Wednesday, April 12, 2017

KE JOGJA NOSTALGIA MASA KULIAH Day 1

KE JOGJA
NOSTALGIA MASA KULIAH

Barangkali semenjak aku mengenal ‘bikepacking’ a.k.a mbolang naik sepeda, Jogja kota tempatku kuliah, itu sebab dia menyandang gelar “my second hometown”, kukunjungi hampir tiap tahun. (2011 dalam event Jogja Attack, 2012 Joglo Attack, 2013 raceplorer dagadu plus JLFR, 2014 reuni bersama rekan kuliah S1 dan Jamselinas4, 2015 outing bersama rekan-rekan kantor, 2016 Pitulungan alias ultah JFB plus mbolang bareng anak-anak ‘pelor’, LOL, Februari 2017 ngikut J150K). Namun karena selalu (sok) sibuk dengan kegiatan ini itu, sisi nostalgia tidak begitu terasa. Kecuali pas reuni tahun 2014 itu.

Kali ini aku dolan ke Jogja, tanpa Austin maupun Snow White, namun hanya berdua dengan Angie, my Lovely Star.

Minggu 26 Maret 2017  Day 1

Aku dan Angie meninggalkan kota Semarang sekitar pukul 08.00, naik bus Ramayana dari Sukun. Perjalanan agak tersendat saat kita melewati kawasan Jambu – Ambarawa karena ada kecelakaan. Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan. Hawa di dalam bus dingin – gegara AC, di luar pun dingin. J bus tidak penuh penumpang, mungkin kurang dari 15 orang.

Bus yang kita naiki sampai di terminal Jombor sekitar pukul 11.25. Tinggal gerimis. Jika dulu dari Jombor, untuk menuju Malioboro, kita harus naik bus kota jalur 5 berhenti di Mirota Kampus kemudian berganti bus kota jalur 2 atau 4, kali ini cukup sekali naik Trans Jogja jalur 2B. (Kalau tidak salah ingat.)

Hal pertama yang membuat Angie menganggapku ‘sok tau’ Jogja, padahal telah meninggalkan Jogja sejak awal tahun 2006, adalah ketika kondektur berkata, “halte Mangkubumi 2 ... stasiun ... stasiun ...” aku mengajaknya turun dari bus. Sebagai anak yang menurut ke Emaknya, dia turun, tapi protes, “Ma ... ini kan belum Malioboro? Kok turun disini?”

Jawabku, “Yang ... kayaknya bus ini ga lewat Malioboro deh, tadi si kondektur nyebut Malioboro juga kan?”

“Iya ... tapi kan juga nyebut halte Mangkubumi 2?” protes Angie. LOL.

Namun karena jarak yang kita tempuh berjalan kaki menuju Malioboro cukup dekat, plus cuaca mendung – gerimis telah reda – Angie ga lama-lama protes. J

Perut kita berdua mulai keroncongan. Kita butuh pertolongan pertama pada perut lapar. LOL. Namun, yang pertama kali harus dilakukan adalah mencari toilet umum; kita butuh membuang yang harus kita buang. J

Kita “menemukan” toilet di samping gedung Dinas Pariwisata. Syukurlah. Setelah itu, baru kita mampir ke satu warung bakso + mie ayam untuk makan siang.


Saat makan siang, Angie melihat sepasang lelaki perempuan yang jika dilihat dari model wajahnya, mereka adalah turis dari Korea. Angie berbisik, “Ma ... itu ada turis dari Korea!” aku yang ga begitu memahami beda tekstur wajah orang Korea atau Cina atau Jepang atau mana pun yang memiliki mata sipit atau kecil, sempat menoleh ke arah dua orang yang ditunjuk Angie, sambil manggut-manggut. Ternyata, eh, ternyata, sepasang turis berwajah Korea itu mampir ke warung tempat aku dan Angie sedang makan! LOL.

