Wednesday, September 19, 2007

Menulis

Salah satu teen-lit novel kesukaan Angie adalah serial “Princess Diary” yang ditulis oleh Meg Cabot yamg tak lagi seorang teenager. Seperti judul bukunya, isi novel ini tentu saja berupa tulisan diary sang Putri Mia Thermopolis. Kalau tidak salah, pertama kali aku membelikan seri pertama Princess Diary untuk Angie tahun 2003. Usia sang tokoh imajiner, Mia Thermopolis, yang 14 tahun, tidak jauh berbeda dari Angie yang waktu itu berusia 12 tahun membuat Angie merasa tidak asing dengan karakter Mia, meskipun Mia hidup di kota metropolitan New York. 


Karena begitu menyukai cara Mia menulis diary-nya, aku lihat Angie pun terpengaruh dengan cara Meg Cabot menulis sebagai Mia. (Tentu saja aku mengetahuinya dari membaca diary Angie secara diam-diam. LOL.) Aku cukup terkejut mengetahui betapa Angie begitu mudah mengaplikasikan cara Meg menulis diary seorang anak perempuan berusia 14 tahun. 


*****

Ketika aku membaca KUMpulan CERpen milik Djenar Maesa Ayu—mulai dari “Mereka Bilang Saya Monyet” dan mengetahui bahwa Djenar belajar menulis dari Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Seno Gumira Ajidarma, secara lintas—maksudku aku belum melakukan riset yang mendalam—aku melihat cara menulis Djenar yang agak mirip dengan ketiga gurunya tersebut. 


Hal ini mengingatkanku akan tuduhan orang kepada Ayu Utami bahwa sebagian dari novelnya “Saman” dituliskan oleh Goenawan Mohammad. Siapa tahu cara Ayu Utami menulis mendapatkan banyak pengaruh dari GM, sehingga orang-orang yang tidak rela karena seorang perempuan memenangi Sayembara menulis novel dengan serta merta menuduh GM terlibat dengan aktif—baca  “menuliskan”—dalam beberapa bagian novel tersebut. 


Angie tidak belajar secara khusus dari Meg Cabot cara menulis diary, hanya dengan membaca teen-lit yang berjudul “Princess Diary”, di mataku Angie sudah cukup berhasil “meniru” cara-cara Meg. Apalagi Ayu yang berkawan dekat dengan GM. Anything wrong with that?


Satu waktu ketika aku konsultasi tesis dengan Professor Bakdi Soemanto—salah satu budayawan yang tinggal di Jogjakarta—aku sempat menanyakan kepada beliau tentang hal “tiru-meniru” ini, atau, lebih “terhormat”nya sebut saja “proses belajar menulis” dari orang lain. Pak Bakdi mengiyakan bahwa hal tersebut sangatlah mungkin terjadi. Akan tetapi pada kasus Ayu dan GM, ternyata beliau lebih ‘setuju’ pada publik yang menuduh GM “menuliskan beberapa bagian” novel SAMAN. :) Kemudian beliau malah bercerita tentang orang yang dia sebut “Mas Goen” ini yang konon memang terlibat secara emosial dengan Ayu.


Darimanakah aku belajar menulis? Aku tidak pernah belajar menulis secara khusus dari siapa pun. Aku belajar menulis secara otodidak. Seandainya ada orang yang mengatakan cara menulisku mirip si A, atau B, atau C, well ... bisakah aku mengatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia yang benar-benar sempit? :)


PT56 14.14 180907

Friday, September 14, 2007

Angie's Oral Exam


 

Angie has been studying English in an English course where I work for around three years. However, she has never been in my class, and I have never been an oral examiner in her class during the promotion test. This term—term III 2007—I almost became her class teacher in High Intermediate 3. (Un)fortunately, when Angie knew about it, she asked me to exchange the class with another workmate of mine. So, she got another teacher in her class—not me.


