Sabtu 30 Maret 2024
Kami memulai kegiatan hari ini dengan berjalan kaki di sekitar hotel: kami keluar dari hotel sekitar pukul enam pagi, menyusuri sawah-sawah yang sebagian telah menguning, namun sebagian lain masih hijau belum siap dipanen. Suara tenggeret terdengar dengan keras dari arah sawah-sawah itu, meski sudah mulai banyak penduduk sekitar yang nampak lalu lalang. Pukul setengah delapan kami sudah kembali ke hotel dan mandi kemudian sarapan.
To my disappointment, ternyata sarapan disediakan a la carte, bukan buffet seperti pengalamanku bersama Ranz tiga tahun lalu. Mungkin karena (1) itu bulan puasa (2) tamu yang menginap di hotel sangat sedikit. Pagi itu kami mendapatkan nasi goreng, lauk ayam goreng, dan semangkuk sup yang tidak jelas sup apa, lol. Untuk minum, kami disediakan 2 gelas teh. Itu sebabnya, setelah kembali ke kamar, aku bikin 2 mug cappuccino. Aku sengaja membawa 2 sachet cappuccino karena tahu Angie tidak bisa minum kopi hitam yang biasanya disediakan di kamar hotel.
Setelah menimbang-nimbang bersama kami akan dolan kemana pagi itu, akhirnya kami memutuskan untuk ke Obelix Village yang menurut gmap jaraknya tak lebih dari 5 km dari hotel. Tiket masuk Rp. 30.000,00 per orang. Tentu saja suasananya sepi karena itu bulan Ramadan, mana matahari bersinar begitu terik. Goshong dah! Lol.
Di Obelix Village ini ada mini zoo, dengan beberapa macam binatang, misal keledai, bebek, ayam yang ekornya nampak sangat mengembang cantik sekali, kambing, biri-biri, dll. Selain mini zoo, ada juga flower garden dengan bunga matahari sebagai atraksi utama. Sayangnya, baru bulan Desember kemarin kami ke Rainbow Garden Trawas Mojokerto yang bunga mataharinya besar-besar, sementara di Obelix Village ini ukuran bunga mataharinya tidak sebesar itu, sehingga Angie tidak terlihat se-excited seperti waktu kami dolan ke Mojokerto bulan Desember lalu.
Selain itu, masih ada lagi tempat bersantai di pinggir sungai yang lumayan adhem buat nongkrong. Namun, karena sepi, tempat itu nampak kurang menarik. Hoho …
Kami mampir ke Petit Paris demi ngadhem setelah kepanasan di luar. Di sini, kami nunut beli minuman, aku beli something like jus jeruk, Angie beli apa ya, aku sudah lupa, lol. Maklum, terlalu lama aku ga segera menuliskan kisah ini. Yang pasti, untuk dua jenis minuman ini, aku harus merogoh kocek Rp. 58.000,00.
Setelah meninggalkan Petit Paris, kami ke toilet. Nah, ini, toiletnya cuantik! Dan karena masih terhitung baru, jadi bersih sekali, sangat menyenangkan untuk foto-foto. Tak jauh dari toilet, aku baru ingat lagi bahwa ada kantin di sekitar situ untuk makan siang. Di Petit Paris hanya ada minuman dan rerotian. Namun, aku sudah bilang ke Angie kalau aku ingin makan siang di Ledok Sambi, so kami ga mampir untuk makan di situ.
Meninggalkan Obelix Village, kami langsung menuju Ledok Sambi. Jarak tempuhnya sekitar 19 kilometer. Kok lumayan jauh juga ya. Meski lumayan jauh, untunglah, cukup mudah bagi kami untuk menemukan lokasi Ledok Sambi dengan bantuan google map. Setelah memarkir motor di tempat parkir, kami berjalan menuruni tangga. Saat menuruni tangga ini, aku ingat tangga turun menuju Curug Gendhing Asmara :) mirip-mirip seperti itu lah. Cuma, yang bakal kita 'temui' di bawah sana berbeda.
Ledok Sambi adalah sort of destinasi wisata yang sebenarnya merupakan tempat makan yang terletak di sisi sungai yang lumayan panjang. Karena terletak di sekitar Jalan Kaliurang km. 19 bisa dibayangkan air sungai ini dingin. Sungai ini memanjang, dan oleh pengelola, di pinggiran sungai disediakan meja kursi atau tikar-tikar yang bisa dipakai oleh pengunjung untuk duduk-duduk menikmati pemandangan sungai yang berair jernih, sementara anak-anak atau sanak saudara bermain air.