Mereka duduk di meja di belakang tempat aku duduk. Sang pelayan segera menghampiri mereka sambil menyodorkan menu. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris, dan sang pelayan memahami secukupnya. J setelah itu, kudengar mereka bercakap-cakap dalam bahasa yang aku agak familiar karena sering mendengar dalam film Korea yang Angie tonton. Owh ... ternyata benar, mereka dari Korea. J

Usai makan, kita melanjutkan perjalanan. Tujuan kita adalah ke Tamansari. Waktu mencari becak yang akan membawa ke Tamansari, Angie bercerita bahwa ternyata sepasang turis dari Korea itu bukanlah sepasang kekasih atau pun suami istri. Waktu mereka ngobrol, Angie sempat mendengar, karena suara mereka cukup keras. Si cewe bilang, “Kamu jangan naksir aku lho ya. Sudah banyak cowo yang naksir aku. Kita temenan saja.” LOL. (Sebagai seorang Korean freak, maklum lah ya jika Angie belajar bahasa Korea. J )

Tidak mudah, ternyata, mendapatkan becak yang bersedia membawa kita ke Tamansari. Semua tukang becak minta harga yang cukup tinggi, berkisar antara Rp. 30.000,00 sampai Rp. 40.000,00. Namun ... pucuk dicinta ulam tiba. Di seberang benteng Vredeburg, kita ditawari seorang tukang becak dengan harga hanya Rp. 15.000,00. Waaaah ... kita tentu langsung mau! Becaknya cukup sempit (bandingkan dengan becak-becak di Semarang yang besar dan gagah LOL.) namun cukup lah untuk kita berdua berhimpitan, plus 2 backpack kita.


Sesampai di Tamansari, kuulurkan uang duapuluh ribuan kepada si tukang becak. Waktu aku dan Angie mau berjalan, dia bilang, “Sekedap mbak, jujule dereng.” (sebentar Mbak ... kembaliannya belum.) kujawab, “Kagem njenengan mawon Pak ...” (Buat anda saja Pak.) dan si tukang becak pun terlihat berseri wajahnya, dan mengucapkan terima kasih. That made my day! J

Gerimis kembali turun sebelum kita masuk ke Tamansari. Angie yang butuh ke toilet, mengajakku ke toilet dulu, sembari menunggu gerimis sedikit berkurang.

Karena aku ingin mengajak Angie ke masjid Sumur Gumuling yang terletak di bawah tanah, namun aku tidak tahu jalan menuju kesana, LOL, aku mengiyakan ketika ditawari apakah aku butuh guide. Kepada si bapak guide – yang entah mengapa di mataku nampak mirip bapak mekanik di ‘bengkel’ sepeda di Jalan Suyudono, LOL, rambut gondrongnya dan kumisnya, namun secara fisik dia lebih tinggi badannya – aku sampaikan bahwa aku ingin ke masjid Sumur Gumuling.

Bisa kau bayangkan bukan betapa ramainya Tamansari di hari Minggu, apalagi ini adalah long weekend karena ada tambahan hari libur (Nyepi) di hari Selasa, yang membuat hari Senin adalah hari kejepit. J

Bapak guide menjelaskan nama ketiga kolam yang ada di kawasan dalam Tamansari. Yang pertama disebut “umbul kawitan” yang digunakan mandi anak-anak perempuan dari para selir raja (zaman itu.) yang berada di tengah disebut “umbul sari”, kata “sari” konon berarti harum, digunakan mandi para selir. Saat para selir mandi ini, sang raja ‘menonton’ dari kamar yang terletak di atas. Setelah memilih selir yang akan menemaninya mandi, raja akan melemparkan bunga kepada selir tersebut. Langkah selanjutnya adalah selir yang terpilih itu akan mandi bersama raja di kolam yang letaknya agak tertutup dari kedua kolam yang lain, kolam ini disebut “umbul binangun”; kata ‘binangun’ memiliki arti ‘membangun’, yaitu membangun hubungan antara raja dan selir yang terpilih, dimana saat ‘membangun hubungan’ ini mungkin sang selir akan hamil dan melanjutkan keturunan sang raja. J

Setelah selesai mengitari kawasan kolam dan sekitarnya, bapak guide membawa kita menjelajah kawasan di luar, menuju masjid Sumur Gumuling. Dia juga menjelaskan bahwa para abdi dalem yang mendiami rumah-rumah di kawasan ‘magersari’ (yang berarti tanah itu secara resmi milik keraton) akan direlokasi di kawasan lain mulai tahun 2025, karena tanah di kawasan ‘magersari’ di sekitar Tamansari akan dikembalikan seperti dulu, yakni kolam.