A week ago when the schedule for the promotion test was issued, which teacher would proctor which class, and which teacher would oral-examine which class, I found my name to be the oral examiner of Angie’s class. I told my workmate who was teaching Angie’s class this term, “I will oral examine Angie’s class. But this time, I will not exchange it with anybody else. I will not tell her either so that it will be a surprise for her.


“I want to know her capability in English,” I reasoned. My workmate smiled widely to hear that.
In the morning before the oral test, Angie asked, “Who will oral examine my class, Mama?”
“I am sorry honey, I haven’t taken a look at the schedule yet,” I avoided giving an answer. LOL.


*****


That afternoon, after the bell rang, I went to Angie’s classroom. I didn’t find her among the students crowding the classroom. However, after I entered the room, talking to some students inside, I saw Angie standing outside, trying to peep who was the oral examiner, and seemed surprised to see me there. I waved and smiled to her. LOL. I heard some of her classmates say, “Angie, you don’t need to take oral test here. You can do it later, at home.” LOL. LOL.


In her turn, as usual, Angie paired up with Nana, her close friend since they were in elementary school. When I asked Angie to read a passage, to score her pronunciation, she seemed relaxed, as if she wanted to tell me, “No need to worry about me, Mama. I am good.” LOL. And yes, she didn’t make any mistake at all! (FYI, she often complains at home when I ask her to practice her pronunciation.) When I gave her compliment, “Good” with one of my thumbs up, she made a V with her right hand on her head, confidently. LOL. By doing that, as if she wanted to tell me, “See? No need to worry about me, right?” LOL.


After the reading step to score the pronunciation, the examiner gave a case to be discussed in pairs. I gave Angie and Nana a case of “designing babies”, Perhaps because both of them—especially Angie—felt really at ease with me, they seemed very relaxed when discussing the topic. I was sometimes amazed with Angie’s answer, and I had to tell myself that she had my intellect in her. LOL. LOL.


Nana agreed with designing babies phenomenon, such as what kind of sex a couple wants to have for their baby. Nana said she wanted to have a baby girl, “So that I can do girly things to her, to make her as beautiful as me.” She said jokingly but confidently. LOL. Angie is on the way around. Although she didn’t mind people’s business to choose what sex for their future babies, Angie didn’t want to do that. “It is up to God what my baby will be. I would prefer to have a surprise rather than a made-up one.”


That’s my girl!!! LOL.


LL 18.53 130907

Saturday, September 08, 2007

Peraturan baru ...


 

Tadi pagi, waktu sedang bersiap-siap akan berangkat sekolah, tiba-tiba Angie bilang, “Ma, sekarang ga boleh pake jaket kalo ke sekolah!”

“Lah, emang kenapa?” tanyaku heran.

“Entahlah. Pokoknya begitu masuk pintu pagar, jaket harus dilepas. Kemarin Mama perhatikan ga dua guru yang berdiri di dekat pintu masuk? Mereka melototin Angie kan? Untung jaket belum Angie pake.”

“Well, kalau tidak ada alasan jelas mengapa seorang siswa ga boleh pake jaket itu kan tidak mendidik namanya. Ingat salah satu adegan dalam film NAGABONAR JADI 2 waktu si supir bajaj bilang ke Nagabonar bahwa bajaj dilarang masuk ke jalan tertentu di Jakarta?”

Angie tersenyum geli mengingat adegan itu.

“Di situ, Nagabonar ngotot meminta jawaban yang jelas dari Tukang Polisi (huehehehe ... ada ga tukang polisi? LOL) yang jaga di jalan bebas bajaj, namun dia tidak mendapatkan jawaban yang jelas kecuali ‘memang peraturannya begitu Pak!’ Lah, pertanyaannya mengapa ada peraturan seperti itu? Dan si tukang polisi yang tidak tahu alasannya cuma muter-muter aja jawabannya. Ketika dilihatnya Nagabonar tetap ngotot akhirnya si polisi bilang, merengek tepatnya, “Pak tolong saya Pak. Kalau Bapak tetap nekad juga masuk jalan ini naik bajaj, saya yang akan dipecat.” Nagabonar yang tetap terlihat penasaran akhirnya mengalah jalan kaki karena dia tidak mau membuat si polisi itu terkena masalah. Polisi itu kan cuma orang kecil di jajarannya. Nah, kalau sekolah Angie ingin mendidik anak-anak, tolong dong diberi alasan yang jelas mengapa siswa tidak boleh pake jaket tatkala memasuki gedung sekolah. Jangan asal membuat peraturan tanpa dasar yang jelas.”

