginap di penginapan yang berbeda. Tak lama kemudian, mereka berempat
menyusul ke homestay PRATAMA.
Sementara menunggu
kamar yang satu lagi dibereskan, kita berenam ke Telaga Warna dengan menyewa 3
sepeda motor. Biaya sewa satu sepeda motor Rp. 100.000,00. sebelum sampai di
Telaga Warna, kita melewati satu post dimana ada pihak wisata lokal menjual tiket
seharga Rp. 10.000,00 yang bisa dipakai untuk masuk ke beberapa spot wisata,
yang tidak masuk itinerary kita, misal Museum Kaliasa. :D Untuk masuk Telaga
Warna, kita membeli tiket seharga Rp. 15.000,00 per orang.
Jika di tahun 2012
dulu belum ada spot-spot instagrammable untuk pengunjung selfie, kali ini sudah
ada beberapa lokasi yang menjadi 'rebutan' para pengunjung untuk foto-foto. 😍Memasyarakatnya media sosial -- gegara android yang memudahkan orang online --
telah mengubah wajah destinasi wisata, dengan dibangunnya spot spot
instagrammable selain membuatnya kian ramai dikunjungi wisatawan.
Dari Telaga Warna
kita ke Kawah Sikidang. Kawasan kawah yang 7 tahun lalu berupa tanah lapang
kosong, selain beberapa spot kawah, tanpa ada spot spot instagrammable,
sekarang malah terkesan kumuh dengan spot-spot yang nampak dibuat secara ngawur
disana sini. 😧 belum lagi ada sepeda motor trail dan ATV yang bersliweran. 😞
Menjelang maghrib
kita meninggalkan kawah Sikidang kembali ke penginapan. Kita mampir makan malam
dulu di satu rumah makan. Lagi aku membandingkan suasana yang jauh berbeda; 7
tahun lalu area ini sangat sunyi selepas maghrib, sekarang hiruk pikuk. Sangat
bagus untuk orang lokal yang berbisnis ya, tapi bagi pengunjung, ini terlalu
penuh sesak. 😒 Duh, ga kebayang suasana sini di masa penyelenggaraan DIENG
CULTURE FESTIVAL. Hmft … mungkin penuh sesaknya ngalahin area Borobudur saat
Waisak?
Setelah makan, kita
kembali ke penginapan. Dan … aku mulai menggigil kedinginan. Wedew. Di kamar
yang kutempati, aku berbagi dengan Angie dan Fitri. Sedangkan di kamar satunya
lagi, Ranz, Dwi, dan Tami shared the bed together.
Malam itu, Angie
sempat keluar sebentar menemui temannya yang menyusul ke Dieng bersama suaminya
setelah tahu Angie pun dolan ke Dieng. Sementara aku melawan kedinginan dengan
mengenakan dua kaos lengan panjang plus jaket dan meringkuk di bawah selimut yang
tebal, ternyata, tanpa kutahu, tiga
perempuan di kamar sebelah jalan-jalan menikmati suasana malam. 😖😕😔😒
Minggu 30 Juni 2019
Semula Dwi dan Tamii
berencana ke Sikunir pagi ini, menjaring sunrise view disana. Namun atas
rekomendasi si Ibu yang punya/penjaga homestay, mereka ga jadi ke Sikunir. Area
yang bersalju adalah Candi Arjuna. Sebaiknya pagi ini kita jalan ke Candi
Arjuna jika ingin mendapatkan pemandangan rerumputan yang digayuti embun
bersalju di pagi hari, sebelum pukul tujuh. Sedangkan sunrise di Sikunir bisa
kita dapatkan pada kesempatan lain. 😃
Pukul setengah enam
kita sudah bersia-siap, kemudian mulai jalan. Kawasan Candi Arjuna hanya
terletak kurang lebih 1 kilometer dari homestay, kita lebih baik kesana jalan
kaki karena jalan yang macet. (WHATTT? M-A-C-E-T??? 7 tahun yang lalu area ini
sunyi sepiiiii, aku dan Ranz kesulitan mencari orang yang berjualan makanan
untuk sarapan. Namun sekarang area ini macet! Banyak orang berbondong-bondong
ke kawasan Candi Arjuna, untuk membuktikan embun yang berupa butiran salju. Hmmm … barangkali jika tidak sedang bersalju,
kawasan ini ga sepenuh sekarang ya?
Di halaman parkir
(dalam) dekat pintu masuk Candi Arjuna yang penuh dengan rerumputan, penuh
orang-orang yang nampak menikmati hawa dingin, dan terheran-heran dengan embun
berupa salju yang menggayuti rerumputan yang ada. Bagiku pribadi yang
menakjubkan disini bukan hanya salju yang membuat rerumputan yang mengering itu
berwarna putih, namun pemandangan gunung-gunung yang ada di sekitar kita sangat
indah!
