‘Ketiba-tibaan’ Angie untuk kembali ikut berenang bersamaku membuat kita berdua berebut kacamata berenang. Kacamata renang Angie yang lama (beli tahun 2002) terpaksa kupakai, dan aku harus merelakan Angie memakai kacamata renangku yang kubeli pertengahan tahun 2006 lalu, karena kacamata renangku yang kubeli bareng dengan kacamata renang Angie hilang waktu itu. (I might accidentally have left them in the shower room of the pool!) Biasalah, seorang anak maunya pake barang yang baru dibeli, dan memaksa nyokapnya memakai barang lama. LOL. (Does it happen to everyone else? I think so. :) )
Namun hari Minggu kemarin tiba-tiba aku mendapati kacamata renang ‘tua’ itu patah tatkala aku akan memakainya. Terpaksa hari Minggu kemarin aku tidak memakai kacamata tatkala berenang. Tanpa kacamata tentu aku tidak tahan berenang lama. Kalaupun tahan, mataku akan mudah terkena iritasi dan berubah warna menjadi merah. Tidak bagus untuk kesehatan mata.
Itu sebab hari Rabu 6 Februari kemarin aku menyempatkan diri ke Mall Ciputra untuk membeli kacamata renang. Demi efisiensi waktu aku tidak masuk ke dalam mall, karena ada satu toko jualan alat-alat/baju olah raga tak jauh dari tempat aku memarkir motor, di deretan luar mall.
Kamu percayakah bahwa para penjual—atau para salesperson—senantiasa melakukan taksiran kepada para calon pembeli? Salah satu pengalamanku: tatkala aku hanging out dengan Angie mengenakan busana yang lumayan keren, para salespersons serta merta menawariku membeli ini itu. LOL. Dibandingkan dengan tatkala aku ‘hanya’ mengenakan celana jeans, T-shirt biasa, tanpa manik-manik, plus sepatu ‘biasa’ tak satu pun salesperson yang tertarik menyapaku. LOL.
Demikian pula tatkala aku memasuki toko olahraga tersebut. Seorang perempuan menyapa, “Mencari apa mbak?”
“Kacamata renang,” jawabku.
Dia langsung mengambilkan sepasang kacamata renang, dengan harga berkisar 70.000-an. Namun berhubung warnanya kuning ngejreng, aku langsung menolak, “Yang warna hitam mbak!” kataku.
Dia langsung mengambilkan sepasang kacamata renang, warna hitam, seharga Rp. 40.000,00. Tentu saja aku senang dengan harga yang sangat ekonomis itu (sebagai perbandingan, di tahun 2002, aku membeli kacamata renang seharga Rp. 40.000,00. Tahun 2006 lalu seharga Rp. 65,000,00.) Namun tatkala aku mencobanya, aku tidak menyukainya. Ada kesan tidak pas, plus kaca yang agak buram. (Memang di kolam renang, tak bakal ada ‘kecelakaan’ yang mematikan kalau hanya bertabrakan dengan perenang lain karena kacamata renang yang buram.)
Sewaktu aku mencoba itu, si perempuan itu bertanya, yang lebih cenderung ke ‘tuduhan’ daripada ‘pertanyaan’ (atau mungkin karena aku sedang PMS, sehingga kadar sensi tinggi.) “Mbak-e ga kerja?”
“Nanti masuk jam 3.”
“Kerja dimana kok masuk jam 3?” tanyanya (tentu saja kali ini pure pertanyaan, dan bukan tuduhan. LOL.)
(Aku langsung berpikir dia sedang mencoba menaksir kemampuanku untuk membeli kacamata renang berharga berapa dengan pertanyaan itu. LOL.)
“LIA,” jawabku pendek.
“Emang LIA apaan sih?” tanyanya lagi. (This is really not a big deal for me if people don’t know what kind of institution LIA is.)
“Kursus Bahasa Inggris.”
Selain itu sesi ‘interogasi’ masih terus berjalan sementara aku juga terus mencoba kacamata yang lain. Dia berusaha meyakinkanku bahwa kacamata pilihannya yang seharga Rp. 40.000,00 itu lumayan bagus, karena dia telah membelikan sepasang untuk anaknya, dan kacamata itu awet sampai sekitar 3-4 tahun, asal setelah selesai berenang, kacamata langsung dibasuh dengan air bersih, untuk menghapus sisa-sisa kaporit yang menempel.