(Beginilah salah satu caraku mendidik Angie untuk berpikir secara kritis.)

Angie cuma manggut-manggut. But then tiba-tiba aku justru mendapatkan jawabannya.

“Honey, do you remember one bad happening during orientation period for the new students? You told me some new students lost their cellphones when they had to attend some ceremonies outside the classrooms. You were even one of the accused students only because you had two cellphones. And then later the school found some smugglers entering the school who stole some cellphones. Mereka pura-pura menjadi siswa SMA N 3 dan memanfaatkan masa orientasi sekolah itu—karena biasanya terjadi kelengahan pada masa tersebut berhubung biasanya anak-anak banyak yang berkeliaran di luar kelas karena kegiatan yang dilakukan pada saat tersebut. Mungkin sekolah ingin mengantisipasi hal seperti itu sehingga tatkala para siswa masuk gedung sekolah, mereka harus menunjukkan identitas mereka dengan menunjukkan badge sekolah.”

Sekali lagi, Angie manggut-manggut. Kali ini wajahnya agak cerah karena menemukan jawaban mengapa tiba-tiba siswa-siswi SMA N 3 tidak boleh memakai jaket tatkala memasuki areal sekolah.
Btw, berhubung gosip terheboh yang baru saja kuperbincangkan dengan Angie semalam adalah free sex masuk sekolah, yang menggayuti pikiranku sebenarnya adalah apakah ada hubungan antara siswa tidak boleh memakai jaket tatkala memasuki gedung sekolah dengan gosip terheboh tersebut? Barangkali pihak sekolah menengarai para pelaku free sex tersebut bukan anak-anak SMA N 3? Tapi semalam Angie sempat menyebut beberapa siswa yang telah diinterogasi pihak sekolah berkenaan dengan hal tersebut. Dan seperti pada tulisanku sebelum ini, sudah ada ‘shock therapy’ yang dilakukan oleh pihak sekolah—meskipun menurutku tidak selayaknya dilakukan oleh well-educated people: langsung menuding oknum-oknum tertentu dengan sebutan yang memerahkan telinga, misal “perek”. Kalo untuk siswa laki-laki, apa ya sebutannya? Angie didn’t mention it. Mengapa shock therapy ini hanya berlaku kepada para siswa perempuan saja? Misogini memang tetap terjadi di segala lapisan masyarakat.
Hhhhhhhh ... ... (aku menghela nafas yang benar-benar panjang ...)

PT56 16.52 060907

Friday, September 07, 2007

Free Sex: ‘co-culture’ in Indonesia (already)?

the pic was taken at PC swimming pool, after swimming, not at Kahuripan

 

Semalam, Rabu 5 September 2007, aku dan Angie makan malam di kafe “Kahuripan”, tempat kita biasa ‘merayakan’ sesuatu hanya berdua saja. Misal: waktu Angie lulus SMP lebih dari setahun yang lalu (kebetulan dia bersekolah di SMP N 1, yang lokasinya dekat dengan kafe “Kahuripan”), kemudian Angie diterima di SMA N 3, Angie masuk jurusan IPA—jurusan yang dia inginkan, agar dia bisa mendaftar di Fakultas Psikologi nanti setelah lulus SMA. Occasion apa semalam? Tentu kemenanganku dalam lomba blog yang diadakan oleh Fakultas Ilmu Komputer Unika Soegijapranata. Namun, tentu saja tidak hanya dalam occasions tertentu saja aku dan Angie mampir ke kafe tempat nongkrong anak-anak SMP N 1 dan SMA N 6 Semarang (kedua sekolah ini kebetulan terletak di jalan yang sama, Jl. Ronggolawe Semarang). Kadang-kadang kalau aku dan Angie kangen masakan yanb biasa kita pesan di kafe ini.