Lebih dari pukul
tujuh, kita masuk ke kawasan candi, setelah sebelumnya menikmati kentang dan
jamur goreng. Selain itu, aku juga sempat minum secangkir kopi hitam.
Waktu kesini bulan
September 2019 bersama kawan-kawan kerja, aku tidak berjalan memutari kawasan
candi, (dibandingkan waktu pertama kali kesini tahun 2012, aku bersama Angie
dan Ranz menjelajah sampai ke Candi Bima) karena kawan-kawan kerja yang nampak
enggan berjalan jauh. Eh, ternyata pergi kesini lagi bersama gadis-gadis muda
ini sama saja. Mereka enggan mengeksplor jauh, yang penting telah dapat foto
buat ngeksis di media sosial. Hadeeeh. Ya sudah, aku manut saja. 😂
Pukul delapan lebih
kita keluar. Saat sarapan! Kita mampir ke satu rumah makan yang kita lewati
saat berjalan kaki menuju homestay. Jika tadi malam aku memesan mie ongklok,
pagi ini aku memesan nasi goreng ayam.
Setelah sarapan,
kita kembali ke homestay. Beberes bentar, ganti pakaian, kemudian kita berenam
beranjak ke Batu Ratapan Angin, naik motor. Biaya sewa Rp. 100.000,00 untuk
kita pakai selama kita berada disitu, kurang lebih dua hari.
Ini kali kedua aku
ke Batu Ratapan Angin, yang pertama bulan September 2018 waktu kesini bersama
kawan-kawan kerja. Pemandangannya cukup ciamik, kita bisa melihat Telaga Warna
dan Telaga Pengilon dari atas. Disini juga banyak spot instagrammable, dimana untuk
foto-foto di spot-spot itu, kita harus membayar limaribu rupiah per orang, per
spot. Tami sempat mencoba ayunan, dan untuk itu, dia harus membayar Rp.
25.000,00.
Pukul dua belas kita
telah kembali ke homestay. (NOTE: jalanan macet!) Saatnya kita beberes,
kemudian check out. Kurang lebih pukul setengah dua kita meninggalkan homestay,
setelah foto bareng dengan si Ibu yang telah 'melayani' kita dengan baik.
Kita cukup jalan
kaki kurang dari 5 menit telah sampai di jalan dimana kita bisa menunggu bus
menuju Wonosobo. Namun jalanan macet membuat kita berjalan kaki menuju
pertigaan, dimana jika lurus kita akan sampai Telaga Warna, jika belok kiri,
kita akan menuju Wonosobo. Sebelum ada bus yang bisa kita naiki lewat, kita
melihat tiga kawan KOMPAL, komunitas pesepeda dari Gunung Pati telah sampai.
Yang lain sedang dalam perjalanan nanjak. Wah, hebat Om Ali dan Om Har Aj.
(yang satu lagi, aku lupa namanya, hihihi …)
Setelah foto bareng
dengan kawan-kawan KOMPAL, kita melihat sebuah bus jurusan Wonosobo lewat, kita
langsung mencegatnya dan naik. Beruntunglah karena 5 dari kita mendapatkan
tempat duduk, Ranz satu-satunya yang terpaksa berdiri karena bus penuh. Jalan turunan/menanjak
itu penuh kendaraan yang lewat, jauh lebih penuh ketimbang sehari sebelumnya. 😏
Pukul tiga sore kita
telah sampai di alun-alun Wonosobo. Kita janjian dengan seorang sopir shuttle
car pukul empat sore. Kita masih ada waktu untuk makan siang yang kesorean di
satu pujasera yang terletak disitu. Kali ini aku memesan capcay ayam.
Setelah ada sedikit
'masalah' dengan shuttle car yang akan kita naiki, akhirnya kita mendapatkan
mobil yang akan mengantar kita kembali ke Semarang. Pukul 17.17 kita naik mobil
yang menjemput kita di alun-alun, tak jauh dari pujasera tempat kita makan. Dari
sini, pak sopir mengajak kita mampir sebentar di terminal, katanya dia harus
lapor ke pak bos terlebih dahulu. Mobil benar-benar meluncur ke arah Semarang
pukul 17.37. alhamdulillah perjalanan lancar, kita telah sampai di Sukun pukul
21.00.
Ranz masih harus
melanjutkan perjalanan menuju Solo dengan naik bus. Dia melaporkan bahwa dia
tidak mendapatkan tempat duduk karena bus penuh penumpang. 😟
Dan … rasanya aku
ingin segera kembali ke Dieng lagi, untuk menikmati rasa menggigil kedinginan.
Hahahahaha …
PT 56 17.17 03 July
2019