Hari pertama libur sekolah karena kelas III SMA sedang sibuk berkutat dengan ujian sekolah kemarin, Angie dan teman-teman sekelasnya janjian nonton SPIDERMAN 3. Istilah yang mereka pakai adalah NOMAT = NONTON HEMAT. Kalau biasanya untuk menonton film di bioskop seseorang perlu merogoh koceknya uang sejumlah Rp. 20.000,00, untuk NOMAT, seseorang hanya perlu mengeluarkan uang Rp. 12.500,00.
Seperti biasa, Angie janjian dengan sobat yang dikenalnya sejak di bangku SD untuk berangkat bersama. Angie akan nyamperin Nana. Di sana menurut rencana gebetan Nana akan menjemput mereka berdua dan berangkat bersama ke bioskop yang terletak di pusat kota Semarang, Simpang Lima.
Namun sepulang aku dari fitness center, sekitar pukul 09.00 Angie komplain kepadaku tiba-tiba Nana membatalkan janji itu dan tidak jadi ikut nonton dengan teman-teman sekelasnya. Karena Nana tidak menjelaskan apa alasan tiba-tiba dia membatalkan janji lewat sms, Angie meneleponnya. Angie menjadi lebih kecewa ketika Nana hanya mengatakan, “Aku ga ikut. Titik.” Dan membanting pesawat teleponnya. Angie berusaha menelpon lagi, tapi telepon tidak ada yang mengangkat. Angie menelpon nomor mobile Nana yang berjumlah tiga biji, semua non aktif.
“Orang tua Nana ga ngijinin dia pergi nonton bareng teman-teman sekelas barangkali,” aku berusaha menentramkan Angie yang menjadi sewot. “Kan Angie bilang orang tuanya strict banget? Dia ga boleh pergi dengan teman laki-laki?”
“Lah, kan dia bakal pergi dengan Angie Ma? Meskipun memang di bioskop kita janjiannya nonton bareng teman-teman sekelas.”
“Mungkin menurut orang tuanya sama aja dengan dia pergi dengan teman laki-laki.” Jawabku.
“Kalau Angie pikir sih tentu hal ini berhubungan dengan gebetannya. Mungkin dia tidak jadi ikut?” tebak Angie.
“Kalau dia ga jadi ikut, kan ga papa? You will still have fun together with your classmates, right?” jawabku.
“Entahlah Ma. Angie masih kesel nih gara-gara Nana membanting telepon tadi.”
Kemudian aku menawari Angie untuk mengantarnya ke gedung bioskop tempat dia janjian dengan teman-teman sekelasnya. But Angie refused. Dia bilang seorang teman sekelas lain akan datang untuk menjemputnya.
-----
Hari Selasa 15 Mei 07 aku menginjakkan kaki di rumah pukul 09.15 sepulang dari kolam renang. I found Nana in the living room together with Angie doing their school assignment together. Her mother took her here.
At 12.15 her mother picked her up.
“See honey? Nana was not angry with you yesterday although she hang up the phone.” I said to Angie setelah Nana pulang. Dan dia tersenyum tersipu.
“So, what made her cancel the plan with you?” I asked her.
“Her parents did not let her go.” Jawab Angie.
“I think her parents had better come back to their ancestors’ native country, Arab. Di sana sampai saat ini masih banyak perempuan yang dipenjara di balik tembok rumah mereka yang megah.” Komentarku.
Dan Angie hanya meringis.
-----
Aku ingat nasibku sebagai anak perempuan pertama dari orang tuaku. Nana, sobat Angie semenjak SD itu anak kedua, namun anak perempuan pertama, sama denganku. Kebetulan kita berdua memiliki kakak laki-laki yang lebih homebody type ketimbang outgoing type. Kakak laki-laki Nana lebih pasif dalam hal mengikuti kegiatan ekstra kurikuler di sekolah, sama dengan kakakku.
Pingitan yang hampir sama dulu juga sering kualami. Aku lebih bebas mengikuti kegiatan ekstra kurikuler dibanding Nana. Di bangku SMP dengan memohon-mohon yang amat sangat, aku diperbolehkan ikut karate. Kadang latihan karate yang diadakan berbarengan dengan ranting/cabang lain sekotamadya Semarang boleh kuikuti. Tapi kalau latihan itu di luar kota, atau mungkin menginap satu malam di sekolah, atau di tempat lain, jangan bermimpi aku akan diperbolehkan ikut.
Di bangku SMA, karena ngikut seorang teman sekelas yang aktif di pramuka, aku diperbolehkan ikut kegiatan itu. Tapi untuk camping, jelas tidak boleh aku ikut. Kekangan tidak boleh ini tidak boleh itu yang membuatku mendaftar UGM diam-diam waktu ada tawaran Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK) untuk siswa kelas III SMA. Aku ingin lepas dari kontrol orang tua untuk menentukan apa yang ingin kulakukan.
Walau aku tidak menyukai konfrontasi terbuka, aku lebih rebellious dibandingkan Nana, sobat Angie itu. Berangkat dari pengalamanku sebagai remaja yang tidak boleh ini tidak boleh itu—yang berarti aku selalu dianggap masih terlalu muda/kecil untuk menentukan apa yang ingin kulakukan—aku memperlakukan Angie sebaliknya. Kita memiliki komunikasi yang terbuka dibandingkan dengan aku dan kedua orang tuaku.
“I wish my mom were as liberal as your mom,” sering Nana berkata seperti ini kepada Angie.
“I wish my mom had as much money as your mom,” mungkin Angie berkata begitu kepada Nana? LOL. LOL.
The grass is greener on the other side of the fence.
PT56 11.38 160507
No comments:
Post a Comment