Tuesday, November 26, 2019

Piknik Bareng RT





Ini adalah pengalaman pertama bagi keluargaku: piknik bersama para tetangga RT. :)


Dulu, waktu aku masih duduk di bangku SMP dan SMA seingatku aku pernah dolan bareng tetangga (remaja) yang terkumpul dalam komunitas 'karang taruna' RT, minimal dua kali. Yang pertama hiking (kalau sekarang, aku menyebutnya trekking) ke air terjun Semirang. Yang kedua ke Gedong Songo. Hanya para remaja, tidak termasuk orangtua.


10 Nopember 2019


Kebetulan bersamaan dengan hari ulang tahun adik bungsuku, tanggal yang juga ditandai sebagai hari pahlawan untuk bangsa Indonesia. Jogja dipilih oleh pak RT (so I thought. :D) 3 lokasi yang kita kunjungi bisa disebut bukan tempat yang 'kekinian', yakni pantai Parangtritis, Tamansari, dan Malioboro.


Mereka yang ikut piknik diminta hadir di titik kumpul pukul 05.30 dengan rencana kita semua berangkat pukul 06.00. dua adikku dan dua keponakan berangkat pukul 05.15 saat aku dan Angie belum siap. Mereka nampak sangat antusias ya? :) tapi, kemudian kupikir ada untungnya juga mereka berangkat lebih dahulu: jika bus sudah datang, mereka bisa memilih tempat duduk.


Pukul 05.35 aku dan Angie sudah sampai di tempat yang ditentukan. Bus moda transportasi yang akan kita naiki sudah terlihat terparkir. Ketika aku tidak melihat dua adik dan keponakan, aku yakin mereka sudah di dalam untuk memilih tempat duduk. Ternyata benar. Oh ya, kita bertujuh, keluarga yang paling banyak membernya ikut acara ini. Yang lain ada yang hanya suami istri; ada pasangan muda mengajak hanya satu orang anak, dll.


Bus meninggalkan tikum pukul 06.15, ga terlalu molor lah dibandingkan jam yang ditentukan semula. Perjalanan lancar, kita sampai Jombor pukul 09.15. Di perempatan Jombor, bus mengambil rute ke kanan, arteri utara, untuk terus ke arah Bantul. Traffic tidak terlalu padat (konon hari Sabtu-nya yang benar-benar padat merayap), meskipun begitu kita ternyata butuh waktu dua jam lebih untuk sampai Parangtritis.


Bisa dibayangkan betapa panasnya suasana pantai di siang hari seperti itu. :D sesampai sana, aku baru sadar ternyata terakhir aku ke Parangtritis itu tahun 1997, 22 tahun lalu, piknik kantor, dimana aku mengajak Angie dan bokapnya. Angie yang baru berusia 6 tahun waktu itu, tidak ingat apa-apa tentang Parangtritis. :D sebelum sampai pantai, saat bus melewati 'gumuk pasir', aku jadi ingat aku dan Ranz ingin kesini dan ternyata belum kesampaian. :D


Aku dan Angie kompak ogah basah jadi kita menjaga jarak yang aman dari air laut. Sementara itu, dua keponakanku yang semula nampak takut, lama-lama terlihat menikmati ombak kecil yang menyapa bibir pantai.


Pukul 13.00 kita kembali ke bus. Setelah meninggalkan pantai, dalam perjalanan menuju Tamansari, kita mampir ke satu rumah makan untuk makan siang. Di samping rumah makan ada toko oleh-oleh, maka sebagian dari kita pun menyempatkan diri beli oleh-oleh seusai makan siang. Menu makan siangnya: nasi, sop sayur, ayam goreng, tahu goreng.


Setelah semua selesai makan siang, kita melanjutkan perjalanan. Untuk menuju Tamansari, kita parkirkan bus di pusat parkir Ngabean. Dari Ngabean, oleh kru bus kita disarankan naik becak menuju Tamansari yang terletak sekitar 2 kilometer.


Kita sampai Tamansari sekitar pukul 15.30, waktu yang mepet karena loket membeli tiket masuk Tamansari tutup pukul 16.00.