Seperti biasa, yang paling kunikmati tatkala eating out berdua dengan Angie adalah saat Angie bercerita tentang teman-temannya, sekolahnya, dll. Pada saat-saat seperti itu, Angie biasa bercerita banyak tanpa aku perlu ‘menginterogasinya’. LOL.

Dan, yang diceritakan oleh Angie semalam benar-benar membuatku shocked—areal sekolah telah menjadi tempat pilihan untuk melakukan hubungan seks!

Sebenarnya Angie telah membawa ‘wacana’ ini kepadaku sejak seminggu yang lalu, namun aku tidak dengan mudah mempercayainya. Apalagi tatkala Angie menyebut nama seorang guru yang—I am really to say this --menurutku sok tahu dan fussy banget. (Ini berdasarkan pengalamanku sendiri waktu belajar di sekolah itu lebih dari 20 tahun yang lalu.)

Aku bilang ke Angie, “Honey, don’t easily believe in what people say. Moreover you know I know that particular teacher well. Don’t easily judge your friends to do that so-called immoral thing. Ok?”

“But Mama, I am sorry to say that she was not the only one who said such a thing. Some other teachers also said the same thing. One of the janitors also saw some students doing ‘that’ in the classroom. The rumor said that the students threatened the janitor not to tell the teachers.”

Waktu itu obrolan berhenti di situ mungkin karena suasana yang kurang mendukung kita berdua untuk curhat.

Obrolan baru berlanjut tadi malam di kafe “Kahuripan”. Angie bercerita lebih panjang lebar ini itu, itu ini, bla bla bla ...

Dan aku hanya bisa menghela nafas panjang.

Aku mencoba mengingat kembali zamanku dulu tatkala masih duduk di bangku SMA. Tidak ada kisah sepasang cowo cewe terpergok guru ataupun siapa sedang melakukan sesuatu yang tidak selayaknya dilakukan di sekolah. Ada gosip yang mengatakan beberapa temanku saat itu kalau pulang dijemput ‘om om’. Namun tentu saja waktu itu tidak ada kisah ‘terpergok’ di sekolah. Dan aku ingat, pada waktu itu, ruang-ruang kelas di gedung SMA N 3 dipakai oleh sekolah swasta di siang sampai sore hari, SMA PGRI 2 yang memang waktu itu belum memiliki gedung sendiri. (Btw, sekolah itu masih eksis ga ya sekarang? Kok aku ga tahu kelanjutannya? Atau memang aku ini tipe pasif dan ignorant. 😒)

Aku yakin, kisah ini tidak hanya terjadi di sekolah terfavorit di Semarang. Tentu hal ini pun terjadi di sekolah-sekolah lain. Fenomena ini telah menggejala di seluruh Indonesia, terutama di kota-kota besar.

(Aku jadi ingat cerita seorang teman chat. Dia pernah chat dengan seorang cewe, masih duduk di bangku SMA. Cewe ini mengajaknya kopi darat. Setelah kopi darat, si cewe yang mengendarai mobil lumayan mewah ini mengajaknya mampir ke sebuah hotel dan mengajaknya having sex. Berhubung si cewe ini cantik, dan temanku mengaku sebagai seorang laki-laki hetero yang ‘normal’, (yang menolak berarti tidak normal. LOL.) they had sex. Waktu mengetahui bahwa ternyata si cewe masih perawan—baca  temanku mengaku dia yang merobek selaput dara si cewe cantik berusia belasan tahun itu, terbukti dari darah yang keluar dari vagina—temanku terheran-heran. Konon setelah kejadian itu, mereka tidak pernah kontak satu sama lain. Tatkala temanku kudesak kira-kira motivasi apa yang dimiliki oleh si cewe itu to invite him for a hot date, dia bilang, “Well, mungkin saja dia taruhan dengan temannya, atau apa kek, dimana dia bakal malu kalau ketahuan dia masih ‘perawan’ dan belum punya pengalaman to have sex. Di Jakarta hal seperti ini sudah umum!”)

