STUNNING
GEDONG SANGA!
Prolog
Gedong Sanga
(atau Gedong Songo) bukanlah destinasi wisata baru buatku. Mungkin aku pertama
kali kesini waktu duduk di bangku SMP bersama kawan-kawan ‘karang taruna’ satu
RT. (SSShhttt ... zaman remaja dulu aku aktif ikut kegiatan dengan para
tetangga lho. LOL.) Sewaktu Angie kecil, dia juga sudah kuajak kesini. Jika
tidak salah ingat, minimal dua kali aku mengajak Angie kesini ketika dia masih
duduk di bangku SD. Yang sekali dengan kawan-kawan kerja (ex) Stiba – Aki. Yang
kedua bersama siswa-siswiku di LIA, di akhir dekade sembilanpuluhan, mungkin.
Yang tidak
kuingat adalah apakah aku dulu juga menikmati pemandangan yang menakjubkan dan
sangat “menghijaukan mata”. LOL. Semenjak ‘pernah menjalin hubungan’ dengan X
(:D) yang katanya suka mendaki gunung, mendadak aku pun menjadi satu penikmat
pemandangan yang serba hijau di pegunungan, padahal sebelumnya aku sangat
menyukai pantai, memandang hamparan laut yang nampak tak berbatas itu
‘soothing’. Tapi, eh, aku masih suka pantai lho.
1 Mei 2017
adalah hari libur. Thanks to Kangmas Jokowi to make this ‘labor day’ holiday. J Aku memberi Angie dua opsi tempat:
Gedong Sanga (karena aku ingin trekking sambil melihat hehijauan) atau Jepara
untuk menikmati pantai. Angie belum pernah ke Pulau Panjang. J Hari Sabtu 29 April, Angie memilih
Jepara. Dan dia memilih pergi di hari Minggu 30 April, agar di hari Seninnya
kita bisa full istirahat di rumah. Namun ternyata kedua adikku juga telah
berencana pergi somewhere. Oh well, kita berdua mengalah dengan mengundurkan
kepergian di hari Senin 1 Mei 2017 saja. My Mom (Angie’s granny) sebaiknya
tidak ditinggal seorang diri di rumah seharian.
Terakhir aku
ke Gedong Songo sekitar akhir tahun 2014 bersama Ranz. Waktu itu, kita naik BRT
sampai Ungaran. Setelah sarapan, kita lanjut ke arah Gedong Sanga dengan naik
bus jurusan Sumowono. Tidak sulit untuk mendapatkan bus waktu berangkat. Namun
waktu pulang, ternyata kita menunggu sampai cukup lama tak nampak bus yang
sama. Maka, kita berjalan kaki hingga pasar Bandungan. Sampai sana, kita naik
angkot hingga seberang pom bensin Lemah Abang. Dari sana kita naik bus AKDP
dari Solo menuju Semarang.
Tak ingin
mengulang kisah waktu kita ke Kaliurang – terpaksa menginap semalam di kawasan
Tlogo Putri karena tidak ada angkutan pulang ke arah Jogja di sore hari – Angie
benar-benar menginginkan kepastian dariku bahwa ada bus yang menuju Sumowono.
LOL. Akhirnya aku mengemukakan ide : dari rumah naik motor sampai Pasar
Bandungan. Kita parkir motor di tempat parkir disana, kemudian lanjut naik
angkutan umum/ojek.
NOTE: jalan menuju Gedong Sanga sangat curam.
Angie masih trauma waktu memboncengkan aku ke Magelang bulan Desember lalu,
karena aku jatuh dua kali dari boncengannya. LOL. Bukan karena jalanan curam,
tapi karena sedang tidak beruntung saja. LOL. Menurutku, naik motor dari satu
kota ke kota lain, Angie lebih meyakinkan ketimbang aku, karena aku mudah
terserang kantuk. LOL. (itu sebab aku lebih memilih bersepeda, ketimbang naik
motor. LOL.)
