KE
JOGJA
NOSTALGIA
MASA KULIAH
Barangkali semenjak
aku mengenal ‘bikepacking’ a.k.a mbolang naik sepeda, Jogja kota tempatku
kuliah, itu sebab dia menyandang gelar “my second hometown”, kukunjungi hampir
tiap tahun. (2011 dalam event Jogja
Attack, 2012 Joglo Attack, 2013 raceplorer dagadu plus JLFR, 2014 reuni bersama rekan kuliah S1 dan Jamselinas4, 2015 outing
bersama rekan-rekan kantor, 2016 Pitulungan
alias ultah JFB plus mbolang bareng
anak-anak ‘pelor’, LOL, Februari 2017 ngikut J150K). Namun karena selalu (sok) sibuk dengan kegiatan ini itu,
sisi nostalgia tidak begitu terasa. Kecuali pas reuni tahun 2014 itu.
Kali ini aku dolan
ke Jogja, tanpa Austin maupun Snow White, namun hanya berdua dengan Angie, my
Lovely Star.
Minggu 26 Maret 2017 Day 1
Aku dan Angie
meninggalkan kota Semarang sekitar pukul 08.00, naik bus Ramayana dari Sukun. Perjalanan
agak tersendat saat kita melewati kawasan Jambu – Ambarawa karena ada
kecelakaan. Hujan terus mengguyur sepanjang perjalanan. Hawa di dalam bus
dingin – gegara AC, di luar pun dingin. J bus tidak penuh penumpang, mungkin kurang dari 15 orang.
Bus yang kita naiki
sampai di terminal Jombor sekitar pukul 11.25. Tinggal gerimis. Jika dulu dari
Jombor, untuk menuju Malioboro, kita harus naik bus kota jalur 5 berhenti di
Mirota Kampus kemudian berganti bus kota jalur 2 atau 4, kali ini cukup sekali
naik Trans Jogja jalur 2B. (Kalau tidak salah ingat.)
Hal pertama yang
membuat Angie menganggapku ‘sok tau’ Jogja, padahal telah meninggalkan Jogja
sejak awal tahun 2006, adalah ketika kondektur berkata, “halte Mangkubumi 2 ...
stasiun ... stasiun ...” aku mengajaknya turun dari bus. Sebagai anak yang
menurut ke Emaknya, dia turun, tapi protes, “Ma ... ini kan belum Malioboro?
Kok turun disini?”
Jawabku, “Yang ...
kayaknya bus ini ga lewat Malioboro deh, tadi si kondektur nyebut Malioboro
juga kan?”
“Iya ... tapi kan
juga nyebut halte Mangkubumi 2?” protes Angie. LOL.
Namun karena jarak
yang kita tempuh berjalan kaki menuju Malioboro cukup dekat, plus cuaca mendung
– gerimis telah reda – Angie ga lama-lama protes. J
Perut kita berdua
mulai keroncongan. Kita butuh pertolongan pertama pada perut lapar. LOL. Namun,
yang pertama kali harus dilakukan adalah mencari toilet umum; kita butuh
membuang yang harus kita buang. J
Kita “menemukan”
toilet di samping gedung Dinas Pariwisata. Syukurlah. Setelah itu, baru kita
mampir ke satu warung bakso + mie ayam untuk makan siang.
Saat makan siang,
Angie melihat sepasang lelaki perempuan yang jika dilihat dari model wajahnya,
mereka adalah turis dari Korea. Angie berbisik, “Ma ... itu ada turis dari
Korea!” aku yang ga begitu memahami beda tekstur wajah orang Korea atau Cina
atau Jepang atau mana pun yang memiliki mata sipit atau kecil, sempat menoleh
ke arah dua orang yang ditunjuk Angie, sambil manggut-manggut. Ternyata, eh,
ternyata, sepasang turis berwajah Korea itu mampir ke warung tempat aku dan
Angie sedang makan! LOL.
