Terakhir aku
dolan ke Pacitan itu bulan Oktober 2013, tepat 10 tahun yang lalu. Aku mengajak
Angie ke Pantai Klayar, pulangnya mampir ke Goa Tabuhan. Dan … akhirnya, di
akhir bulan September 2023 kesempatan itu datang lagi. Well, meski ini
sebenarnya bukan tujuan pertama, melainkan hanya iseng-iseng saja awalnya.
Begini. Hari
Kamis 28 September 2023 kebetulan merupakan hari libur Nasional. Ranz yang
ternyata masih belum puas foto-foto di Gili Ketapang, pengen dolan ke Gili
Ketapang lagi. Sementara aku yang mendadak pengen ke Baluran lagi, mulai
merayunya untuk dolan ke Banyuwangi saja, toh sama-sama kami naik KA
Sritanjung. Nanggung amat Cuma ke Probolinggo lagi kan? Sekalian ke Banyuwangi
sajaaa.
Aku ingin
mengajak Angie, namun dia menolak ikut karena dia ga mau bolos kerja di hari
Jumat 29 September itu. Aku mikir-mikir, bagaimana kalau dolan ke Pacitan saja
ya, seorang bestie bilang ke aku tentang pantai Kasap yang dikenal sebagai
'Raja Ampat'nya Pacitan. Dengan iming-iming 'Raja Ampat' KW ini, dengan mudah
aku meyakinkan Ranz untuk dolan ke Pacitan saja, juga Angie, karena dia ga
perlu mbolos di hari Jumat itu.
Aku dan
Angie berangkat ke Solo hari Jumat 29 September 2023 dengan naik travel pukul
19.00, setelah Angie pulang dari kantor. Perjalanan lancar, kami sampai di pool
travel di Jl. Slamet Riyadi pukul 20.40. Karena Angie lapar, dan di samping
pool ada warung nasi liwet, kami berdua makan malam dulu sebelum ke rumah Ranz.
Sabtu 30
September 2023
Kami
meninggalkan rumah Ranz di kawasan Jongke sekitar pukul 08.30, kami mampir
sarapan di RM soto seger Hj. Fatimah di Jl. Bhayangkara. Setelah itu, kami
langsung melaju ke arah Pacitan. Oh ya, kami bertujuh; selain aku, Angie, dan
Ranz, masih ada Deven, mbak Niken -- kakak kandung Ranz -- dan mas Martin,
suami mbak Niken, plus Rama, kakaknya Deven. Kami naik mobil dan mas Martin
yang nyetir.
Ternyata,
pantai Kasap -- tujuan pertama kami -- terletak tak jauh dari pantai Klayar.
Mas Martin mengambil arah yang sama persis dengan rute yang aku lewati dan Ranz
saat kami bersepeda menuju Pantai Klayar 10 tahun yang lalu. Menyadari jauhnya
rute ini, mana trek rolling naik turun tak kunjung usai, aku heran dengan
diriku sendiri yang 10 tahun lalu ya bersemangat sekali bersepeda ke arah
Pantai Klayar. Wkwkwkwk …
Aku sengaja
menyalakan strava untuk tahu jarak yang kami tempuh dari Jongke ke tujuan kami.
Sesampai di
pertigaan Punung, kami belok ke arah Pantai Klayar, Watukarung, Srau, Goa Gong,
dll. Setelah sampai di satu pertigaan, dimana jika belok kanan kami akan sampai
Pantai Klayar, kami belok kiri. Dengan pede Ranz bilang bahwa Pantai Kasap
terletak tak jauh dari pantai Watukarung. Karena di jalan-jalan yang kami
lewati, belum ada petunjuk menuju Pantai Kasap, Ranz pun mengambil rute yang
menuju pantai Watukarung. Trek masih sama dengan trek menuju Klayar, rolling
naik turun terus menerus.
Akhirnyaaa …
kami sampai di pintu masuk pantai Watukarung sekitar pukul 12.30. waktu membeli
tiket masuk -- satu orang limaribu rupiah -- kami sekalian bertanya apa benar
pantai Kasap terletak di samping pantai Watukarung. Si penjaga loket bilang,
"iya, tapi nanti beli tiket masuk lagi ya?" ya ga masalah sih beli
tiket lagi, yang menjadi masalah adalah jika ternyata prakiraan kami salah
bahwa pantai Kasap terletak di lokasi yang sama dengan pantai Watukarung. Haha
…
Setelah
masuk area pantai Watukarung, baru kami melihat petunjuk menuju pantai Kasap.
Ternyata beneran, pantai Kasap terletak persis di sebelah pantai Watukarung.
Setelah sampai, memarkir mobil di tempat parkir, kami berjalan ke arah pantai,
sekitar 100 meter. Karena sebagian dari kami sudah lapar, kami pun mampir ke
satu warung makan terlebih dahulu. Padahal aku sudah pengen segera berjalan
menuju gardu pandang untuk membuktikan, beneran ga sih pemandangannya seperti
Raja Ampat? Hihihi …
Untuk pantai
seindah pantai Kasap dengan pemandangan a la Raja Ampat, menurutku
pengunjungnya ga begitu banyak. Apa karena belum begitu terkenal ya? Terbukti
aku juga baru tahu (malah Ranz belum tahu loh sebelum aku menyebut nama pantai
satu ini). Plus belum ada nama PANTAI KASAP di petunjuk-petunjuk di jalan yang
kita lalui, mulai dari pertigaan Punung sampai kami tiba di pantai Watukarung
Tapi ya gapapa, tempat parkirnya hanya cukup untuk mobil tak lebih dari 10
mobil. Untuk parkir motor sih sudah agak mending ya. Plus jalan menuju kemari
masih cukup sempit, belum bisa dilewati bus.
