“Hah, memang berat menjadi murid SMA 3 Semarang,” komplain Angie sekitar satu setengah jam yang lalu tatkala dia sedang berkutat dengan peer-peernya yang bejibun. Aku hanya tersenyum mendengarnya, sembari tetap menyuapinya makan malam. (Bayangkan: aku menyuapinya makan malam sementara dia sibuk mengerjakan peer dan kadang-kadang bersms ria dengan teman-temannya untuk bertanya ini itu. Do you think I spoil her? Yah, anak cuma satu, siapa lagi yang akan ku-spoil?)
Ketika Angie lulus SMP bulan Juni 2006, aku sendiri memang memiliki keinginan kuat agar Angie sekolah di sekolah negeri terfavorit di Semarang ini dengan alasan romantisme—dulu aku pun sekolah di situ. Namun, mengetahui bahwa SMA N 3 Semarang terpilih sebagai pilot project SNBI (Sekolah Nasional Berstandar Internasional) di Semarang, aku agak ragu apakah Angie mau ‘bekerja keras’ untuk menjadi siswa di situ. Kenyataan bahwa her dream boy masuk ke sekolah itu, mempermudah keinginanku menjadi kenyataan. LOL.
Hasil rapor semester I kemarin menurutku tidak begitu mengecewakan—kecuali bahwa nilai Bahasa Inggrisnya cuma 80. Aku tidak pernah mendapatkan nilai di bawah 90 untuk Bahasa Inggris ketika aku duduk di bangku SMP dan SMA. Hasil jerih payahku sendiri. Lah Angie? She has me—her mother, an English teacher—sebagai tempat dia bertanya ini itu. Tiga mata pelajaran yang nilainya masih di bawah 75—sebagai standar kelulusan—adalah Matematika, Kimia, dan Ekonomi. Meskipun ketika kuliah S2 kemarin aku begitu mengejar nilai A, bagiku sebenarnya tidak begitu penting berapa nilai yang Angie dapatkan di rapornya, yang penting adalah dia harus paham betul materinya. Buat apa nilai bagus tapi dia cuma hafalan belaka?
Beberapa hari yang lalu, dia komplain omongan guru Matematikanya, “Bagi mereka yang nilai Math di rapornya di bawah 75, dan di rapor semester dua nanti juga sama, tidak ada perkembangan, jangan berharap mimpi masuk jurusan IPA.” Kata guru itu.
Aku berkomentar, “Kalau Angie beneran mau kuliah di jurusan Psikologi nanti, Angie harus masuk jurusan IPA.”
Angie diam saja mendengarnya.
Well, aku bukan tipe orang tua yang merasa perlu menyuruhnya—atau memaksanya—untuk belajar, atau yang setiap beberapa menit sekali atau beberapa jam sekali mengingatkannya, “Sudah belajar belum? Sudah bikin pe-er belum? Dll...” Aku anggap Angie sudah cukup dewasa untuk menentukan kapan dia belajar, kapan bikin pe-er, kapan baca novel teenlit kesukaanya, kapan nonton teve, dll. Aku akan mengatakan sesuatu yang penting TEPAT PADA WAKTUNYA. Yah, misalnya waktu mengingatkannya harus belajar Math lebih giat lagi kalau dia memang benar-benar pengen kuliah di jurusan Psikologi yang berarti dia harus masuk jurusan IPA.
Hah, aku sendiri sebenarnya sebel juga dengan dikotomi ini—IPA/IPS/Bahasa. Apalagi banyak di masyarakat anggapan bahwa jurusan IPA milik anak-anak yang pintar, dan jurusan IPS/Bahasa milik anak-anak yang kurang pintar. Padahal ini kan semata urusan interest masing-masing individu?
Any idea why a student must major IPA to continue to Psychology faculty?
Oh well, memang Angie harus selalu bekerja keras. Dan kupikir aku telah memberinya contoh yang lumayan bagus. Aku selalu membaca buku—yang tidak hanya novel, namun kebanyakan buku yang kubaca adalah buku scientific—padahal aku bukan mahasiswa lagi.
PT56 23.00 050207
No comments:
Post a Comment