Salah satu teen-lit novel kesukaan Angie adalah serial “Princess Diary” yang ditulis oleh Meg Cabot yamg tak lagi seorang teenager. Seperti judul bukunya, isi novel ini tentu saja berupa tulisan diary sang Putri Mia Thermopolis. Kalau tidak salah, pertama kali aku membelikan seri pertama Princess Diary untuk Angie tahun 2003. Usia sang tokoh imajiner, Mia Thermopolis, yang 14 tahun, tidak jauh berbeda dari Angie yang waktu itu berusia 12 tahun membuat Angie merasa tidak asing dengan karakter Mia, meskipun Mia hidup di kota metropolitan New York.
Karena begitu menyukai cara Mia menulis diary-nya, aku lihat Angie pun terpengaruh dengan cara Meg Cabot menulis sebagai Mia. (Tentu saja aku mengetahuinya dari membaca diary Angie secara diam-diam. LOL.) Aku cukup terkejut mengetahui betapa Angie begitu mudah mengaplikasikan cara Meg menulis diary seorang anak perempuan berusia 14 tahun.
*****
Ketika aku membaca KUMpulan CERpen milik Djenar Maesa Ayu—mulai dari “Mereka Bilang Saya Monyet” dan mengetahui bahwa Djenar belajar menulis dari Sutardji Calzoum Bachri, Budi Darma, dan Seno Gumira Ajidarma, secara lintas—maksudku aku belum melakukan riset yang mendalam—aku melihat cara menulis Djenar yang agak mirip dengan ketiga gurunya tersebut.
Hal ini mengingatkanku akan tuduhan orang kepada Ayu Utami bahwa sebagian dari novelnya “Saman” dituliskan oleh Goenawan Mohammad. Siapa tahu cara Ayu Utami menulis mendapatkan banyak pengaruh dari GM, sehingga orang-orang yang tidak rela karena seorang perempuan memenangi Sayembara menulis novel dengan serta merta menuduh GM terlibat dengan aktif—baca “menuliskan”—dalam beberapa bagian novel tersebut.
Angie tidak belajar secara khusus dari Meg Cabot cara menulis diary, hanya dengan membaca teen-lit yang berjudul “Princess Diary”, di mataku Angie sudah cukup berhasil “meniru” cara-cara Meg. Apalagi Ayu yang berkawan dekat dengan GM. Anything wrong with that?
Satu waktu ketika aku konsultasi tesis dengan Professor Bakdi Soemanto—salah satu budayawan yang tinggal di Jogjakarta—aku sempat menanyakan kepada beliau tentang hal “tiru-meniru” ini, atau, lebih “terhormat”nya sebut saja “proses belajar menulis” dari orang lain. Pak Bakdi mengiyakan bahwa hal tersebut sangatlah mungkin terjadi. Akan tetapi pada kasus Ayu dan GM, ternyata beliau lebih ‘setuju’ pada publik yang menuduh GM “menuliskan beberapa bagian” novel SAMAN. :) Kemudian beliau malah bercerita tentang orang yang dia sebut “Mas Goen” ini yang konon memang terlibat secara emosial dengan Ayu.
Darimanakah aku belajar menulis? Aku tidak pernah belajar menulis secara khusus dari siapa pun. Aku belajar menulis secara otodidak. Seandainya ada orang yang mengatakan cara menulisku mirip si A, atau B, atau C, well ... bisakah aku mengatakan bahwa Tuhan menciptakan dunia yang benar-benar sempit? :)
PT56 14.14 180907
No comments:
Post a Comment