Tadi pagi, waktu sedang bersiap-siap akan berangkat sekolah, tiba-tiba Angie bilang, “Ma, sekarang ga boleh pake jaket kalo ke sekolah!”
“Lah, emang kenapa?” tanyaku heran.
“Entahlah. Pokoknya begitu masuk pintu pagar, jaket harus dilepas. Kemarin Mama perhatikan ga dua guru yang berdiri di dekat pintu masuk? Mereka melototin Angie kan? Untung jaket belum Angie pake.”
“Well, kalau tidak ada alasan jelas mengapa seorang siswa ga boleh pake jaket itu kan tidak mendidik namanya. Ingat salah satu adegan dalam film NAGABONAR JADI 2 waktu si supir bajaj bilang ke Nagabonar bahwa bajaj dilarang masuk ke jalan tertentu di Jakarta?”
Angie tersenyum geli mengingat adegan itu.
“Di situ, Nagabonar ngotot meminta jawaban yang jelas dari Tukang Polisi (huehehehe ... ada ga tukang polisi? LOL) yang jaga di jalan bebas bajaj, namun dia tidak mendapatkan jawaban yang jelas kecuali ‘memang peraturannya begitu Pak!’ Lah, pertanyaannya mengapa ada peraturan seperti itu? Dan si tukang polisi yang tidak tahu alasannya cuma muter-muter aja jawabannya. Ketika dilihatnya Nagabonar tetap ngotot akhirnya si polisi bilang, merengek tepatnya, “Pak tolong saya Pak. Kalau Bapak tetap nekad juga masuk jalan ini naik bajaj, saya yang akan dipecat.” Nagabonar yang tetap terlihat penasaran akhirnya mengalah jalan kaki karena dia tidak mau membuat si polisi itu terkena masalah. Polisi itu kan cuma orang kecil di jajarannya. Nah, kalau sekolah Angie ingin mendidik anak-anak, tolong dong diberi alasan yang jelas mengapa siswa tidak boleh pake jaket tatkala memasuki gedung sekolah. Jangan asal membuat peraturan tanpa dasar yang jelas.”
(Beginilah salah satu caraku mendidik Angie untuk berpikir secara kritis.)
Angie cuma manggut-manggut. But then tiba-tiba aku justru mendapatkan jawabannya.
“Honey, do you remember one bad happening during orientation period for the new students? You told me some new students lost their cellphones when they had to attend some ceremonies outside the classrooms. You were even one of the accused students only because you had two cellphones. And then later the school found some smugglers entering the school who stole some cellphones. Mereka pura-pura menjadi siswa SMA N 3 dan memanfaatkan masa orientasi sekolah itu—karena biasanya terjadi kelengahan pada masa tersebut berhubung biasanya anak-anak banyak yang berkeliaran di luar kelas karena kegiatan yang dilakukan pada saat tersebut. Mungkin sekolah ingin mengantisipasi hal seperti itu sehingga tatkala para siswa masuk gedung sekolah, mereka harus menunjukkan identitas mereka dengan menunjukkan badge sekolah.”
Sekali lagi, Angie manggut-manggut. Kali ini wajahnya agak cerah karena menemukan jawaban mengapa tiba-tiba siswa-siswi SMA N 3 tidak boleh memakai jaket tatkala memasuki areal sekolah.
Btw, berhubung gosip terheboh yang baru saja kuperbincangkan dengan Angie semalam adalah free sex masuk sekolah, yang menggayuti pikiranku sebenarnya adalah apakah ada hubungan antara siswa tidak boleh memakai jaket tatkala memasuki gedung sekolah dengan gosip terheboh tersebut? Barangkali pihak sekolah menengarai para pelaku free sex tersebut bukan anak-anak SMA N 3? Tapi semalam Angie sempat menyebut beberapa siswa yang telah diinterogasi pihak sekolah berkenaan dengan hal tersebut. Dan seperti pada tulisanku sebelum ini, sudah ada ‘shock therapy’ yang dilakukan oleh pihak sekolah—meskipun menurutku tidak selayaknya dilakukan oleh well-educated people: langsung menuding oknum-oknum tertentu dengan sebutan yang memerahkan telinga, misal “perek”. Kalo untuk siswa laki-laki, apa ya sebutannya? Angie didn’t mention it. Mengapa shock therapy ini hanya berlaku kepada para siswa perempuan saja? Misogini memang tetap terjadi di segala lapisan masyarakat.
Hhhhhhhh ... ... (aku menghela nafas yang benar-benar panjang ...)
PT56 16.52 060907
No comments:
Post a Comment