Memilih fakultas maupun jurusan apa yang akan diambil setelah lulus SMA tentu bukan masalah yang mudah. Itu sebabnya semenjak Angie duduk di bangku SMP, aku memintanya untuk menimbang-nimbang jurusan apa yang akan dia ambil selepas SMA nanti, berdasarkan kesukaannya. PSIKOLOGI adalah jurusan pilihan Angie sendiri, mengingat kebiasaannya untuk meminjamkan telinganya untuk menjadi ‘tempat sampah’ alias curhatan teman-teman dekatnya. Kadang-kadang Angie akan berbagi denganku, untuk kemudian mencari solusi bersama, yang nantinya akan dia sampaikan ke teman-temannya.
Itu sebab waktu duduk di bangku SMA kelas 1, aku menyemangatinya untuk bisa masuk ke jurusan IPA di kelas 2 nantinya, karena untuk masuk fakultas PSIKOLOGI di UNDIP, seseorang katanya harus lulus dari IPA. Konon UGM membolehkan seorang lulusan IPS untuk mengambil jurusan PSIKOLOGI. Namun berhubung aku tidak yakin apakah aku akan mampu membiayai kuliahnya di luar kota (harus menyediakan uang ekstra untuk kos, belanja keperluan sehari-hari plus makan, belum lagi transportasi), aku meminta pengertian Angie untuk mengubur mimpinya mengikuti jejak langkahku untuk kuliah di UGM.
Mulai masuk kelas 3 pertengahan bulan Juli lalu, aku mulai membuka wacana baru buat Angie, mempersiapkannya memilih jurusan lain, selain PSIKOLOGI. Rencana, dia akan kuminta (dan Angie pun setuju, karena begitu juga saran guru wali kelasnya) mengambil IPC. Berarti Angie perlu memilih dua jurusan alternatif.
“Give me some suggestions, Mama.” Katanya.
Kedokteran is out of question karena terlalu mahal bagiku, plus dia jijik melihat darah, dan takut melihat cadaver, apalagi harus terlibat dengan makhluk tanpa nyawa itu terus setiap hari. Kalaupun masuk fakultas Teknik, aku sarankan dia untuk masuk Teknik Industri. Sedangkan untuk jurusan IPS, aku beri dia alternatif fakultas Hukum, Komunikasi atau Sastra Inggris. Untuk fakultas Ekonomi, dia tidak menikmati Akuntansi.
Surprisingly, dia memilih jurusan yang dulu aku tolak mentah-mentah tatkala my late Dad menyarankanku รจ HUKUM. Dia pengen jadi notaris katanya.
She really wants to be different from me. English Department is really not in her ‘dictionary’.
Beberapa minggu kemudian, dia bercerita tentang salah seorang sobatnya yang masih bingung memilih jurusan apa nantinya.
“Kirain dia mau masuk Kedokteran Gigi. Biar jadi Dokter Gigi, kayak Mamanya.” Kataku.
“Dia bilang itu pilihan Mamanya. Namun ternyata itu bukan pilihan hatinya. Dan Mamanya tidak memberinya gambaran jurusan-jurusan lain.” Kata Angie.
Dan masalah ini pun tidak hanya menimpa sobat Angie tersebut. Banyak teman dekat Angie lain yang belum tahu kemana akan melangkah.
“Kamu pertimbangkan dulu, kira-kira kamu punya bakat dimana,” saran Angie kepada teman-temannya; saran yang sama yang dulu kukatakan kepadanya waktu akhirnya dia memutuskan untuk memilih PSIKOLOGI.
“Perasaan aku ga punya bakat apa-apa tuh?” komplain mereka.
“Lah, pelajaran apa yang kamu sukai?” tanya Angie.
“Ga ada juga.” Jawab mereka. LOL.
Repot deh.
Pengalamanku waktu bekerja di sebuah Bimbingan Belajar satu dekade yang lalu, para tentor memang membantu anak didik untuk memilih jurusan apa yang akan dipilih sewaktu test masuk perguruan tinggi negeri, berdasarkan kesukaan, plus hasil nilai tes yang diadakan secara periodik di lembaga tersebut. Namun, demi gengsi lembaga—bahwa lembaga tersebut mampu ‘menembuskan’ anak didiknya untuk diterima di perguruan tinggi negeri dalam jumlah yang mendekati 100%--biasanya para tentor memberikan saran yang agak bias, mereka pilihkan PTN yang terletak di kota kecil, atau bahkan di luar Jawa, atau fakultas yang memiliki ranking rendah, yang penting si anak didik diterima di PTN, terlepas dari apakah pilihan itu memenuhi minat, bakat, plus kesukaan si anak. Hasilnya? Bisa jadi seseorang tidak akan bisa menikmati kuliahnya, dan menyebabkan proses studi tersendat.
PT56 12.30 070908
No comments:
Post a Comment