Setelah dirasa cukup menikmati Tamansari, kita dipersilakan melanjutkan perjalanan ke Malioboro, tetap dengan naik becak atau jalan kaki. Aku dan keluarga memilih naik taksi online.


Sampai Malioboro rasanya tubuh sudah mulai cape. Satu hal yang kurang kusukai jika piknik tanpa naik sepeda. :D sama-sama cape tapi kita kurang menggerakkan tubuh. Jika naik sepeda, cape, jelas, tapi kita kan sekaligus olahraga. :D


Tahun 2019 ini aku cukup sering ke Jogja. Pertama di bulan Januari, menghadiri perayaan 1 dekade Jogja FoldingBike. Bersama kawan-kawan Komselis, aku sempat lewat Malioboro saat night ride. Bulan Maret, aku dan Ranz janjian bertemu di Jogja, sebelum kita gowes ke Borobudur. Bulan Juni, aku dan Ranz ikut event J150K, kita sempat gowes ke arah Malioboro sebentar waktu itu. Bulan Agustus aku, Ranz bersama Angie, dengan 3 kawannya dan adikku plus 2 kawannya ke Jogja. Aku dan Ranz 'menemani' mereka yang dolan Jogja untuk nonton Art Jog dan menghadiri Big Bad Wolf. Berarti piknik bareng tetangga RT ini adalah kali kelima aku dolan ke Jogja tahun ini.


Menjelang pukul 18.00 kita semua telah kembali ke tempat parkir Ngabean.


Setelah meninggalkan Ngabean, bus menuju jalan Magelang. Kita berhenti di satu rumah makan untuk makan malam. Kali ini menu yang disediakan: sayur lodeh, ayam bakar, tahu goreng.


Sebelum benar-benar meninggalkan Jogja, bus mampir lagi ke satu toko oleh-oleh. Tetangga yang penasaran beli bakpia kukus Tugu belum lega jika tidak membelinya. Namun ternyata di toko yang kita samperin terakhir ini pun tidak menyediakan bakpia kukus. :D


Perjalanan pulang sempat tersendat gegara macet di tanjakan Jambu. Kita sampai Pusponjolo kembali selepas tengah malam.


Kira-kira tahun depan bakal ada piknik bareng RT lagi ga ya? Hihihi …

LG 10.25 26/11/2019










Thursday, August 22, 2019

Sebagian foto-foto waktu ke Cirebon, Juni 2019

 Ketimbang ilang tidak berbekas, lol, aku unggah foto-foto di bawah ini, di sini 😎

























Tuesday, August 20, 2019

Menengok kolam renang di tengah hutan


Menengok kolam renang di tengah hutan




Dua tahun telah berlalu ketika saya dan Ranz bike-trekking ke Curug Semirang yang terletak di desa Gogik, Ungaran. Well, bagi saya pribadi -- dan yakin banyak orang lain lagi yang merasakan hal yang sama -- berjalan di tengah 'hutan' itu ngangenin. (Memahami 'keluhan' beberapa organ tubuh, saya mengerti bahwa trekking di tengah 'hutan' sudah cukup buat kebutuhan memanjakan mata dengan hehijauan di depan mata, dan ga sampai kudu mendaki gunung.)


Sebenarnya keinginan mengajak Angie trekking ke Semirang telah saya rasakan sejak beberapa bulan yang lalu. Namun keinginan itu hanya terpendam pada sebatas keinginan di hati, (atau di pikiran ya? Lol) sekitar 2 minggu yang lalu saya 'menemukan' postingan menarik di satu akun instagram: gambar sebuah kolam renang yang terletak di bawah pepohonan nan rimbun.  Saya melengak jauh lebih heran ketika tahu bahwa kolam renang itu terletak di Curug Semirang. Lah, curug ini kan 'tempat main' saya dan Ranz? (hihihi … ngaku-ngaku!) Saya langsung 'ngetag' Ranz di postingan itu, dan … sama seperti saya, Ranz pun penasaran.


