Senin 27 Maret 2017 Day 2
Pukul enam pagi aku
putuskan untuk meninggalkan tempat tidur untuk mandi dan siap-siap. Setelah
sarapan nasi kuning yang disediakan oleh hotel, aku dan Angie meninggalkan
hotel pukul setengah delapan.
Aku ingat dulu ada
(banyak) angkutan menuju Kaliurang, yang berangkat dari terminal Terban, di
ujung Jalan c. Simanjuntak. Aku dan Angie berjalan menuju perempatan dimana
Mirota Kampus terletak. Kita menunggu angkutan di depan Fakultas Pertanian UGM.
Kata Raditya, meski jarang, sekarang masih ada angkutan umum menuju Kaliurang.
Tidak lama
berselang, satu angkutan umum dengan tulisan KALIURANG di kaca depan datang. Ah
... ternyata sekarang angkutan itu tidak melewati Jalan C. Simanjuntak kala
meninggalkan terminal Terban, namun muter ke Jalan Cik Di Tiro. Kalau tahu
begitu, kita ga perlu berjalan kaki menuju perempatan, cukup menunggu angkutan
lewat di seberang RS. Panti Rapih. J
Angkutan yang kita
naiki meninggalkan fakultas Pertanian pukul 07.44. dengan berjalan sangat
lambat, colt menuju utara, ke arah Kaliurang. Dengan begini, aku justru bisa
menikmati pemandangan di sepanjang jalan (kenangan). :D Sudah ada banyak
bangunan yang berubah fungsi. Di Jakal km 4,8 dulu ada toko ARTHA, tempat orang
menuju untuk membeli segala jenis kamera, film, maupun untuk ‘afdruk’ alias
cetak foto. Sekarang bangunannya masih ada, namun sudah berubah fungsi. Ada
warung makan yang telah berubah menjadi distro. :D Yang menyenangkan, aku masih
melihat bangunan kos tempat aku tinggal tahun 2005 masih ada, tempat aku
‘berjuang’ menyelesaikan menulis tesis di tahun 2005 itu.
Sekitar pukul 08.44
angkutan sampai di satu pasar yang terletak di Jakal km 17. Semua penumpang
telah turun. Tinggal aku dan Angie. Waduw, alamat kita bakal dipindah nih. Baru
aku selesai berpikir begitu, sang sopir meminta kita untuk pindah ke angkutan
lain. Di angkutan ini, aku melihat ada 6 penumpang lain, 5 perempuan, 1
laki-laki. Dua perempuan berkerudung, 3 perempuan
lain berambut putih, si laki-laki juga berambut putih, yang menunjukkan bahwa
mereka telah senior dalam hidup ini. Selain 5 penumpang, mobil juga penuh
dengan barang-barang bawaan mereka, berbagai jenis sayur mayur, dan tetek
bengek lain yang menunjukkan bahwa mereka (mungkin) adalah pedagang yang
berjualan di kawasan Tlogo Putri, Kaliurang.
Aku bertanya dengan
seorang penumpang yang duduk di sebelah Angie, jam berapa angkutan terakhir
meninggalkan Kaliurang di sore hari. Jawabannya sangat mengagetkanku karena
angkutan yang kunaiki itulah angkutan umum terakhir yang menuju Tlogo Putri,
dan tentu sang sopir tidak akan menunggu lama. Setelah semua penumpang turun,
dia akan langsung kembali ke arah Jogja.
“Sekarang jarang
Mbak angkutan seperti ini dari Jogja ke Kaliurang. Dulu sih banyak. Sekarang
orang-orang lebih memilih berkunjung ke Kaliurang dengan naik kendaraan
sendiri, lebih leluasa mungkin ya, sehingga angkutan umum seperti ini sudah
jarang yang beroperasi.”