Aku ingat zaman kuliah waktu mempelajari tentang ‘sub-culture’ (yang kemudian kuketahui sebagai ‘co-culture’ untuk menunjukkan kesetaraan ‘culture’ ini dengan ‘culture’ yang lain, dan bukan ‘sub-culture’ yang konotasinya berada ‘di bawah’ ‘culture’ yang mainstream) ada pertanyaan, “What is sub-culture of America?” pertanyaan yang kedengarannya nampak mengada-ada ini bisa kita ganti dengan “What is sub-culture of Indonesia?”

Di awal kuliah di American Studies UGM, ada satu pertanyaan yang menggelitik dari salah satu presenter yang juga dosen pada kesempatan “General Stadium”. “What is the culture of America?” Kita-kita yang (masih) orang awam tentang American Studies, menjawab sekenanya, such as, “free sex”, “individualistic” “hip hop culture”, “pluralism” “freedom” dan masih banyak lagi. Bagi mereka yang pernah mendapatkan kuliah “American Studies” waktu duduk di bangku S1, mungkin menjawab dengan jawaban yang lebih keren, seperti “American dream: from rags to riches”, “middle class society”, “the pursuit of happiness”, dll.

Seandainya pertanyaan “What is the culture of Indonesia?” mungkin jawaban yang akan keluar adalah, “gotong royong, andap asor, toleransi, ramah tamah,” dll. Free sex? Tentu kita akan dengan lantang mengatakan “TIDAK!”

Namun lihatlah apa yang telah terjadi pada bangsa kita belakangan ini. Tidak adakah free sex di kalangan orang-orang Indonesia? Jawabannya tentu adalah “ADA”. Akan tetapi karena kita tidak mengakuinya, bisa saja free sex—yang nampaknya telah terjadi secara meluas di masyarakat—kita sebut sebagai ‘co-culture’. Mau tidak mau it has existed.

Bagaimanakah pihak sekolah Angie menyikapi hal ini? Pihak sekolah mulai lebih ketat mengadakan pengawasan kepada anak-anak. Jika sebelum ini para guru membiarkan para siswa-siswinya ‘berkeliaran’ di sekolah (dengan alasan mengikuti kegiatan ekstra kurikuler ini itu, aktif di OSIS dan sebagainya) setelah jam sekolah usai, sekarang para guru mulai dengan ketat ‘mengusir’ anak-anak untuk segera meninggalkan areal sekolah jika memang tidak ada kegiatan yang jelas.
“Do you want to know why honey?” aku tanya Angie.

“Why Mama?” Angie bertanya balik.

“Pihak sekolah tidak mau ikut bertanggung jawab. No matter what, jika hal tersebut terjadi di sekolah, pihak sekolah akan ikut dituding sebagai pihak yang membiarkan hal tersebut berlangsung. Namun jika hal tersebut terjadi di luar sekolah, pihak sekolah merasa aman, anak-anak bukan lagi merupakan tanggung jawab sekolah begitu meninggalkan areal sekolah. Anak-anak harus bertanggung jawab akan segala hal yang mereka lakukan sendiri. Btw honey, how did school know some particular students who have done that? Even as you told me before, school even also knew how many times the students have done that?”

“Ya mereka dipanggil lah Ma oleh BK, kemudian diinterogasi. Masak waktu si X ditanya, ‘apa kamu ga takut kalau pacarmu hamil?’ dengan innocent X bilang, ‘Tidak dong Bu. Saya kan pake kondom.’“
Hal ini mengingatkanku atas satu diskusi di satu kelas beberapa tahun yang lalu. Waktu aku tanya ke siswaku tentang free sex, salah satu dari mereka menjawab, “Tidak setuju Ma’am. Pertama, dosa. Kedua, ada kemungkinan terkena penyakit kalau ganti-ganti pasangan. Ketiga, kalau si cewe hamil, kan repot saya? Saya masih belum mau menikah dan harus bertanggung jawab memberi makan anak orang lain. Lha wong saya sendiri masih ngikut makan orang tua.”