Mereka duduk di meja
di belakang tempat aku duduk. Sang pelayan segera menghampiri mereka sambil
menyodorkan menu. Mereka berbicara dalam Bahasa Inggris, dan sang pelayan
memahami secukupnya. J setelah itu,
kudengar mereka bercakap-cakap dalam bahasa yang aku agak familiar karena
sering mendengar dalam film Korea yang Angie tonton. Owh ... ternyata benar,
mereka dari Korea. J
Usai makan, kita
melanjutkan perjalanan. Tujuan kita adalah ke Tamansari. Waktu mencari becak
yang akan membawa ke Tamansari, Angie bercerita bahwa ternyata sepasang turis
dari Korea itu bukanlah sepasang kekasih atau pun suami istri. Waktu mereka
ngobrol, Angie sempat mendengar, karena suara mereka cukup keras. Si cewe
bilang, “Kamu jangan naksir aku lho ya. Sudah banyak cowo yang naksir aku. Kita
temenan saja.” LOL. (Sebagai seorang Korean freak, maklum lah ya jika Angie
belajar bahasa Korea. J )
Tidak mudah,
ternyata, mendapatkan becak yang bersedia membawa kita ke Tamansari. Semua
tukang becak minta harga yang cukup tinggi, berkisar antara Rp. 30.000,00
sampai Rp. 40.000,00. Namun ... pucuk dicinta ulam tiba. Di seberang benteng
Vredeburg, kita ditawari seorang tukang becak dengan harga hanya Rp. 15.000,00.
Waaaah ... kita tentu langsung mau! Becaknya cukup sempit (bandingkan dengan
becak-becak di Semarang yang besar dan gagah LOL.) namun cukup lah untuk kita
berdua berhimpitan, plus 2 backpack kita.
Sesampai di
Tamansari, kuulurkan uang duapuluh ribuan kepada si tukang becak. Waktu aku dan
Angie mau berjalan, dia bilang, “Sekedap mbak, jujule dereng.” (sebentar Mbak
... kembaliannya belum.) kujawab, “Kagem njenengan mawon Pak ...” (Buat anda
saja Pak.) dan si tukang becak pun terlihat berseri wajahnya, dan mengucapkan
terima kasih. That made my day! J
Gerimis kembali
turun sebelum kita masuk ke Tamansari. Angie yang butuh ke toilet, mengajakku
ke toilet dulu, sembari menunggu gerimis sedikit berkurang.
Karena aku ingin
mengajak Angie ke masjid Sumur Gumuling yang terletak di bawah tanah, namun aku
tidak tahu jalan menuju kesana, LOL, aku mengiyakan ketika ditawari apakah aku
butuh guide. Kepada si bapak guide – yang entah mengapa di mataku nampak mirip
bapak mekanik di ‘bengkel’ sepeda di Jalan Suyudono, LOL, rambut gondrongnya
dan kumisnya, namun secara fisik dia lebih tinggi badannya – aku sampaikan
bahwa aku ingin ke masjid Sumur Gumuling.
Bisa kau bayangkan
bukan betapa ramainya Tamansari di hari Minggu, apalagi ini adalah long weekend
karena ada tambahan hari libur (Nyepi) di hari Selasa, yang membuat hari Senin
adalah hari kejepit. J
Bapak guide
menjelaskan nama ketiga kolam yang ada di kawasan dalam Tamansari. Yang pertama
disebut “umbul kawitan” yang
digunakan mandi anak-anak perempuan dari para selir raja (zaman itu.) yang
berada di tengah disebut “umbul sari”,
kata “sari” konon berarti harum, digunakan mandi para selir. Saat para selir
mandi ini, sang raja ‘menonton’ dari kamar yang terletak di atas. Setelah
memilih selir yang akan menemaninya mandi, raja akan melemparkan bunga kepada
selir tersebut. Langkah selanjutnya adalah selir yang terpilih itu akan mandi
bersama raja di kolam yang letaknya agak tertutup dari kedua kolam yang lain,
kolam ini disebut “umbul binangun”;
kata ‘binangun’ memiliki arti ‘membangun’, yaitu membangun hubungan antara raja
dan selir yang terpilih, dimana saat ‘membangun hubungan’ ini mungkin sang
selir akan hamil dan melanjutkan keturunan sang raja. J
Setelah selesai
mengitari kawasan kolam dan sekitarnya, bapak guide membawa kita menjelajah
kawasan di luar, menuju masjid Sumur Gumuling. Dia juga menjelaskan bahwa para
abdi dalem yang mendiami rumah-rumah di kawasan ‘magersari’ (yang berarti tanah
itu secara resmi milik keraton) akan direlokasi di kawasan lain mulai tahun
2025, karena tanah di kawasan ‘magersari’ di sekitar Tamansari akan
dikembalikan seperti dulu, yakni kolam.