“Saya telah membelikan kacamata renang buat anak saya tatkala dia duduk di kelas 3 SD. Sekarang dia telah duduk di bangku SMP.”
Perhatikan kata TELAH yang dia pakai. Sebagai seseorang yang berkutat dengan bahasa, pemilihan kosa kata, plus interpretasi di balik pemilihan kosa kata itu hampir tiap hari, aku langsung menginterpretasikan kalimatnya yang terakhir sebagai, “Kok mbak baru beli kacamata renang sekarang? Ga punya duit ya?” LOL. LOL.
Untuk menjawab pernyataan itu, aku bilang, “Kacamata renang yang kupakai, yang kubeli 6 tahun lalu rusak. Itu sebab aku beli yang baru lagi.”
Aku agak ‘tinggi hati’ juga, tidak mau dituduh ‘ga punya duit ya’? LOL. Sehingga aku merasa perlu untuk ‘pamer’ bahwa aku telah punya kacamata renang sebelum itu.
Karena aku termasuk agak ‘rewel’ dengan kacamata yang dia tawarkan, akhirnya dia menunjuk kacamata yang seharga Rp. 110.000,00. “Atau mau yang itu mbak? Tapi harganya mahal.”
Kalimatnya yang kedua “tapi harganya mahal” bisa diinterpretasikan dengan, “Can you afford that?” LOL.
Aku langsung memintanya untuk mengambilkan yang seharga Rp. 110.000,00. Setelah mencobanya, dan langsung merasa cocok, aku serta merta bilang, “Saya minta yang ini aja mbak. Paling enak dipakai, dibandingkan yang lain.”
Sempat kulihat dia melongo, LOL, sebelum akhirnya menuliskan nota buatku.
Well, sebenarnya aku sudah merasa terganggu dengan pertanyaan alias tuduhannya yang pertama, “Mbak ga kerja ya?” seolah-olah di jidatku ini tertulis, “housewife, financially dependent on man” karena pukul 11.30 keluyuran ke mall, memakai bukan busana kerja (I was wearing jeans, T-shirt, jacket—showing I was riding a motorcycle and not driving a car, that meant I did not belong to the haves, that probably wouldn’t spend much money to buy a pair of googles—and carrying a cute backpack.)
Hal ini tidak berarti aku menyepelekan para perempuan yang memilih sebagai housewife karena bagiku menjadi housewife justru merupakan pilihan yang sangat sulit. Being financially dependent on a man akan membuatku meletakkan diri sebagai the second sex, tanpa kusadari, karena (masih) terlalu melekatnya stigma itu di benakku meskipun aku telah membaptis diri menjadi seorang feminis semenjak tahun 2003. Karena aku ingin melepaskan stigma itu dari hidupku, aku memilih untuk menjadi a single parent. Salah satu hal yang diperjuangkan oleh para feminis adalah kebebasan untuk memilih dalam hidup, apakah ingin bekerja untuk menjadi financially independent, ataukah memilih untuk menjadi a full housewife. Seorang perempuan hanya butuh menjadi manusia biasa, dan tidak perlu menjadi seorang superwoman (dengan membebani diri menjadi a good housewife, a good mother, a good career woman, a good social worker who cares much to the neighborhood, etc). Namun, seandainya ada seorang perempuan yang mendapatkan kebahagiaan dengan memaksa diri menjadi seorang superwoman, ya silakan saja, dengan catatan tetap menghargai pilihan perempuan lain—such as being a single woman, being a full career woman although she is married, being a single parent, dll. Tidak perlu ada paksaan bahwa seorang perempuan harus (atawa sebaiknya) berkarir di dalam rumah saja, agar tetap bisa menjadi a full housewife plus a full mother, untuk memberi kesempatan kepada suaminya untuk berkiprah di ranah publik. Beri perempuan hak untuk memilih, dan jangan memakai agama maupun budaya sebagai alat untuk memasung perempuan.
What the hell have I been scribbling? Lha wong dari beli kacamata renang kok menjadi hak-hak perempuan? LOL. Maklum, feminis gitu loh. Cie ... LOL.
PT56 18.40 070108
No comments:
Post a Comment