Perjalanan
Kita
meninggalkan rumah sekitar pukul 08.00. Perjalanan pagi itu cukup lancar. Kita
mampir di pom bensin di ujung tanjakan Gajahmungkur untuk membeli BBM.
Selanjutnya lancar. Aku mengantuk di boncengan Angie. LOL. Angie terkesan
baik-baik saja. LOL. Kita sampai di Pasar Bandungan pukul 09.10. Setelah
memarkir motor di tempat parkir, mampir toilet sebentar, kita dengan mudah
menemukan angkutan setelah menyeberang dari tempat parkir.
Kondisi
angkutan sudah cukup penuh, namun masih ada ‘seat’ untukku dan Angie. Kulihat
kebanyakan penumpang adalah perempuan paruh baya, atau lebih tua dari itu.
(Jadi ingat waktu naik angkutan umum menuju Kaliurang. Hampir semua penumpang
lain rambutnya telah memutih. Namun jika dilihat dari fisiknya, semua masih
nampak sehat wal afiat.)
Jarak yang
kita tempuh mungkin hanya sekitar 2 – 3 kilometer, dari pasar Bandungan sampai
pertigaan menuju Gedong Songo. Kita cukup membayar Rp. 5000,00 berdua. Sang
sopir yang ramah memberitahu kita bisa melanjutkan perjalanan dengan naik ojek.
Kebetulan di pangkalan ojek, hanya ada satu tukang ojek. Dengan kepercayaan
diri yang penuh, dia menawarkan memboncengkan kita berdua bersama di satu
motor. Gosh! Padahal trek sangat curam saat mendekati Gedong Sanga. Angie tak
henti-hentinya berdecak kagum sembari tertawa geli. Si Bapak daebak! LOL.
Tahun 2014
lalu waktu berdua dengan Ranz, si Bapak ojek meminta kita membayar Rp.
15.000,00. Kali ini aku memberi si Bapak ojek Rp. 20.000,00. Dan aku sangat
bahagia waktu melihat rona wajahnya bersinar saat melihatku mengulurkan uang
sepuluh ribuan dua lembar.
Saat sampai
di pelataran parkir (pukul 09.40), aku langsung bisa melihat bahwa pihak
pengelola telah melakukan usaha untuk mempercantik kawasan wisata tersebut. Ada
tulisan GEDONG SONGO yang dikitari bunga-bunga. Loket penjualan tiket juga
nampak cukup memadai. Untuk turis dalam negeri, harga tiket Rp. 10.000,00.
Untuk turis manca negara, mereka perlu merogoh kocek lebih dalam, Rp.
75.000,00.
Suasana
cukup ramai. Pelataran parkir terlihat penuh dengan kendaraan bermotor para
pengunjung. Aku dan Angie baru saja melewati pintu gerbang, kita sudah ditawari
naik kuda. “Sayang lho bu, sudah jauh-jauh kesini kok tidak mengitari kawasan
Gedong Sanga sampai candi kelima.” Kujawab, “Tentu kita akan sampai candi
kelima. Dengan jalan kaki. Bukan naik kuda.” J
Oh ya, waktu
masih di rumah, Angie sudah sempat bilang ke aku kalau dia tidak mau jalan
sampai candi kesembilan. LOL. Langsung saja dia kuolok-olok, orang waktu masih
kecil dia bisa jalan memutari kawasan itu, ga pake minta gendong, mosok
sekarang sudah besar Cuma mau berhenti, entah di candi satu atau dua? LOL. Sambil
kudorong semangatnya, tentu, orang Cuma 4 kilometer ini. Trekking ke Curug Lawe
+ Curug Benowo malah lebih jauh dan lebih ‘sulit’ treknya. Waktu trekking ke
kedua curug ini, adikku menyalakan endomondo, dan jarak yang kita tempuh malah
sampai hampir 9 kilometer. Trek untuk berjalan di Gedong Sanga sudah dibuatkan
jalan setapak sehingga jauh lebih mudah dilewati.