Ok. Fixed. Berarti
aku dan Angie ga bakal bisa kembali ke Jogja di hari yang sama. Kita (terpaksa)
menginap di kawasan Tlogo Putri malamnya. Padahal rencana di malam kedua ini,
kita akan menginap di rumah Detta – salah satu sobatku – yang rumahnya di Jalan
Kaliurang km 8, sekaligus reunian, ngobrol. Bye bye Detta ... J
Di perjalanan,
selepas Jakal km 22-an, aku mulai melihat beberapa lokasi yang menawarkan “lava
tour Merapi”, satu hal yang ingin kulakukan. Sempat berpikiran untuk berhenti
di satu lokasi yang menawarkan itu, namun, kupikir sebaiknya kita sampai di
Tlogo Putri saja, yang terletak kurang lebih 25 km dari titik 0 kota Jogja.
Tentu saja sambil berharap bahwa nanti di Tlogo Putri, kita bakal menemukan
tempat yang menawarkan ‘lava tour’ ini.
Angkutan kedua yang
kita naiki menuju Tlogo Putri ini sampai di pelataran parkir Tlogo Putri – di
lembah Gunung Merapi – pukul 10.00, kurang lebih 2 jam setelah kita
meninggalkan kawasan UGM.
Hal pertama yang
kita lakukan setelah sampai di lokasi wisata yang berhawa sejuk ini adalah
mampir ke toilet. :D Berhubung kita berdua sedang sama-sama menstruasi, kita
sama-sama mudah memproduksi air kencing. LOL. Setelah itu, kita sarapan kedua.
:D Sarapan nasi kuning yang kita dapatkan dari hotel Limaran kurang ‘nendang’.
LOL. Di salah satu tempat makan yang ada di lokasi, aku memilih menu nasi
goreng spesial, sedangkan Angie memilih indomie rebus + telur + sayur.
Usai sarapan kedua,
kita masuk ke lokasi wisata yang sekarang disebut “Tlogo Muncar”. Harga tiket
Rp. 6000,00 per orang. Terakhir aku kesini tahun 2011, beberapa bulan setelah
gunung Merapi meletus, lokasi wisata ini masih porak poranda. Kita tidak bisa berjalan
kemana-mana, kecuali hanya memutari lokasi yang terletak tak jauh dari pintu
masuk. Rute trekking tak terlihat sama sekali. Rusak.
Kali ini trek menuju
Plawangan tetap rusak, tak bisa dilewati. (Gosh, Angie lupa bahwa di tahun
2003, dia kuajak kesini bersama bokapnya, kita trekking menuju Plawangan!) Namun,
pemda telah menyediakan menu trekking lain, yakni menuju gardu pandang
Pronojiwo. Well, not bad laaah. J Jarak yang harus kita tempuh menuju Pronojiwo kurang lebih 700
meter. (Lebih pendek ketimbang trekking menuju air terjun Semirang yang 1 km.
Dan ... jauuuuh lebih pendek ketimbang trekking menuju Curug Lawe. Hahaha ...)
Rute menuju
Pronojiwo tidak hanya jauh lebih pendek, namun juga jauh lebih mudah dilewati. Kutengarai,
tentu ini karena didukung oleh pemda yang tidak ingin lokasi wisata ini mati,
tidak melulu menggantungkan kedatangan wisatawan yang datang ‘hanya’ untuk
ber’lava tour’ semata. Demi kelangsungan hidup para pedagang di pelataran
parkir juga tentu. Oh ya, daerah ini terkenal dengan jualan ‘jadah’ dan ‘tempe’
bacemnya.
Untuk meringankan
trekking, aku dan Angie menitipkan backpack kita di tempat dimana kita sarapan.
J meski ini adalah hari Minggu, kita tidak
banyak melihat wisatawan yang trekking menuju Pronojiwo.