Voila … ga perlu pake nunggu lama, Ranz langsung mengajak saya kesana. Dan karena saya ingin mengajak Angie, kali ini kita ga 'bike trekking'.


Sabtu 17 Agustus 2019


Pagi itu saya mengikuti upacara bendera yang diselenggarakan oleh kawan-kawan Semarang Onthel Community di area Tugumuda. Upacara 'baru' dimulai sekitar pukul 09.00 setelah 'ketua abadi' SOC datang, Om Bob Riza. :)


Pukul 10.50 baru kita berempat (saya, Ranz, Angie, dan Fitri) berangkat menuju Ungaran. Jalanan ternyata padat dengan kendaraan bermotor. Kita baru terbebas dari kepadatan itu setelah belok kanan menuju desa Gogik, setelah meninggalkan jalan utama menuju Bawen.


Dalam perjalanan menuju tempat parkir, ow em jiii, saya lupa bahwa jalan yang kita lewati cukup tinggi tanjakannya dan panjang. Duh, tahun 2015 dan 2017 dulu kok saya bisa ya? Meski harus beristirahat beberapa kali dalam perjalanan, saya ingat saya tidak sampai TTB. Kok bisa ya? Hahahahah …


Pukul 12.00 kita telah sampai di tempat parkir sepeda motor. Melihat banyak motor diparkir disana, Ranz menyatakan keheranannya. "Tumben ramai nih." Lah, dua kali terakhir kita kesini, tahun 2015 dan 2017 kita melakukannya di hari Jumat, 'hari kerja' untuk kebanyakan orang. Ya maklum kalau sepi. :)


Jalan setapak dari tempat parkir menuju loket penjualan tiket masuk telah mengalami perbaikan, bukan lagi berupa jalan yang dipenuhi dengan batu kerikil kecil-kecil, namun sudah berpermukaan halus. Di tahun 2017 tiket masuk masih Rp. 5000,00 per orang. Kali ini harga tiket masuk Rp. 9000,00, naik empat ribu rupiah. Kenaikan ini saya tengarai disebabkan telah disediakannya kolam renang yang memang nampak eksotis karena terletak di bawah pepohonan rindang itu.


Setelah membeli tiket, kita berjalan hanya kurang lebih 25 meter, di sebelah kanan telah terlihat kolam renang yang menarik perhatian saya itu. Kolam renang yang kedalamannya mencapai 1 meter itu terlihat lumayan penuh dengan anak-anak yang bermain air dengan riang gembira.










"Mama itu mau trekking atau mau berenang?" tanya Angie waktu saya bilang ke dia ingin mengajaknya ke Semirang karena telah dibangun kolam renang. Aha … tentu saja saya kesini ingin trekking. Kolam renang bagi saya bukan kancah bermain air, namun berenang untuk berolahraga. Dengan kondisi kolam yang tidak terlalu luas namun penuh dengan anak-anak bermain air bukan pilihan saya untuk nyemplung. Meski, ya, saya ingin sekali melihat kolam ini dengan mata kepala saya sendiri, dan mengabadikannya di kamera hape yang saya miliki, bukan hanya melihat fotonya di instagram milik orang. :)


Tidak lama kemudian kita mulai trekking menuju curug. Di jalan, kita bertemu dengan banyak rombongan yang sudah dalam perjalanan kembali. Salah satu rombongan itu menyapa sambil menyemangati, "Hayo semangat mbak … perjalanan masih jauh!" sambil mengepalkan tangan udara tanda "kamu kuat!"


Berjalan di bawah pepohonan menuju air terjun Semirang ini menyenangkan; lebih banyak area teduh ketimbang yang tertimpa sinar matahari yang panas, dikarenakan 'hutan' yang masih cukup lebat.


Kurang lebih satu jam kemudian kita sampai di lokasi air terjun alias curug. Sebenarnya jarak dari tempat parkir menuju air terjun hanya kurang lebih 1 kilometer, namun karena trek yang naik turun 'tangga' (alami?) tidak mudah dilewati, kita butuh waktu satu jam.