(By the way,
candi di kawasan Gedong Sanga ini hanya tinggal 5 candi, bukan sembilan
jumlahnya.)
Letak candi
pertama tidak terlalu jauh dari pintu gapura masuk. Candi pertama ini berdiri
sendiri, tidak terlihat candi perwara (maupun puing-puingnya). Jika diamati
dari batu-batunya, kondisi candi masih asli, belum nampak ada batu ‘baru’
seperti jika candinya merupakan hasil renovasi setelah candi yang asli runtuh.
Trek yang
lumayan jauh dan melelahkan harus kita tempuh dari candi pertama menuju candi
kedua. Namun pemandangan yang hijau dan hawa yang dingin sejuk sangat ‘worth’
semua energi yang harus kita keluarkan saat trekking.
Saat sampai
candi ketiga, aku sempat melongok ke dalam candi (tidak ada penampakan yoni
maupun lingga), aku mendapati sesajian yang nampak masih baru. Angie heran
apakah sesajian baru selalu diletakkan di dalam candi setiap hari. Kupikir
kebetulan saja waktu kita sampai disana, ada orang yang baru meletakkan
sesajian di dalam. Ternyata benar. Tak jauh dari candi, kita melihat empat
orang yang mengenakan busana ala orang Hindu Bali saat mereka sedang melakukan
ritual. Berarti benar. Memang barusan ada orang yang melakukan sembahyangan dan
meletakkan sesajian di dalam candi.
Kita
beristirahat saat sampai di candi keempat. Tak jauh dari candi keempat ini ada
pelataran yang cukup luas, di pinggirnya ada beberapa ‘gubug’ dimana beberapa
orang berjualan jajan dan minuman. Aku membeli kopi hitam, Angie beli
cappuccino. Kita juga membeli satu biji jagung bakar. Baru beberapa menit kita
beristirahat, mendadak cuaca berubah. Jika sebelumnya panas, mendung mendadak
datang. Tak lama, kabut pun datang menyelimuti. Mulai terdengar suara gemuruh
di langit. Sebuah ‘peringatan’ bahwa tak lama lagi, hujan bakal datang. (Waktu
dalam angkutan, para penumpang sudah mengingatkan bahwa hujan biasa turun di
kawasan Gedong Sanga mulai pukul satu siang, meski sebelumnya cuaca panas.)
Meski sudah
ada tanda-tanda bahwa hujan akan datang, aku dan Angie tetap menikmati
perjalanan kita dengan berjalan pelan-pelan. Tetap memotret suasana dengan
kamera hape kita. Hingga akhirnya titik-titik gerimis mulai turun, kita
berjalan dengan agak cepat menuju pintu keluar. LOL. Thanks to the path yang
sudah dibangun oleh pihak pengelola sehingga mudah bagi kita untuk berjalan,
tak perlu (lagi) terpeleset karena licin. LOL.
Setelah
keluar, sesampai pangkalan ojek, kita langsung disambut tukang ojek. Kali ini
dua tukang ojek siap membawa kita. Karena khawatir hujan kian deras, aku
langsung naik di boncengan motor seorang tukang ojek, dan aku meminta Angie
naik di satu motor lain. Aku meminta tukang ojek langsung mengantar kita ke
pasar Bandungan, karena khawatir bakal lama kita menunggu angkutan umum lewat
selepas pertigaan menuju Gedong Sanga. Untuk dua tukang ojek ini, kita membayar
Rp. 50.000,00. Untunglah kita naik ojek, karena jalanan cukup macet.
Sebelum
mengambil motor di tempat parkir, kita mampir toilet dulu. Hujan turun cukup
deras saat kita meninggalkan Pasar Bandungan. Sesampai Semarang, kita mampir WS
untuk makan siang kesorean. LOL. Kemudian mampir ke satu gerai supermarket
untuk membeli sesuatu. Sebelum adzan maghrib berkumandang, kita telah sampai
rumah.
Sampai jumpa
di kisah jalan-jalan Angie dan nyokapnya selanjutnya. J
LG 13.13 04
Mei 2017