On the way balik ke
pelataran parkir, kita bertemu dengan rombongan anak-anak sekolah dengan guru
sekolahnya. Rupanya, anak-anak itu tetap bisa ‘having fun’ berangkat sekolah di
hari ‘kejepit’ karena acaranya adalah field trip. :D
Sesampai di ‘playground’,
tak jauh dari pintu masuk, maupun air terjun Tlogo Muncar, kita melihat lebih
banyak wisatawan ketimbang saat kita baru datang. Bagus lah. J
Menjelang pukul
14.00 kita telah berada di tempat ‘info lava tour Merapi’. Ada 3 jenis tour,
yang paling pendek berharga Rp. 350.000,00, yang tengah-tengah Rp. 450.000,00,
dan yang paling panjang Rp. 5550.000,00. Kita memilih yang paling pendek,
karena itu pun akan memakan waktu 2 jam.
Akhirnyaaaaaaaaaaaa.
My dream come true! :D Sudah selama beberapa tahun aku memendam keinginan
menjelajah kawasan yang menjadi korban keganasan letusan gunung Merapi tahun
2010!
Tiga lokasi dipilih
untuk para wisatawan yang memilih jalur pendek dari ‘lava tour Merapi’ ini.
Yang pertama adalah desa Petung,
salah satu desa yang terparah terkena keganasan letusan gunung Merapi. Ada
sekitar 3 rumah yang masih lumayan utuh dinding-dindingnya. Di rumah itu ditata
banyak pernak-pernik peninggalan letusan gunung Merapi. Dari berbagai macam
bahan pecah pelah, jam, gambar-gambar, sepeda motor, hingga kerangka binatang
(sapi) yang dipajang. Beginilah cara orang-orang di sekitar gunung Merapi
kembali bersemangat untuk survive dari letusan gunung, dengan cara memanfaatkan
sisa-sisa letusan itu.
Tempat kedua yang
kita hampiri adalah lokasi dimana terletak batu
‘alien’. Batu yang ‘mendadak’ ada setelah letusan gunung, yang jika dilihat
dari satu sisi tertentu, batu ini ternyata ‘berwajah’, bisa kita lihat bentuk
mata, hidung, hingga bibirnya. Di tempat yang sama, ada pemandangan spektakuler,
yakni sungai Gendol tempat mengalir lava yang dimuntahkan oleh gunung. Oleh
beberapa orang tertetu spot itu dimanfaatkan dengan menyediakan satu papan
untuk berfoto-ria. Cukup dengan membayar sepuluh ribu satu orang, kita bisa
berfoto dengan latar belakang bukit hijau dimana di depannya adalah sungai
Gendol.
Tempat ketiga yang
kita sambangi adalah Bunker Kaliadem.
Aku dan Angie tidak bisa terlalu menjelajah disini karena mendadak turun hujan.
Bunker ini pun menjadi korban keganasan lahar panas yang dihasilkan dari
letusan gunung Merapi di tahun 2010. Ada 2 sukarelawan yang meninggal disini,
terpanggang api. L
Dari Bunker
Kaliadem, kita kembali ke titik semula, pelataran parkir Tlogo Putri. Dalam
perjalanan, sopir jeep yang kita naiki (lupa nanya namanya :D) menawarkan kita
untuk nyebur ke sungai yang kita lewati. Angie dengan bersuka cita menerima
tawaran itu. Lumayan, menambah pengalaman, naik mobil jeep melewati sungai yang
berair. LOL.
Kita sampai di Tlogo
Putri kembali sekitar pukul 16.00 dalam kondisi hujan deras. Sopir jeep yang
baik hati itu mengantar kita ke salah satu penginapan, yang terletak tak jauh
dari patung Elang Jawa. Saat beristirahat.
Jelang maghrib kita
keluar untuk makan malam. Penginapan itu sekaligus juga rumah makan, sehingga
mudah bagi kita untuk mencari makan. J Kali ini, aku memilih menu capcay goreng, sedangkan Angie
memilih bihun rebus.
Malam itu kita
nonton debat paslon gubernur cawagub DKI nomor 2 dan nomor 3 di Metro TV
sebelum tidur. J Hawa yang
cukup dingin mengantar kita ke kelelapan yang lumayan nyaman.
No comments:
Post a Comment