“Bu Nana tahu ‘kebab’? Sudah pernah makan ‘kebab’? Di jalan yang akan masuk ke Pusponjolo ada orang jualan ‘kebab’ yang lumayan enak loh.” Seorang rekan kerja bertanya padaku pada hari yang sama, Sabtu 28 Juli 07.
“Well tahu sih, tapi aku belum pernah mencobanya. How much is it?” tanyaku balik, ingat bahwa Angie menyukainya.
“Ada beberapa macam ukuran. Yang paling kecil harganya Rp. 6000,00. tapi makan satu ‘kebab’ saja sudah sangat mengenyangkan,” jawabnya.
“Well, yang pertama kali promosi ‘kebab’ kepada Angie adalah Nana, sobatnya. Satu hari Nana mampir ke toko roti ‘Duta Sari’ yang terletak dekat rumah, hanya satu gang, bersama nyokapnya. Di toko yang milik seseorang keturunan Arab itu, Nana dan nyokapnya, yang juga memiliki darah Arab dalam tubuhnya, membeli beberapa macam roti, yang salah satunya ‘kebab’. Sebagai teman yang baik, Nana pun membelikan satu buah (buah? Biji? Tangkup? What is the correct measurement for this kind of food? LOL) ‘kebab’ untuk Angie yang kemudian dia antarkan ke rumah. Itulah kali pertama Angie berkenalan dengan makanan seperti burger yang namanya a la Arab ini.” jawabku panjang lebar.
“Oh deket rumah bu Nana ada juga toh? Harganya berapa?” tanya teman kerjaku itu.
“Lima ribu rupiah, seingatku.”
“Wah, murah dong mbak,” komentar temanku yang memiliki anak dia beri nickname sama dengan anak semata wayangku, Angie.
“Satu sore Angie pernah memintaku untuk membelikan ‘kebab’ untuknya. Kebetulan tanggal tua saat itu, kalau tidak salah. Komentarku waktu itu kepada Angie, “Yah ... lima ribu untuk beli satu buah kebab, hanya membuat seorang Angie kenyang sementara Mama masih kelaparan. Sementara kalau uang lima ribu rupiah itu kita belikan satu porsi nasi goreng di warung Cak Kabul dekat pasar Krempyeng itu, bisa membuat kita berdua kenyang. Bagaimana?”
Mendengar ceritaku ini, temanku yang anaknya bernama Anggun namun dia panggil Angie (ben bosen sing moco, tak bolan baleni wakakakaka ...) ini langsung berteriak, “Ya ampun mbak, kamu pelit amat sih sama anak sendiri? Angie ga protes waktu itu?” LOL. LOL.
“Oh dear don’t forget that Angie is very understanding. Ya ga protes lah dia. dia malah bilang, “Iya ya? Yuk beli nasi goreng aja Ma.” LOL.
“Dasar nyokapnya kebangeten,” temanku masih bersungut-sungut. Hahahaha ...
Sementara temanku yang menyebabkan ‘kebab’ pertama kali muncul sebagai bahan diskusi terlihat manyun, sembari bilang, “Ya iya sih, tapi kan kepuasannya beda? Sekali-sekali ga papa kan nyicipin ‘kebab’?” LOL
FYI, percakapanku dengan Angie selanjutnya waktu itu adalah,
“Kapan-kapan nanti Mama beliin Angie ‘kebab’ ya?” rengek Angie.
“Iya Sayang. Nanti setelah Mama gajian ya?”
Dan wajah Angie pun tetap cerah ceria.
Aku yang berlidah Jawa, meskipun berdarah Gorontalo, tetap saja sulit untuk ikut menikmati makanan-makanan ‘impor’ sebangsa burger, pizza, spaghetti, kebab, sandwich, you name it. Aku lebih suka menikmati pecel, petis kangkung, gudangan (atau disebut ‘urap’ di beberapa tempat) rujak, gado-gado, nasi goreng, bakmi Jowo, and other Javanese cuisine. Selain Chinese cuisine yang tentu telah mendapatkan pengaruh Jawa (“Hasil penggunaan teori THE ACT OF READING” komentar Pak Bakdi satu kali waktu aku dan Julie konsultasi tesis), seperti kwetiau dan cap cay.
Weleh, setelah mengalami adaptasi menggunakan teori THE ACT OF READING pun aku tetap kurang menyukai rasa makanan-makanan impor itu, apalagi rasa aslinya ya?
PT56 11.37 290707
No comments:
Post a Comment