Sesampai air terjun. Saya lihat ada dua warung sederhana yang buka. Saya ingat tahun 2017 dulu sama sekali tidak ada orang jualan, padahal saya dan Ranz kehabisan bekal air minum, membuat saya 'terpaksa' minum air dari curug karena kehausan dan tidak ingin dehidrasi. Lol. Kali ini kita membawa bekal 3 botol air minum, dan sedikit cemilan. Meskipun begitu, kita mampir di satu warung untuk memesan es teh. Usai minum di warung ini, saya mengajak Ranz dan Angie mendekati air terjun untuk foto-foto. (Fitri nampaknya sempat terlelap sejenak di bangku panjang warung itu. Kasihan, mungkin dia benar-benar kurang tidur.) namun tak lama kemudian Fitri menyusul. Dia bahkan berganti baju dan berendam beberapa saat di air di bawah air terjun.


Pukul 14.15 kita mulai berjalan kembali menuju kolam renang. Sesampai sana, Angie mengajak mampir di satu warung untuk ngemil sesuatu. Kita memesan es florida orange, Angie juga memesan mie (instan) goreng plus telur. Saya dan Ranz memakan nasi bungkus yang dibagikan seusai upacara bendera paginya. Sementara Fitri membeli gendar pecel di warung lain karena di warung tempat kita nongkrong telah kehabisan gendar pecel.


Lebih dari pukul 16.00 kita telah sampai rumah lagi. Alhamdulillah.


Kapan lagi mengajak Angie kemana ya?


LG 10.20 19-Aug-2019

Wednesday, July 10, 2019

Ketika Dieng Bersalju


Setelah tujuh tahun berlalu, akhirnya aku dan Angie plus Ranz berkesempatan dolan ke Dieng lagi, tanpa rencana muluk-muluk. 😃 Jika di bulan Januari 2012 dulu kita bertiga dolan ke Dieng setelah aku mendapat undangan nikahan seorang (eks) rekan kerja di Wonosobo, kali ini kita "ngikut" rencana yang dibuat oleh Tami dan Dwi, dua gadis pelor yang ternyata telah tak kuat lagi bersepeda jarak jauh. 😔


Tiga hari sebelum berangkat, aku baru menawari Angie apakah dia mau ikut ke Dieng. Ternyata matanya langsung berbinar-binar waktu mendengar tawaranku itu, padahal beberapa tahun lalu sepulang dia dari Dieng diajak tantenya, dia nampak enggan mendatangi kawasan yang terkenal berhawa dingin itu. 😀


Sabtu 29 Juni 2019




Kita bertiga -- aku, Angie, Ranz -- bersama Fitri sobat lama Angie yang telah beberapa kali menemani kita jalan-jalan telah sampai di terminal mini Sukun pukul tujuh pagi. Ternyata Dwi dan Tami yang mengajak kita berkumpul di Sukun jam itu belum kelihatan. Setelah menitipkan motor, sarapan ringan di warung yang ada disitu, Dwi dan Tami muncul.


Pukul 08.00 kita berangkat ke Wonosobo naik shuttle car  jurusan Purwokerto. Biayanya Rp. 60.000,00 per orang. Di tengah jalan kita harus melewati beberapa kawasan yang sedang diperbaiki, yang berarti perjalanan kita agak tersendat. Untunglah kita naik shuttle car yang lebih mudah mobile ketimbang bus. Kendaraan yang kita naiki sudah berbelok ke arah Barat, sebelum sampai Secang. (Aku molor di hampir sepanjang jalan, lol, gegara malam sebelumnya aku tidak bisa tertidur nyenyak.) Kita melewati satu hutan (karet?) yang nampak kering kerontang di tengah musim kemarau ini, dan jalan yang dipilih bapak sopir nampaknya bukan jalan yang biasa dilewati orang, sempit dan tentu tidak beraspal. (hari gini, di Pulau Jawa, ada jalan yang tidak beraspal? Kudu dilaporin Pak Jokowi nih. Lol.) Untunglah saat lewat jalan sempit ini kita tidak berpapasan dengan shuttle car lain dari arah berlawanan, bakal ga cukup space-nya.


