Setelah keluar dari ruang Wakasek, aku bercerita kepada Angie apa yang terjadi. Dengan tenang, Angie bilang, “Memang orangnya reseh gitu kok Ma.”
“Mama sebenarnya pengen ‘menjewernya’ dengan mengatakan, “Saya sebagai orang tua Dzikrina saja ga pernah membaca sms-sms di hapenya tanpa sepengetahuan dia. Apalagi sms baru masuk, itu jelas hak privasi dia untuk membaca terlebih dahulu, dan kemudian memutuskan apakah saya boleh membacanya atau tidak.” Kataku pada Angie.
Angie langsung meringis lebar.
“You should have done that, Mama!” katanya.
Well, aku punya alasan tertentu mengapa aku tidak melakukannya.
Pertama, agar dia merasa ‘senang’ karena aku membuatnya merasa berhak untuk ‘menjajah’ hak-hak privasi orang lain—dalam hal ini siswanya.
Kedua, agar dia merasa ‘senang’ karena aku menganggapnya ‘tahu permasalahan’ pribadiku lebih jauh, dan aku menganggapnya ‘berhak’ untuk itu.
Ketiga, agar dia merasa ‘senang’ karena aku menganggapnya sebagai seseorang yang ‘mature’ dan ‘wise’ saat aku membiarkannya memberiku petuah ini itu, tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya.
Keempat, ini yang paling penting, agar dia melupakan kasus Angie, agar dia tidak selalu mengingatku sebagai ortu yang ‘ngeyelan’ diberitahu seorang Wakasek. LOL. I don’t mind anyway.
Nana memang seorang ngeyelan (ask my Abang for this LOL), wise-guy juga (LOL, ngaku!!!) plus annoying intellectual snob, yang sebenarnya ga intellectual-intellectual amat. LOL.
PT56 23.17 141208
No comments:
Post a Comment