Ketika aku parkir sepeda motor di bawah satu pohon rindang di depan SMA N 3 untuk menghadiri rapat, datanglah seorang laki-laki yang kemudian memarkir motornya di sampingku. Dia tersenyum dan menyapaku. Berhubung telingaku sedang khusuk mendengarkan lagu dari MP, aku tidak mendengarnya. LOL. Yang kulihat hanyalah mulut orang tersebut seperti sedang berkata sesuatu, dan matanya tersenyum kepadaku. (Bisa bayangin kan, sorot mata yang tersenyum? Bisa bedain dengan sorot mata yang tajam menusuk menuduh kita melakukan suatu kesalahan, misalnya?)
Untunglah aku langsung sadar bahwa orang tersebut berbicara padaku sehingga aku lepaskan earphone dari telinga, dan bertanya kepadanya, “Kados pundi Pak?”
(I speak very little Kromo Inggil, if you care to know. LOL.)
“Mbak mau menghadiri rapat?”
“Oh, iya. Bapak juga kan?” aku berikan senyum manis kepadanya sekaligus untuk memberikan kesan bahwa aku minta maaf padanya karena tidak mendengar sapaannya sebelumnya. LOL.
“Iya.”
“Anaknya kelas berapa Pak?” tanyaku berbasa basi.
“Kelas X-11.”
“Oh, anak saya kelas X-9.”
Aku tahu setelah saling berbasa basi menyapa kita bisa berjalan bersama menuju ke tempat rapat diselenggarakan. Namun berhubung aku ini tipe orang yang mengidap penyakit asocial yang parah, aku langsung ngacir, setelah berpamitan,
“Monggo Pak?”
Dia menjawab, “Monggo...”
Namun, ternyata dia tidak memahami bahasa tubuhku yang sebenarnya ingin memberitahunya bahwa aku ingin sendiri. Aku berjalan dengan langkah yang tidak panjang karena kakiku pun tidak panjang. LOL. Otomatis, laki-laki itu dengan mudah mensejajarkan diri dengan langkahku, dan bukannya mengambil arah yang berbeda dariku. Aku langsung berpikir, “Gimana cara beramah tamah lagi dengannya? Apa yang harus kukatakan?”
Akhirnya kutemukan satu pertanyaan yang sangat basi itu. “Anak Bapak lulusan SMP mana?”
Ternyata anaknya dulu satu sekolah dengan Angie, SMP N 1, namun berasal dari kelas yang berbeda. Angie di kelas 3D sedangkan anaknya di kelas 3A.
Out of the blue, si Bapak itu berkata, “Istri saya ga mau saya minta untuk menghadiri rapat-rapat seperti ini. Terpaksa saya datang sendiri.”
“Oh ...” jawabku pendek. (menurut cara berkomunikasi yang baik yang pernah kubaca, jawaban pendek seperti “oohh....” “hmmm...” “iya ....” tanpa mengatakan apa-apa lagi setelah itu termasuk cara killing conversation yang sukses. LOL. )
Betapa aku ini orang yang tidak ramah. 😃
Namun, dalam pikiranku aku langsung berpikir, mengapa orang ini berbicara seperti itu? Untuk urusan anak kan ga perlu ada garis pembatas ini urusan sang ibu maupun sang ayah? Kalau memang sang ibu sibuk bekerja di kantor, dan sang ayah yang punya waktu luang, mengapa tidak?
Kebetulan saja aku ini single parent, yang tidak bekerja 8-4 di belakang meja dengan melototin monitor komputer ataupun dengan balpoint di tangan kanan dan telepon di tangan kiri menerima keluhan dari klien, misalnya.. So, it is not a big deal bagiku untuk selalu menghadiri acara rapat seperti ini di sekolah anakku.
Well, hanya sekedar catatan kecil waktu aku menghadiri rapat di sekolah anakku.
PT56 13. 40 220207
No comments:
Post a Comment