Menjelang pukul 12.00 kita telah sampai terminal Wonosobo. (Diam-diam aku deg-degan excited karena ingat 7 tahun lalu kita turun disini, kemudian aku dan Ranz gowes ke arah alun-alun, sementara Angie naik angkot kesana. Ya, aku memang lebay. Hihihi … ) Di bangku depan, Fitri dan Angie yang duduk di samping bapak sopir yang bekerja ngobrol, Fitri memberitahu bapak sopir bahwa kita akan ke Dieng. Maka, ketika kendaraan yang kita naiki melewati bus yang menuju Dieng (tulisannya WONOSOBO - DIENG - BATUR) bapak sopir memberi tanda agar bus itu berhenti karena ada calon penumpang yang akan ikut naik.


Dwi menandai jam 12.20 kita pindah ke bus mini itu. Biayanya Rp. 20.000,00. Semula bus itu hanya ada 1 penumpang, plus kita berenam, lama-lama bus pun penuh, meski sebagian dari mereka tidak menempuh jarak jauh. Jika 7 tahun yang lalu, aku molor di bus menuju Dieng, lol, kali ini aku cukup alert memandang jalan yang kita lewati. Ternyata trek menuju Dieng cukup sempit dan berkelok-kelok nanjak. Duh, trek yang sulit nih jika naik sepeda karena jalan yang sempit itu dipadati kendaraan yang lalu lalang dari dua arah. Mending nanjak Bromo deh kayaknya.


Sekitar satu setengah jam kemudian kita sampai di kawasan Dieng.  Horraaaaay. Kita turun tepat di depan losmen Bu Djo** yang lumayan terkenal di google itu. Dwi telah booking dua kamar disitu. Ranz pun kemudian juga booking satu kamar lagi setelah dia kuberitahu bahwa Angie dan Fitri positif ikut kita. Jika dua kamar yang dibuking Dwi itu tanpa kamar mandi (dalam), kamar yang dibuking Ranz ada kamar mandi dalam. Ketika kita akan check in, kita baru ngeh jika satu kamar yang dibuking Ranz terletak di homestay yang berbeda. :( Kita baru nyadar bahwa pihak losmen Bu Djo** itu semacam makelar. Angie, Fitri, Dwi, dan Tami sudah diantar seseorang untuk masuk kamar yang sudah dibuking, sementara aku dan Ranz masih menunggu diantar ke homestay yang dipesankan oleh pihak makelar.


Setengah jam kemudian kita baru diantar ke homestay PRATAMA yang terletak di Gang Pandawa, tak jauh dari minimarket Indo*****. Setelah melihat kamar yang dipesankan untuk kita disini, Ranz langsung memutuskan untuk memindah keempat gadis di losmen Bu Djo** ke homestay yang sama dengan kita. Meski kita bisa saja berkomunikasi lewat WA untuk memutuskan kita mau ngapain bersama, ga enak lah ya jika kita menginap di penginapan yang berbeda. Tak lama kemudian, mereka berempat menyusul ke homestay PRATAMA.





Sementara menunggu kamar yang satu lagi dibereskan, kita berenam ke Telaga Warna dengan menyewa 3 sepeda motor. Biaya sewa satu sepeda motor Rp. 100.000,00. sebelum sampai di Telaga Warna, kita melewati satu post dimana ada pihak wisata lokal menjual tiket seharga Rp. 10.000,00 yang bisa dipakai untuk masuk ke beberapa spot wisata, yang tidak masuk itinerary kita, misal Museum Kaliasa. :D Untuk masuk Telaga Warna, kita membeli tiket seharga Rp. 15.000,00 per orang.


Jika di tahun 2012 dulu belum ada spot-spot instagrammable untuk pengunjung selfie, kali ini sudah ada beberapa lokasi yang menjadi 'rebutan' para pengunjung untuk foto-foto. 😍Memasyarakatnya media sosial -- gegara android yang memudahkan orang online -- telah mengubah wajah destinasi wisata, dengan dibangunnya spot spot instagrammable selain membuatnya kian ramai dikunjungi wisatawan.