Sang guide
menjelaskan awal mula kawasan ‘magersari’ itu dipenuhi bangunan rumah yang
kemudian ditempati para abdi dalem adalah saat perang kemerdekaan, para abdi
dalem meminta perlindungan dari Sri Sultan dari serangan Belanda. Belanda tidak
berani menyerang Sri Sultan rupanya.
Di lokasi masjid
Sumur Gumuling juga penuh pengunjung, sehingga tidak leluasa bagiku dan Angie
untuk motret, apalagi selfie, maupun wefie, LOL. Angie masih (sok) malu jika
berfoto saat banyak orang di sekitar. (She should learn it from me! LOL.)
Sekitar pukul 15.00,
kita telah kembali ke pintu masuk/keluar Tamansari. Setelah mampir toilet
(lagi!) LOL, kita jajan es teh di satu warung yang ada disitu. Kebetulan gorengannya
masih cukup hangat, jadi selain minum segelas es teh, aku juga ngemil 2 biji
mendoan.
Kita kembali lagi ke
kawan Malioboro dengan naik becak. Ada sedikit ‘incident’ waktu itu. Setelah
meninggalkan warung tempat kita beristirahat dan minum es teh, aku melihat
sebuah bentor (becak bermotor) datang mengantar penumpang. Aku langsung
mengajak Angie naik bentor itu, setelah si tukang bentor menyetujui harga Rp.
20.000,00. Namun, ternyata ‘policy’ (tak tertulis) yang ada tidak membolehkan
bentor/becak yang baru saja datang membawa penumpang yang ada di kawasan
Tamansari; seorang tukang bentor yang mangkal disitu protes. Akhirnya aku turun
dari bentor (yang baru datang itu) dan pindah ke bentor yang mangkal. Kita
diantar sampai kantor pos, sebrang Malioboro.
Setelah itu kita
jalan-jalan lagi ke Malioboro. Setelah kita rasa cukup, aku mengajak Angie
berjalan ke arah Jalan Mataram, take it for granted bahwa masih ada bus kota
jalur 2 yang lewat situ menuju kawasan UGM. J Ternyata, oh, ternyata I was wrong! LOL. Di tengah lalu lintas
nan padat merayap, tak kulihat penampakan satu pun bus kota maupun Trans Jogja
menuju arah utara. (5 tahun lalu, waktu akan mengikuti tour ke Gunung Kidul,
kita masih menemukan bus jalur 2 lewat Jalan Mataram! Wait!!! 5 tahun yang
lalu? Owhhh ... ternyata sudah cukup lama yaaa? Wkwkwk ...) Kelelahan membuat
Angie manyun. LOL. Dia sempat bilang, “Cari penginapan di kawasan sini aja Ma!
Angie sudah cape!” LOL. Aku menolak karena keesokan pagi kita berencana akan ke
Kaliurang, akan terlalu ‘ribet’ jelang berangkat kesana kalau kita menginap di
kawasan Malioboro.
Saat Angie cape, dan
duduk beristirahat (untung ada satu tembok tempat kita bisa duduk), kulihat ada
bentor yang akan melintas di tengah lalu lintas nan padat. Bless us! LOL. Aku
berencana kita menginap di hotel Limaran yang terletak di belakang RS Panti
Rapih.
Untunglah saat kita
sampai di hotel Limaran, masih ada 1 kamar kosong. J Angie pun bernafas lega. J Setelah istirahat beberapa saat, kita keluar
lagi untuk makan malam di satu warung makan yang terletak di seberang RS. Panti
Rapih, kemudian berjalan kaki menuju Mirota Kampus untuk membeli beberapa
barang. (hwaaa ... nostalgia nih, zaman aku ngekos di Jl. C. Simanjuntak,
sering belanja disini!)
to be continued :)