Tatkala kudesak di antara ketiga alasan yang dia berikan kepadaku yang manakah yang lebih penting, dia mengaku “Takut terkena penyakit kelamin.” Satu hal yang lebih konkrit ketimbang alasan yang pertama.

Dari perbincanganku dengan Angie, aku belum bisa menemukan apa yang membuat free sex ini lebih mengglobal di Indonesia. Guru-guru Angie tidak—atau mungkin Angie yang tidak tahu, sehingga aku pun tidak tahu—atau belum mencoba mencari tahu apa yang menyebabkan remaja-remaja itu bereksperimen dengan seks? Jika kita tahu ‘sumber’nya akan lebih mudah mengatasinya ketimbang memberikan ‘hukuman psikologis’ kepada para pelaku—yang terpergok melakukannya di sekolah dengan julukan yang sama sekali tidak pantas, contoh ‘perek’ dan sebagainya itu.

For me myself with Angie, the time has come for both of us to talk about sex openly so that Angie doesn’t need to look for information from irresponsible source.

PT56 11.55 060907

Monday, September 03, 2007

Cewe nembak duluan



What do you think of a girl shooting a boy first?


Sebagai seorang feminis yang percaya bahwa perempuan mempunyak hak yang setara dengan laki-laki in all aspects, tentu saja aku menganggap seorang cewe ‘menembak’ cowo terlebih dahulu sebagai sesuatu yang boleh-boleh saja. (Kayaknya aku sudah pernah nulis tentang hal ini deh, lupa. J) Aku juga yang ‘mengompori’ Angie untuk berani nembak cowo yang dia taksir waktu dia duduk di bangku SMP.


Beberapa minggu yang lalu, aku iseng bertanya kepada siswa-siswi Elementary Class 2-ku. FYI, ada satu siswi yang di mataku tomboy karena dia selalu berpakaian ala cowo, misalnya memakai T-shirt gombrong, cara duduk dan berjalan gagah seperti cowo, bahkan hobby-nya pun macho: modifikasi alias utak utik motor plus olah raga bela diri (aku lupa apakah karate, silat, taekwondo, dll). Di luar dugaanku ternyata siswi yang tomboy itu menjawab pertanyaanku “Is it okay for a girl to shoot a boy first?”, 

“NO!” dengan sangat keras. “It is embarrassing Ma’am,” lanjutnya. Loh?


Namun ada beberapa siswi lain yang nampak girlie yang mengatakan, “That’s okay Ma’am.” 


“Why is it okay do you think?” tanyaku lagi.


“Kalau cowonya pemalu dan kitanya ga memulai duluan, gimana ketemunya coba? Nungguin melulu? Ah, garing amat! Apalagi kalau keburu dia digaet cewe lain!”


LOL.


Jawaban ini mengingatkanku pada kakakku cowo yang pemalu kepada makhluk hawa. Kakakku itu menikah dua kali, (yang pertama menikah tahun 1992, unfortunately istrinya meninggal di tahun 2004; yang kedua menikah tahun 2005) dan kedua-duanya JADI karena si cewe ngadain pedekate ke dia duluan. Dan dia pun terus terang ke our dear Mom tentang hal ini. “Wah, orang sepertiku ini kalau tidak didekati cewe duluan, mana pede?” katanya. LOL. 


Waktu bercerita tentang perbincangan di kelas ini kepada Angie, Angie, tanpa kusangka-sangka nyaut, “Wah, seharusnya RM berterima kasih kepada Angie yang telah membuat masa SMP-nya indah. Coba bayangkan kalau tidak ada satu cewe pun yang berani nembak dia waktu duduk di bangku SMP, tentu masa SMP-nya bakal ngebosenin.”


Wakakakaka ... My smart Lovely Star.😜


PT56 19.50 020907