Dari Telaga Warna kita ke Kawah Sikidang. Kawasan kawah yang 7 tahun lalu berupa tanah lapang kosong, selain beberapa spot kawah, tanpa ada spot spot instagrammable, sekarang malah terkesan kumuh dengan spot-spot yang nampak dibuat secara ngawur disana sini. 😧 belum lagi ada sepeda motor trail dan ATV yang bersliweran. 😞

Menjelang maghrib kita meninggalkan kawah Sikidang kembali ke penginapan. Kita mampir makan malam dulu di satu rumah makan. Lagi aku membandingkan suasana yang jauh berbeda; 7 tahun lalu area ini sangat sunyi selepas maghrib, sekarang hiruk pikuk. Sangat bagus untuk orang lokal yang berbisnis ya, tapi bagi pengunjung, ini terlalu penuh sesak. 😒 Duh, ga kebayang suasana sini di masa penyelenggaraan DIENG CULTURE FESTIVAL. Hmft … mungkin penuh sesaknya ngalahin area Borobudur saat Waisak?


Setelah makan, kita kembali ke penginapan. Dan … aku mulai menggigil kedinginan. Wedew. Di kamar yang kutempati, aku berbagi dengan Angie dan Fitri. Sedangkan di kamar satunya lagi, Ranz, Dwi, dan Tami shared the bed together.


Malam itu, Angie sempat keluar sebentar menemui temannya yang menyusul ke Dieng bersama suaminya setelah tahu Angie pun dolan ke Dieng. Sementara aku melawan kedinginan dengan mengenakan dua kaos lengan panjang plus jaket dan meringkuk di bawah selimut yang tebal,  ternyata, tanpa kutahu, tiga perempuan di kamar sebelah jalan-jalan menikmati suasana malam. 😖😕😔😒


Minggu 30 Juni 2019


Semula Dwi dan Tamii berencana ke Sikunir pagi ini, menjaring sunrise view disana. Namun atas rekomendasi si Ibu yang punya/penjaga homestay, mereka ga jadi ke Sikunir. Area yang bersalju adalah Candi Arjuna. Sebaiknya pagi ini kita jalan ke Candi Arjuna jika ingin mendapatkan pemandangan rerumputan yang digayuti embun bersalju di pagi hari, sebelum pukul tujuh. Sedangkan sunrise di Sikunir bisa kita dapatkan pada kesempatan lain. 😃


Pukul setengah enam kita sudah bersia-siap, kemudian mulai jalan. Kawasan Candi Arjuna hanya terletak kurang lebih 1 kilometer dari homestay, kita lebih baik kesana jalan kaki karena jalan yang macet. (WHATTT? M-A-C-E-T??? 7 tahun yang lalu area ini sunyi sepiiiii, aku dan Ranz kesulitan mencari orang yang berjualan makanan untuk sarapan. Namun sekarang area ini macet! Banyak orang berbondong-bondong ke kawasan Candi Arjuna, untuk membuktikan embun yang berupa butiran salju.  Hmmm … barangkali jika tidak sedang bersalju, kawasan ini ga sepenuh sekarang ya?






Di halaman parkir (dalam) dekat pintu masuk Candi Arjuna yang penuh dengan rerumputan, penuh orang-orang yang nampak menikmati hawa dingin, dan terheran-heran dengan embun berupa salju yang menggayuti rerumputan yang ada. Bagiku pribadi yang menakjubkan disini bukan hanya salju yang membuat rerumputan yang mengering itu berwarna putih, namun pemandangan gunung-gunung yang ada di sekitar kita sangat indah!


Lebih dari pukul tujuh, kita masuk ke kawasan candi, setelah sebelumnya menikmati kentang dan jamur goreng. Selain itu, aku juga sempat minum secangkir kopi hitam.