Usai makan
siang, aku, Ranz, dan Angie berjalan ke arah gardu pandang. Ga jauh-jauh amat
kok, masih lebih jauh dari tempat parkir menuju tangga naik ke Seruni Point, di
Bromo. Hahahaha … Sesampai gardu pandang, ada sekitar 10 - 15 orang di sana.
Padahal sebelumnya aku membayangkan bakal antri lamaaaaaaaaaaaa untuk berfoto
di sana. Tapi, di 'puncak' gardu pandang, Cuma boleh ada 7 orang, karena
dikhawatirkan akan tumbang gardu pandangnya jika terlalu penuh orang.
Kami bertiga
mungkin menghabiskan waktu sekitar satu jam berfoto-foto di sini. Kebetulan kok
ya pas ada back light jika kami memotret dengan background laut lepas dimana
kita bisa melihat gugusan karang yang nampak seperti Raja Ampat. Ranz sempat
berpikir kami akan stay di sana sampai sore, saat sunset. Tapi, kok ga enak
sama mbak Niken dan mas Martin yang menunggu kami di warung makan. Plus, si
empunya penginapan yang sudah kami buking berulang kali bertanya kami akan
sampai penginapan jam berapa. Hoho …
Sekitar
pukul 15.00 kami kembali ke warung makan tempat mbak Niken menunggu kami.
Karena haus, kami memesan minum lagi. Sebenarnya ingin juga menjelajahi pantai
Kasap ke arah pantai -- ga Cuma naik ke gardu pandang -- tapi kok ya kami sudah
ingin istirahat. Jian mbingungi tenan. Wkwkwkwk … akhirnya setelah menghabiskan
minuman yang kami pesan, kami meninggalkan pantai Kasap.
FYI, bagi
yang ingin menginap di pantai Kasap, sudah ada beberapa homestay sederhana yang
terletak tak jauh dari pantai, andai ingin berfoto ria di gardu pandang di pagi
hari, setelah matahari terbit.
Kami sampai
di penginapan -- SUMBER WATU -- sekitar pukul 16.00. sebelum ini, Ranz
menunjukkan link youtube tentang penginapan BATU PUTIH yang terletak mungkin
hanya sekitar 30 meter dari pantai Watukarung. Namun karena ada
misunderstanding di antar kami -- kupikir Ranz yang akan buking, as usual,
ternyata Ranz sendiri berpikir aku yang akan buking, lol -- akhirnya kami
kehabisan kamar. Untunglah pengelola penginapan menawari kami satu rumah yang
memiliki 3 kamar untuk kami sewa. Dia mematok harga Rp. 800.000,00 untuk sewa
satu rumah ini, dengan 3 kamar. Setelah kami sampai di rumah ini, rumahnya
lumayan besar, menurutku. Ada 3 kamar, plus AC di tiap-tiap kamar, ada ruang
tamu dan ruang tengah, dimana di ruang tamu tersedia kursi dan meja makan. Di
ruang tengah masih disediakan satu spring bed ukuran king. Di dapur tersedia
peralatan masak, jika sang penyewa ingin memasak sendiri. Di halaman samping
ada sumur dan 2 kran air yang bisa kita pakai untuk mencuci kaki sebelum masuk
rumah, terutama jika kami habis dolan ke pantai.
Setelah
check in, aku langsung mengajak Ranz ke pantai. Kita cukup jalan kaki, ga
sampai 5 menit kami sudah sampai. Waktu aku dan Ranz sampai pantai, air masih
surut. Namun saat matahari terbenam, air sudah mulai menggenangi karang-karang
yang terletak di sebelah hamparan pasir yang berwarna 'beige' itu.
Mendapatkan
foto sunset tentu adalah satu hal yang biasa diburu orang-orang yang sengaja ke
pantai di sore hari. Sayangnya sore ini, mendung menghalangi kami untuk
mendapatkan foto sunset. Tapi, gapapa. Setelah matahari terbenam, semburat
warna jingga yang nampak di langit sebelah Barat cantik sekali.
FYI, di
dekat pantai Watukarung ini ada perkampungan dimana di tengah-tengah rumah
penduduk telah dibangun homestay-homestay. Wisatawan bisa tinggal memilih mau
menginap di homestay yang mana. Ada homestay sederhana, sekelas OY*, namun juga
ada hotel yang nampak cantik sekali eksteriornya. Di tengah-tengahnya tentu
telah ada toko-toko tempat para wisatawan bisa membeli beberapa barang yang
dibutuhkan (belum ada 2 minimarket yang merajai Indonesia di sini ya), dan ada
beberapa pilihan warung makan.
Malam itu,
kami makan di rumah makan yang menawarkan 'seafood'. Namun, rumah makan ini
tidak hanya menyediakan masakan olahan dari ikan saja, ada banyak variasi menu
lain. Setelah makan malam, aku, Angie dan Ranz berjalan-jalan di sekitar
perkampungan dan menghampiri pantai. Hampir seluruh kawasan berpasir sudah
dipenuhi air laut dengan gelombang ombak yang besar. Air laut sedang pasang.
Namun karena pantai gelap gulita, tak satu pun dari kami memotret.
To be
continued.