Aku tidak tahu apa yang menggayuti pikiran Guru Wali Kelas Angie tatkala dia berbicara basa basi sejenak kepada orang tua murid yang akan mengambil raport, hasil belajar anak-anaknya selama satu semester. Kalimat pertama yang dia ucapkan adalah, “Maafkan saya Bapak-Bapak...” (mana dia ga nyebut Ibu-Ibu lagi. Grogi kali dia ya? LOL.)
Ada apakah gerangan sehingga belum apa-apa Guru Wali Kelas itu harus meminta maaf kepada orang tua murid?
Ternyata dia memberi alasan karena tidak semua siswa kelas X-9 itu naik kelas dan masuk jurusan IPA. Seperti pertemuan pihak sekolah dan orang tua siswa tanggal 21 Februari 2007 lalu, Guru Wali Kelas mengulang kembali apa yang dikatakan oleh Kepala Sekolah bahwasanya karena input yang kurang bagus tahun ini, dengan jumlah NEM yang sangat bervariasi, SMAN 3 Semarang terpaksa membuka jurusan BAHASA yang telah sekian lama tidak dibuka. Hal ini secara tidak langsung memberitahu kita bahwa jurusan BAHASA dianggap jurusan sampah.
Sebagai seorang alumni jurusan BAHASA SMA N 3 Semarang aku merasa tersinggung. Well, tidak melulu kepada cara berbicara Guru Wali Kelas itu, maupun apa yang dikemukakan oleh Kepala Sekolah bulan Februari lalu. Namun terutama kepada masyarakat kita yang tetap saja mengkotak-kotakkan pendidikan.
IPA è pintar
IPS è kurang pintar
BAHASA è bodoh
Padahal semua itu berhubungan dengan sistem motorik otak kanan dan otak kiri. Otak sebelah manakah yang bekerja dengan lebih giat yang akan menentukan apakah seseorang lebih berbakat untuk mempelajari segala sesuatu yang berhubungan dengan IPA, IPS, maupun BAHASA.
Aku datang untuk mengambil raport Angie dan merasa siap dengan segala hasil yang akan aku terima. Aku memang termasuk orang tua yang sangat demokratis, menyerahkan segala pilihan kepada anak. Angie sendiri yang ingin masuk ke IPA dengan alasan yang dia sendiri yang tahu pasti. Jikalau hasil test Angie (yang kebanyakan hafalan doang, maklum sistem pendidikan di Indonesia kan memang begitu?) dianggap tidak memadai masuk IPA, karena mungkin sistem motorik otak kanannya lebih aktif, aku yang akan menghiburnya untuk menerimanya dengan lapang dada. So, tidak perlu seorang Guru Wali Kelas meminta maaf kepada orang tua murid.
Tapi aku paham bahwa tidak semua orang tua murid memiliki jalan berpikir sehat sepertiku. LOL. So, aku anggap saja permintaan maaf Guru Wali Kelas itu ditujukan kepada orang tua murid yang belum sadar bahwa anaknya bukan miliknya seutuhnya, sehingga dia tidak terlalu berhak untuk mencampuri segala macam urusan sang anak. LOL. LOL.
Dan, memang, selama menunggu giliranku menghadap Guru Wali Kelas, aku mendapati (overheard, maklum tempat dudukku cukup dekat dari meja guru) beberapa orang tua murid yang masih saja ingin mencoba merayu agar anaknya bisa pindah ke jurusan IPA.
Menyedihkan.
PT56 11.30 220607
1 comment:
hmmm.... sopo kuwi gurune mbak?jhan, kurang ajar temenan kuwi.. digrudhug kemawon kapurih nedhi badhak sambel sewakul ben kapok :D
Post a Comment