|
kami berempat di teras rumah NH Dini
|
Di hari
Minggu 3 Maret 2024, aku mengajak Angie, Rani -- keponakan -- dan Noek adikku
untuk ngikut acara 'Bersukaria Walk' yang diadakan oleh komunitas
'Bersukariawalk' yang bekerja sama dengan Collabox yang mengadakan event
bertajuk "Dini, Kita, Nanti" untuk memperingati tanggal ulang tahun
NH Dini yang jatuh pada tanggal 29 Februari.
Kami
berkumpul di Thamrin Square pukul 09.00. setelah menunggu beberapa peserta yang
datang agak belakangan, rombongan kami (rombongan kedua, yang pertama sudah
berangkat tepat jam 09.00), pun memulai berjalan sekitar pukul 09.15. yang
pertama kami kunjungi adalah relief yang menceritakan tentang pembangunan
Masjid Taqwa, Sekayu, yang legendaris. Menurut relief yang ada, masjid -- yang
konon awal mula dibangun 'hanya' berupa surau, jadi ukurannya lebih kecil dari
masjid pada umumnya -- pertama kali dibangun pada tahun 1413 oleh Kyai Jamal,
murid Sunan Gunung Jati. Kyai Jamal membangun surau ini untuk tempat singgah
dalam perjalanannya menuju Demak, untuk membangun Masjid Agung Demak. Praktis,
usia surau yang terletak di kampung Sekayu ini lebih tua ketimbang Masjid Agung
Demak.
(Untuk
mengetahui lebih jauh lagi tentang Masjid Taqwa ini, sila klik link ini.)
Dari relief
itu, kami menuju Masjid Taqwa yang sekarang terletak di tengah perkampungan
yang padat penduduknya. Konon sekian abad lalu, tempat itu dipenuhi pohon-pohon
besar. Dari masjid legendaris ini kami menuju rumah tinggal NH Dini saat masih
kecil. Alhamdulillah ketika kami tiba, seorang perempuan yang sudah nampak
cukup senior usianya mempersilakan kami masuk ke halaman, dan berfoto-foto di
teras rumah yang sejuk itu, meski di luar cukup panas.
Dari sini,
kami kembali menuju Masjid Taqwa, namun di belakangnya, dimana ternyata di situ
ada 2 makam, yang satu makam Nyai Jamal -- istri Kyai Jamal -- dan satu makam
lagi, yang konon biasa membantu Nyai Jamal. Makam Kyai Jamal sendiri mungkin
berada di Cirebon, mengingat dia dari Cirebon. Kemudian kami lanjut berjalan ke
arah gang yang terletak di samping Paragon Mall, lalu menyeberang Jl. Pemuda
yang di zaman Belanda namanya Jl. Bodjong.
Oleh tour
guide -- nama panggilannya Surya, mahasiswa jurusan Komunikasi UNDIP -- kami
diajak lewat Basahan, jalan 'pintas' untuk menuju Jl. Pierre Tendean. Aku baru
tahu bahwa pahlawan revolusi satu ini pernah tinggal di kota Semarang setelah
di ujung Jl. Pierre Tendean dibangun taman dengan patung Kapten Pierre Tendean.
Surya bilang, gereja yang terletak di Jl. P Tendean itu dulunya adalah rumah
tempat tinggal P Tendean ketika tinggal di Semarang saat duduk di bangku SMP
dan SMA. Dia bersekolah di SMP N 1 dan SMA N 1 Semarang.
Dari sana,
Surya mengajak kami mampir di 3 bangunan yang terletak berjejer, yakni 'Griya
Wulan', (Wulan = warga lanjut usia), namun tidak banyak informasi yang bisa
disediakan oleh Surya, kemudian kami juga berhenti di depan Radjawali Semarang
Cultural Center, di mana aulanya bisa disewa untuk mengadakan berbagai macam
event, plus satu lagi gedung, tapi, aku lupa, lol.
Setelah
beristirahat sebentar di depan satu minimarket di ujung Jl. Pierre Tendean --
sekalian memberi kesempatan peserta yang butuh ke toilet atau jajan sesuatu di
minimarket itu -- kami menyeberang menuju Jl. Indraprasta. Tujuan pertama kami
adalah Sentra Kuliner Abimanyu. Kami beristirahat lagi di taman yang terletak
di samping gerbang masuk, sambil menunggu mereka yang jajan-jajan.
Dari sini,
kami diajak berputar menuju Jl. Sadewa di mana kata Surya duluuu terletak
stasiun kereta (barang?) yang datang dari arah Barat (Cirebon), namun sekarang
sudah tidak ada jejaknya sama sekali, sudah dipindah ke Stasiun Poncol. Dari
area Sadewa, kami berjalan menuju Collabox.
Demikianlah
kisah kami berjalan-jalan sambil bersukaria di kota sendiri.
PT56 15.11 4
Maret 2024