Aku dan Angie sama-sama tidak tertarik untuk nyebur sungai. Aku mengajak Angie ke sini karena penasaran lokasinya nampak menarik saat kulihat di IG, dan makan di pinggir sungai dengan 'hiburan' suara gemericik air dari sungai yang jernih airnya lumayan menarik. Kami hanya makan, duduk-duduk sambil membaca buku, dan menyempatkan berjalan kaki memutari area itu.
Sekitar pukul 15.00 aku mengajak Angie meninggalkan Ledok Sambi. Masih ada satu destinasi lagi yang akan kami kunjungi: Blue Lagoon. Aku berkunjung ke sini tanpa sengaja pertama kali di bulan Desember 2020, saat aku dan Ranz bersepeda turun dari Tlogo Putri. Waktu itu, kami hanya main air dengan menyeburkan kaki secukupnya. Kali ini, aku sengaja membawa baju renang!
Sayangnya, on the way menuju Blue Lagoon, ban belakang Angie mendadak kena paku, dua biji pula pakunya! 'untungnya' tempat kami kebanan itu, tak jauh dari lokasi satu tambal ban, di satu perempatan, entah apa ya namanya, I don't understand. Pokoknya, aku manut google map saja, waktu perjalanan dari Ledok Sambi ke Blue Lagoon. Berhubung lobangnya dua, kena dua paku, si bapak tambal ban menyarankan untuk ganti ban dalam saja. Ya wis, manut. Harganya Rp. 60.000,00.
Kami sampai Blue Lagoon sekitar pukul 16.10. Angie heran ketika tahu bahwa di tempat parkir, hanya terlihat beberapa sepeda motor, dan suasana sepi sekali. Harga tiket Rp. 15.000,00 per orang. Dengan harga sekian, kami mendapatkan 1 botol air mineral 600 ml dan satu jenis cemilan, aku memilih klethikan sejenis peyek, duh apa ya namanya, lupa, lol.
Setelah berjalan sampai di area di mana orang biasa berenang di Blue Lagoon ini, akhirnya kami melihat ada beberapa orang yang sedang asyik berenang maupun main air. Karena menurut petunjuk yang ada Blue Lagoon tutup jam 17.00, awalnya aku pikir aku ga jadi nyemplung. Namun, begitu melihat Angie melepas sepatunya, dan mulai turun ke air setelah menggulung bagian bawah celana jeans-nya, aku jadi bersemangat untuk ganti baju renang dan nyemplung. Haha … better swim for a while than nothing lah.
Airnya lumayan dingin, dan bening! Meski aku tidak memakai kacamata berenang (gosh! Aku lupa memasukkan goggles ke dalam tas yang kubawa), mataku tidak terasa terlalu perih saat berenang.
Pukul 17.00 kami sudah siap ke luar dari Blue Lagoon. Yang penting aku sudah punya foto berenang di sini. Ha ha … tentu saja otw balik ke hotel, aku perlu mantengin google map, meski sebenarnya kupikir aku cukup mengandalkan intuisi menuju Jakal, lalu turun ke Jl. Damai, di Jakal km. 9. lalu belok ke arah Barat, lurus hingga sampai Jalan Palagan. Akan tetapi, aku ingat, semalam setelah makan bakmi jawa, saat kembali ke hotel, dari area jl. Damai, kami masih terus menuju Utara, lumayan jauh je, so, kupikir, ga perlu turun sampai ka Jakal km. 9 deh, saat ada jalan menuju arah Barat, aku meminta Angie belok situ, dan mengikuti jalan itu.
Dan … ternyata, kami nyaris tersesat! Lol. Saat sampai di jl. Palagan, yang ternyata tidak begitu kukenali, aku malah belok ke arah Utara, kalau diteruskan bakal sampai Pakem! Wkwkwkwk … kami tahu waktu kami berhenti untuk beli sate ayam buat makan malam Angie. Si bapak tukang sate yang memberi tahu kami harus kembali ke arah yang benar, wkwkwkwk …
Sebelum pukul tujuh malam kami sudah sampai penginapan. Saat mandi, kemudian istirahat.
To be continued.
No comments:
Post a Comment