Angie in 2007 |
Tatkala Angie masuk SMA N 3 Semarang tahun ajaran 2006/2007, aku tidak tahu apakah yang dimaksud dengan SNBI = Sekolah Nasional Berstandar Internasional (yang belakangan lebih dikenal sebagai SBI = Sekolah Bertaraf Internasional?) Angie ingin masuk sekolah negeri terfavorit di Semarang ini karena beberapa teman dekatnya waktu SMP masuk ke SMA N 3. Aku sendiri ingin Angie bersekolah di situ bukan melulu karena prestise (karena aku belum tahu apa-apa tentang SBI), namun lebih ke romantisme pertengahan tahun 1980-an, aku bersekolah di sekolah yang gedungnya merupakan peninggalan zaman kolonial Belanda yang terletak di Jalan Pemuda no 149 ini.
Setelah Angie masuk SMA N 3, kepala sekolah Drs. Sudjono, menjelaskan yang dimaksudkan dari SBI. Para siswa diharapkan akan mampu bersaing dengan lulusan high school dari luar negeri. Bagaimana caranya? Di kelas X, enam mata pelajaran diberikan dalam Bahasa Inggris: matematika, fisika, kimia, biologi, ekonomi, dan tentu saja Bahasa Inggris. Sedangkan untuk prasarana, semua kelas dilengkapi dengan AC—agar siswa nyaman dan tidak merasa kegerahan, maklum Semarang terkenal dengan hawa panasnya—sehingga siswa diharapkan akan mengikuti pelajaran dengan baik. Selain itu, setiap kelas dilengkapi dengan LCD dan komputer yang bisa dipakai oleh guru maupun siswa. Tak heran jika beberapa guru memberikan catatan dalam bentuk file dan siswa mentransfernya ke dalam flash disk.
Floppy disk menjadi kuno di sini, karena dianggap tak cukup untuk menampung semua data.
Ada dua hal yang bersifat kontradiktif yang kurasakan. Pertama, aku senang dengan prasarana yang disediakan oleh sekolah—AC, LCD, dan komputer. Angie akan merasa nyaman dan tidak buta teknologi. Yang kedua aku ragu. Seandainya kemampuan Bahasa Inggris guru matematika, fisika, kimia, biologi, dan ekonomi tidak memadai, bagaimana cara mereka mencerdaskan para siswa? Diberikan dalam Bahasa Indonesia saja masih memusingkan, apalagi diberikan dalam English yang masih tetap dianggap sebagai bahasa asing di Indonesia ini? (Sebagai bandingan, English dianggap sebagai bahasa kedua di negara tetangga, Malaysia dan Singapore.) Apa yang akan didapatkan Angie, selain bahwa she is exposed to an English-speaking environment?
Keraguan ini semakin membesar tatkala di lembaga kursus Bahasa Inggris tempatku bekerja dipercaya oleh sebuah sekolah kejuruan untuk memberikan pelatihan Bahasa Inggris kepada para gurunya, untuk mempersiapkan sekolah itu menyongsong era SBI. Kemampuan Bahasa Inggris para guru yang lebih dari 50% telah mencapai usia matang itu sangat memprihatinkan. Untuk daily conversation saja sangat memprihatinkan, bagaimana mereka harus menyampaikan pelajaran dalam Bahasa Inggris?
Sebagai seorang guru Bahasa Inggris, tentu aku sangat senang dengan lebih meluasnya pemakaian Bahasa Inggris dimana pun kita berada. Namun untuk ‘menyulap’ sebuah sekolah siap bersaing menjadi SBI, tidaklah semudah mengatakan abrakadabra. SMA N 1 yang tidak mau kalah dengan SMA N 3 pun mulai tahun ini menyiapkan diri menjadi SBI secara swadaya, lain dengan SMA N 3 yang dipilih oleh pemerintah sehingga mendapatkan bantuan dana. Swadaya? Ya, pihak sekolah membebani para orang tua siswa dengan uang sumbangan pembangunan sejumlah 4-5 juta rupiah per siswa baru, jumlah yang bagiku sangat fantastis untuk masuk ke SMA. Dan seperti yang kukemukakan di atas, untuk perlengkapan fisik kelas, seperti penyediaan AC, LCD, komputer dan internet jauh lebih mudah daripada meningkatkan mutu para guru dan karyawan. Sudah saatnya dalam perekrutan guru baru, syarat mampu berbahasa Inggris aktif harus disertakan, seperti beberapa perusahaan bonafide yang mengharuskan pelamarnya memiliki sertifikat TOEFL dengan skor tertentu.
Mengenai keraguan beberapa pihak bahwa seorang siswa yang bersekolah di SBI akan melupakan jati dirinya sebagai seorang anak Indonesia, aku tidak setuju. Untuk mengantisipasinya, dalam kurikulum bisa ditambahkan muatan lokal, seperti pelajaran menari tradisional, maupun bahasa daerah. Seseorang yang berbicara bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari tidak akan serta merta membuatnya menjelma menjadi seorang American atau European maupun Australian. Jack C. Richards dalam pidatonya sebagai salah satu keynote speaker dalam seminar TEFLIN di Surabaya tahun 2002 lalu mengatakan bahwa Bahasa Inggris telah menjadi bahasa dunia, bukan semata milik orang Inggris, Amerika, maupun Australia. Semua orang bisa berbicara bahasa Inggris menggunakan dialek lokal masing-masing, dan tanpa meninggalkan jati dirinya sebagai seorang warga negara Indonesia, Jepang, Korea, dll.
Kembali ke masalah SBI. Kita belum melihat lulusan pertama hasil kurikulum SBI dari SMA N 3 yang kebetulan terpilih sebagai ‘kelinci percobaan’ pemerintah di Semarang. Apakah benar para siswa itu akan mampu bersaing dengan para lulusan high school luar negeri? Sebaiknya kita melihat dulu, dan tidak terburu-buru untuk mengubah sekolah lain mengikuti ‘demam SBI’, hanya demi gengsi sekolah, apalagi hanya demi keuntungan keuangan semata, dan mengorbankan pendidikan anak-anak kita sebagai generasi penerus bangsa.
PT56 22.19 220807
1 comment:
krn demam SBI, banyak guru diterima sekedar krn bisa bhs Inggris. tapi tidak bisa mengajar.. ini juga bisa bermasalah dalam menghadapi anak yg tidak masuk kriteris 'normal'.
bila gurunya susah konversasi, bagaimana menerangkan bahan? bisa jadi malah mutu menurun.
kalau di liat jangka panjang sih usahanya bagus. walau daripada investasi di AC, mendingan invest di laboratorium, atau buku menurutku.
Post a Comment