Waktu kesini bulan September 2019 bersama kawan-kawan kerja, aku tidak berjalan memutari kawasan candi, (dibandingkan waktu pertama kali kesini tahun 2012, aku bersama Angie dan Ranz menjelajah sampai ke Candi Bima) karena kawan-kawan kerja yang nampak enggan berjalan jauh. Eh, ternyata pergi kesini lagi bersama gadis-gadis muda ini sama saja. Mereka enggan mengeksplor jauh, yang penting telah dapat foto buat ngeksis di media sosial. Hadeeeh. Ya sudah, aku manut saja. 😂


Pukul delapan lebih kita keluar. Saat sarapan! Kita mampir ke satu rumah makan yang kita lewati saat berjalan kaki menuju homestay. Jika tadi malam aku memesan mie ongklok, pagi ini aku memesan nasi goreng ayam.


Setelah sarapan, kita kembali ke homestay. Beberes bentar, ganti pakaian, kemudian kita berenam beranjak ke Batu Ratapan Angin, naik motor. Biaya sewa Rp. 100.000,00 untuk kita pakai selama kita berada disitu, kurang lebih dua hari.


















Ini kali kedua aku ke Batu Ratapan Angin, yang pertama bulan September 2018 waktu kesini bersama kawan-kawan kerja. Pemandangannya cukup ciamik, kita bisa melihat Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas. Disini juga banyak spot instagrammable, dimana untuk foto-foto di spot-spot itu, kita harus membayar limaribu rupiah per orang, per spot. Tami sempat mencoba ayunan, dan untuk itu, dia harus membayar Rp. 25.000,00.


Pukul dua belas kita telah kembali ke homestay. (NOTE: jalanan macet!) Saatnya kita beberes, kemudian check out. Kurang lebih pukul setengah dua kita meninggalkan homestay, setelah foto bareng dengan si Ibu yang telah 'melayani' kita dengan baik.


Kita cukup jalan kaki kurang dari 5 menit telah sampai di jalan dimana kita bisa menunggu bus menuju Wonosobo. Namun jalanan macet membuat kita berjalan kaki menuju pertigaan, dimana jika lurus kita akan sampai Telaga Warna, jika belok kiri, kita akan menuju Wonosobo. Sebelum ada bus yang bisa kita naiki lewat, kita melihat tiga kawan KOMPAL, komunitas pesepeda dari Gunung Pati telah sampai. Yang lain sedang dalam perjalanan nanjak. Wah, hebat Om Ali dan Om Har Aj. (yang satu lagi, aku lupa namanya, hihihi …)


Setelah foto bareng dengan kawan-kawan KOMPAL, kita melihat sebuah bus jurusan Wonosobo lewat, kita langsung mencegatnya dan naik. Beruntunglah karena 5 dari kita mendapatkan tempat duduk, Ranz satu-satunya yang terpaksa berdiri karena bus penuh. Jalan turunan/menanjak itu penuh kendaraan yang lewat, jauh lebih penuh ketimbang sehari sebelumnya. 😏


Pukul tiga sore kita telah sampai di alun-alun Wonosobo. Kita janjian dengan seorang sopir shuttle car pukul empat sore. Kita masih ada waktu untuk makan siang yang kesorean di satu pujasera yang terletak disitu. Kali ini aku memesan capcay ayam.


Setelah ada sedikit 'masalah' dengan shuttle car yang akan kita naiki, akhirnya kita mendapatkan mobil yang akan mengantar kita kembali ke Semarang. Pukul 17.17 kita naik mobil yang menjemput kita di alun-alun, tak jauh dari pujasera tempat kita makan. Dari sini, pak sopir mengajak kita mampir sebentar di terminal, katanya dia harus lapor ke pak bos terlebih dahulu. Mobil benar-benar meluncur ke arah Semarang pukul 17.37. alhamdulillah perjalanan lancar, kita telah sampai di Sukun pukul 21.00.


Ranz masih harus melanjutkan perjalanan menuju Solo dengan naik bus. Dia melaporkan bahwa dia tidak mendapatkan tempat duduk karena bus penuh penumpang. 😟


Dan … rasanya aku ingin segera kembali ke Dieng lagi, untuk menikmati rasa menggigil kedinginan. Hahahahaha …


PT 56 17.17 03 July 2019