Sang guide menjelaskan awal mula kawasan ‘magersari’ itu dipenuhi bangunan rumah yang kemudian ditempati para abdi dalem adalah saat perang kemerdekaan, para abdi dalem meminta perlindungan dari Sri Sultan dari serangan Belanda. Belanda tidak berani menyerang Sri Sultan rupanya.


Di lokasi masjid Sumur Gumuling juga penuh pengunjung, sehingga tidak leluasa bagiku dan Angie untuk motret, apalagi selfie, maupun wefie, LOL. Angie masih (sok) malu jika berfoto saat banyak orang di sekitar. (She should learn it from me! LOL.)

Sekitar pukul 15.00, kita telah kembali ke pintu masuk/keluar Tamansari. Setelah mampir toilet (lagi!) LOL, kita jajan es teh di satu warung yang ada disitu. Kebetulan gorengannya masih cukup hangat, jadi selain minum segelas es teh, aku juga ngemil 2 biji mendoan.

Kita kembali lagi ke kawan Malioboro dengan naik becak. Ada sedikit ‘incident’ waktu itu. Setelah meninggalkan warung tempat kita beristirahat dan minum es teh, aku melihat sebuah bentor (becak bermotor) datang mengantar penumpang. Aku langsung mengajak Angie naik bentor itu, setelah si tukang bentor menyetujui harga Rp. 20.000,00. Namun, ternyata ‘policy’ (tak tertulis) yang ada tidak membolehkan bentor/becak yang baru saja datang membawa penumpang yang ada di kawasan Tamansari; seorang tukang bentor yang mangkal disitu protes. Akhirnya aku turun dari bentor (yang baru datang itu) dan pindah ke bentor yang mangkal. Kita diantar sampai kantor pos, sebrang Malioboro.

Setelah itu kita jalan-jalan lagi ke Malioboro. Setelah kita rasa cukup, aku mengajak Angie berjalan ke arah Jalan Mataram, take it for granted bahwa masih ada bus kota jalur 2 yang lewat situ menuju kawasan UGM. J Ternyata, oh, ternyata I was wrong! LOL. Di tengah lalu lintas nan padat merayap, tak kulihat penampakan satu pun bus kota maupun Trans Jogja menuju arah utara. (5 tahun lalu, waktu akan mengikuti tour ke Gunung Kidul, kita masih menemukan bus jalur 2 lewat Jalan Mataram! Wait!!! 5 tahun yang lalu? Owhhh ... ternyata sudah cukup lama yaaa? Wkwkwk ...) Kelelahan membuat Angie manyun. LOL. Dia sempat bilang, “Cari penginapan di kawasan sini aja Ma! Angie sudah cape!” LOL. Aku menolak karena keesokan pagi kita berencana akan ke Kaliurang, akan terlalu ‘ribet’ jelang berangkat kesana kalau kita menginap di kawasan Malioboro.

Saat Angie cape, dan duduk beristirahat (untung ada satu tembok tempat kita bisa duduk), kulihat ada bentor yang akan melintas di tengah lalu lintas nan padat. Bless us! LOL. Aku berencana kita menginap di hotel Limaran yang terletak di belakang RS Panti Rapih.


Untunglah saat kita sampai di hotel Limaran, masih ada 1 kamar kosong. J Angie pun bernafas lega. J Setelah istirahat beberapa saat, kita keluar lagi untuk makan malam di satu warung makan yang terletak di seberang RS. Panti Rapih, kemudian berjalan kaki menuju Mirota Kampus untuk membeli beberapa barang. (hwaaa ... nostalgia nih, zaman aku ngekos di Jl. C. Simanjuntak, sering belanja disini!) 

to be continued :)

No comments: