Friday, December 26, 2008

Eating out




Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menikmati liburan bersama yang tersayang. Windowshopping dan eating out misalnya.
Sudah bertahun-tahun kita berdua--Angie dan aku--tak menginjakkan kaki di food court CL Simpanglima Semarang. Kalaupun sempat ke CL, kita makan di tempat lain, e.g fastfood restaurant yang menunjukkan kita berdua masih terjajah secara kultural oleh negara pengimpor restauran tersebut.
Nah, sebelum masuk food court yang terletak di lantai 2, aku berbisik ke Angie, "Will that woman offering ice cream be here?"
Angie mengangguk-angguk geli.
Baru saja kita berdua duduk di kursi yang kita pilih, datanglah perempuan yang kita maksud.
"Mau pesan esnya mbak?" sambil menyodorkan menu.
Berhubung kita berdua sedang menjaga kesehatan tenggorokan, aku langsung menolaknya.
"Maaf mbak. Kita sedang tidak minum dingin, maunya minum yang hangat."
Surprisingly, orang itu langsung pergi dengan takzim, tanpa ngeyel.
Dulu, beberapa tahun yang lalu, dia selalu ngeyel dan merengek-rengek kalau kita tidak pesan.
"Aha, in fact she is still here! But she looks slimmer and tidier now. Not to mention more well-behaved." kataku pada Angie.
To make our stomach full, we ordered rice and its friends, shrimp fried rice 4 Angie, hainan chicken rice 4 me.
During our meal, Angie told me the place she is going to do her social care, a drop in center special 4 people who suffer from mental disorder.
"interesting topic 4 my blog, honey! Can I join u?" I asked.
I know the answer is NO. :-(
From eating late brunch, we browsed stores, floors, etc.
Before going home, 2 hours later, I was already hungry again! LOL.

PT 56 15.35 261208

Windowshopping

Dari satu toko ke toko yang lain
Dari satu section ke section yang lain
Dari satu lantai ke lantai yang lain
Dari satu department store ke department store yang lain
...
"bentar lagi kaki Angie gempor nih Ma!"

Lah, yang ngajakin siape Neng?
LOL

CL 15.05 261208

Monday, December 15, 2008

The continuation

Setelah keluar dari ruang Wakasek, aku bercerita kepada Angie apa yang terjadi. Dengan tenang, Angie bilang, “Memang orangnya reseh gitu kok Ma.”

“Mama sebenarnya pengen ‘menjewernya’ dengan mengatakan, “Saya sebagai orang tua Dzikrina saja ga pernah membaca sms-sms di hapenya tanpa sepengetahuan dia. Apalagi sms baru masuk, itu jelas hak privasi dia untuk membaca terlebih dahulu, dan kemudian memutuskan apakah saya boleh membacanya atau tidak.” Kataku pada Angie.
Angie langsung meringis lebar.

“You should have done that, Mama!” katanya.

Well, aku punya alasan tertentu mengapa aku tidak melakukannya.
Pertama, agar dia merasa ‘senang’ karena aku membuatnya merasa berhak untuk ‘menjajah’ hak-hak privasi orang lain—dalam hal ini siswanya.
Kedua, agar dia merasa ‘senang’ karena aku menganggapnya ‘tahu permasalahan’ pribadiku lebih jauh, dan aku menganggapnya ‘berhak’ untuk itu.
Ketiga, agar dia merasa ‘senang’ karena aku menganggapnya sebagai seseorang yang ‘mature’ dan ‘wise’ saat aku membiarkannya memberiku petuah ini itu, tanpa tahu permasalahan yang sebenarnya.
Keempat, ini yang paling penting, agar dia melupakan kasus Angie, agar dia tidak selalu mengingatku sebagai ortu yang ‘ngeyelan’ diberitahu seorang Wakasek. LOL. I don’t mind anyway. 
Nana memang seorang ngeyelan (ask my Abang for this LOL), wise-guy juga (LOL, ngaku!!!) plus annoying intellectual snob, yang sebenarnya ga intellectual-intellectual amat. LOL.
PT56 23.17 141208

Two sides ...

Segala sesuatu memiliki dua mata pisau: positif dan negatif, tergantung dari perspektif mana kita memandangnya. Demikian juga teknologi. Teknologi telpon selular misalnya. Di satu sisi sangat membantu seseorang yang dalam kegiatannya sehari-hari sangat ‘mobile’ sementara dia harus tetap mudah dijangkau dan menjangkau. Ini dari sisi positif. Dari segi negatif, misalnya saja, kemungkinan terkena radiasi yang cukup tinggi dari telpon seluar, seseorang memiliki kecenderungan untuk terkena penyakit ini itu, misalnya saja tumor otak, kurang suburnya sperma, dll.
Bagi para pelajar, terutama di musim ujian, teknologi komunikasi via telpon selular, baik melalui sms, maupun feature yang lain (misal, MXIT), sangat ‘membantu’ mereka untuk saling meminta dan memberi contekan. ‘Membantu’ jika dilihat dari perspektif mereka, karena meringankan beban harus belajar keras; ‘merusak’ mungkin dari perspektif guru yang mengharapkan para siswanya belajar dengan baik, dan tidak menggunakan ‘metode’ contek mencontek.
Hal ini pun dilakukan oleh seorang Angie. :-D Apakah sebagai nyokapnya aku tahu? Aku tahu banget! Seperti aku juga tahu bahwa meskipun dia tidak meninggalkan ‘budaya’ saling membantu dan meminta bantuan dalam ujian, dia tetap saja belajar dengan giat di musim-musim ujian, seperti minggu lalu. Mengapa aku diam saja? Bukan karena aku berpikir ‘Angie membantuku’ tatkala mencontek temannya atau memberikan contekan (agar memperoleh nilai bagus, sehingga ini berarti Angie membantuku kan?), namun lebih cenderung karena aku sudah cukup menghargai usaha dia untuk belajar dengan giat. Kalau ternyata yang dia pelajari tidak keluar pada soal-soal ujian, ya boleh sajalah dia mencontek temannya.
Aku ada alasan lain untuk hal ini. Sebagai seorang guru, aku lebih suka tatkala siswa-siswiku memahami suatu permasalahan dengan benar, suatu teori dengan benar, menganalisis suatu peristiwa dengan benar, dll, daripada hanya sekedar menghafalkan untuk ujian, setelah itu lupa. ‘Kultur’ pendidikan di Indonesia, hafalan jauh lebih terkenal daripada memahami suatu permasalahan, mengerti teori, maupun memahami mengapa suatu peristiwa terjadi pada satu waktu tertentu. Nampak kemungkinan para pendidik tidak mementingkan apakah anak didiknya memahami topik yang didiskusikan, yang penting mereka hafal. Ataukah mereka tidak mengerti beda hafalan dan pemahaman?
Apa resiko tatkala seorang siswa/mahasiswa lulus hanya karena hafalan saja? Ketika dia memasuki dunia kerja, dia tidak akan memahami kasus/topik atau apapun itu yang dia hadapi, karena dia hanya hafal, namun tidak paham. Ketika diberi permasalahan yang sama, namun dengan kasus lain, dia akan mudah grogi dan tidak mampu memecahkannya dengan baik.
Aku selalu menekankan pada Angie, juga para siswa/siswiku, bahwa pemahaman jauh lebih penting daripada hanya sekedar menghafalkan. Pemahaman membutuhkan waktu dan proses yang lebih panjang. Ini sebab banyak siswa/mahasiswa lebih memilih jalan pintas—menghafalkan. Hal ini juga yang nampaknya lebih dituntut dari para guru/dosen. Atau mereka berpikir bahwa jika seorang siswa/mahasiswa hafal, hal ini siswa/mahasiswa tersebut paham?
***
Beberapa hari lalu Angie sms, “Ma ... hapenya Angie disita!”
Aku langsung menelponnya—via nomor telpon temannya. “How did it happen honey?”
Bahwasanya dia tidak hati-hati tatkala menggunakan hape ketika ujian, (ketika mencontek atau pun memberi contekan tentu saja), LOL, adalah alasan utamanya.
Dua hari kemudian, aku ke sekolah Angie—yang juga almamaterku—untuk bertemu Wakasek, untuk mengambil hapenya. Tidak banyak basa basi, hanya Angie harus menandatangani sebuah surat pernyataan bahwa dia tidak akan melakukannya lagi. Aku harus ikut menandatangani surat pernyataan itu.
Setelah selesai, Angie diminta keluar ruangan, karena pak Wakasek akan berbicara khusus denganku.
Aku pikir ada sesuatu yang penting yang akan diperbincangkan denganku selaku ortu Angie; atau mungkin sekedar ‘judgmental’ character of a teacher, bahwa sebagai ortu, aku ga merhatiin anak yang contek-contekan. Dan dia akan memintaku untuk lebih memperhatikan Angie. (Biasa, ini hasil dari cara berpikirku yang terlalu cepat, LOL, atau aku ternyata memiliki sifat defensif yah? LOL.)
Ternyata ... oh ternyata ...
The vice principal talked something else.
He said he accidentally (though I don’t believe that he did it accidentally) read a new message from Angie’s dad, and fussily and nosily asked me, “Have you been separated from him?”
G-U-B-R-A-K!!!
Well ... teknologi pun telah ‘membantu’ orang asing tahu hal-hal yang dia tak perlu tahu!!!
PT56 141208

Saturday, November 29, 2008

Warna-warni

 


Ingin kau rajutkan
indah warna-warni benang
dibalut dongeng-dongeng rupawan
sebagai penawar warna hitam dan pucat
yang senantiasa kulukiskan
dalam hidup kita berdua

Maafkan aku kekasih
bila kau bosan


SPB 13.15 271108

Selfishly loving ...

 


dalam lelapmu
kupandangi engkau dengan haru nan membiru
betapa senantiasa ingin ku memelukmu
bersenandung sejuta rindu
mendendangkan sejuta puisi cinta
agar tak lagi kau impikan
kehidupan dengan manusia yang lain


SPB 13.33 271108

Bersamamu


 

Bersamamu
Hari-hariku lebih berwarna
Kau buat langit tak hanya berhiaskan
Warna biru cerah
Namun penuh bianglala
Dari ufuk lazuardi yang satu
Ke kaki langit yang lain

Bersamamu
Kuresapi makna sebagai seorang perempuan
Bermain dalam buih kehidupan
menikmati cinta yang tercurah
Menghayati lelah yang menyapa
Kala malam tiba
Sembari menikmati wajahmu nan damai

Bersamamu
Terkadang aku tergores tanya nan pedih
Terluka kah engkau atas kekeraskepalaanku
Karena keangkuhanku
Bahwa aku tak seperti perempuan lain?

(dan kutawarkan warna hitam dan kelabu
dalam hidupmu yang masih belia)

SPB 14.15 191108

Modern Cinderella Complex

 


"I am a princess ..
just like Mia Thermopolis..
right, Mama?"
asked my baby one day
after she read "Princess Diaries" 1

I sighed ...

"And a Michael will come to me
an ordinary boy who then turns to be a prince
who has loved me since I was a little
and will always love me forever.."
she continued pleading
her face beamed with light

I sighed ...

"Just undergo your life, darling
with all its sweetness as well as bitterness
enjoy all of it with laughter, smile
even with tears if you have to
coz I will always be there for you"
I told her lovingly

She sighed ...

SPB 13.35 2111108

Saturday, September 27, 2008

Mencuci

Aku adalah tipe orang yang percaya bahwa seseorang akan mampu melakukan apa pun tatkala terpaksa.  Misal: zaman kecil dulu, orang tuaku lumayan ‘berada’ sehingga kita anak-anaknya tidak terlalu perlu repot-repot melakukan pekerjaan rumah tangga karena di rumah ada seorang PRT (yang dulu merupakan singkatan Pembantu Rumah Tangga, namun sekarang diubah menjadi PEKERJA Rumah Tangga). Kalau pun sejak kecil aku mendapatkan tugas menyapu rumah, ortu hanya bermaksud untuk membiasakan anak-anaknya bekerja di rumah.
Setelah lulus SMA dan hijrah ke Jogja (keinginanku yang kuat untuk memisahkan diri dari ortu membuatku melakukan suatu a kind of ‘trick’ sehingga ortu tidak memiliki celah untuk mengatakan “Jangan” kepadaku. Tricky of me. LOL) jelas aku harus melakukan segalanya sendiri, mulai dari bersih-bersih kamar, mencuci pakaian, menyeterika, sekaligus memasak. Dan? Tanpa perlu susah payah—dan aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang sangat sulit untuk dipelajari—aku pun mampu melakukan ‘pekerjaan rumah tangga’ tersebut. (Well, aku membandingkan dengan seorang teman kos yang rada ‘manja’, sehingga mencuci menjadi suatu ‘beban’ yang maha dahsyat. Lupakan laundry, di pertengahan tahun delapan puluhan itu, bisnis laundry belum ditemukan di tengah-tengah kos. Satu kali dia melakukan satu hal yang lumayan ‘fatal’ bagi rekan-rekan satu kos gara-gara dia malas mencuci baju, meskipun dia telah merendamnya berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga akhirnya menyebabkan bau yang tidak sedap. Alhasil, dia tidak jadi mencuci baju yang telah dia rendam tersebut, tapi membuangnya ke tempat sampah. Dan dengan entengnya dia ngeles, “Aku ga pernah mencuci pakaian sih di rumah! Jadi terasa berat banget tugas mencuci baju ini!” Lah, aku juga ga pernah sewaktu tinggal di Semarang, karena ada PRT yang selalu mencuci pakaian kita sekeluarga! Namun toh tatkala aku harus mencuci, aku pun melakukannya.
Aku pun berpikir bahwa Angie pun akan ‘menuruni’ cara berpikirku yang seperti ini.
Berhubung aku TIDAK PERNAH harus mencuci pakaian sendiri sampai aku lulus SMA (barangkali kalau aku tidak hijrah ke Jogja, aku juga belum akan mencuci pakaian sendiri sampai sekitar pertengahan tahun 1989 tatkala PRT di rumah ‘dipensiunkan’ karena bokap pun pensiun dari pekerjaannya), aku pun tidak pernah memberi tugas Angie mencuci pakaiannya sendiri.
Sampai tahun 2002 yang lalu …
Waktu itu aku balik ngekos lagi di Jogja untuk melanjutkan studi. Satu kali Angie berkunjung ke Jogja dan menginap beberapa hari di kos. Satu pagi karena buru-buru ke kampus, aku tidak selesai mencuci pakaian. Berpikir untuk ‘mengajari’ Angie melakukan satu pekerjaan rumah tangga, aku memintanya untuk menjemur pakaian yang kucuci pagi itu. Shockingly, Angie menolak!!! Dengan alasan, “Angie ga bisa Ma!!!”
Aku shocked.
Masak menjemur pakaian aja ga bisa? Paling-paling Cuma manja aja dia!
Namun karena aku akan terlambat untuk ke kampus kalau aku harus menjemur pakaian yang baru saja kucuci, aku pun menggunakan ‘authority’ sebagai nyokap untuk MEMAKSA Angie untuk melakukannya. Begitu mendengar aku berkata dengan nada ‘I-am-your-mother-so-you-have-to-listen-to-me’, akhirnya Angie pun tak berkutik. LOL.
Dari peristiwa ini aku belajar satu hal, “Aku harus membiasakan Angie belajar melakukan pekerjaan rumah tangga agar dia tidak tumbuh menjadi pribadi yang manja.”
Sejak pertengahan Agustus 2008 lalu, I got a new job dan aku harus ngantor sejak pukul 07.00 sampai 15.00. Setelah itu aku masih ngajar lagi pukul 17.00-19.00. Sama sekali aku tidak punya waktu luang untuk mencuci pakaian, kecuali hari Minggu. Kebiasaan Angie untuk selalu memakai seragam yang bersih tiap hari ‘terancam’. LOL. (NOTE: dia hanya punya dua stel seragam sekolah, sehingga untuk memakai seragam bersih tiap hari, aku harus mencuci seragamnya tiap hari pula, satu dipakai ke sekolah, yang satu lagi dicuci.) So? Dengan senang hati (hehehehe…) aku pun memberinya tugas, “Cuci seragam sekolah sendiri ya Sayang setiap kali pulang sekolah? Nanti Mama yang nyetrika. Deal?”
Dan Angie pun tak punya daya untuk menolaknya. LOL.
PT56 20.00 260908

Wednesday, September 10, 2008

Memilih Jurusan

Memilih fakultas maupun jurusan apa yang akan diambil setelah lulus SMA tentu bukan masalah yang mudah. Itu sebabnya semenjak Angie duduk di bangku SMP, aku memintanya untuk menimbang-nimbang jurusan apa yang akan dia ambil selepas SMA nanti, berdasarkan kesukaannya. PSIKOLOGI adalah jurusan pilihan Angie sendiri, mengingat kebiasaannya untuk meminjamkan telinganya untuk menjadi ‘tempat sampah’ alias curhatan teman-teman dekatnya. Kadang-kadang Angie akan berbagi denganku, untuk kemudian mencari solusi bersama, yang nantinya akan dia sampaikan ke teman-temannya.
Itu sebab waktu duduk di bangku SMA kelas 1, aku menyemangatinya untuk bisa masuk ke jurusan IPA di kelas 2 nantinya, karena untuk masuk fakultas PSIKOLOGI di UNDIP, seseorang katanya harus lulus dari IPA. Konon UGM membolehkan seorang lulusan IPS untuk mengambil jurusan PSIKOLOGI. Namun berhubung aku tidak yakin apakah aku akan mampu membiayai kuliahnya di luar kota (harus menyediakan uang ekstra untuk kos, belanja keperluan sehari-hari plus makan, belum lagi transportasi), aku meminta pengertian Angie untuk mengubur mimpinya mengikuti jejak langkahku untuk kuliah di UGM.
Mulai masuk kelas 3 pertengahan bulan Juli lalu, aku mulai membuka wacana baru buat Angie, mempersiapkannya memilih jurusan lain, selain PSIKOLOGI. Rencana, dia akan kuminta (dan Angie pun setuju, karena begitu juga saran guru wali kelasnya) mengambil IPC. Berarti Angie perlu memilih dua jurusan alternatif.
“Give me some suggestions, Mama.” Katanya.
Kedokteran is out of question karena terlalu mahal bagiku, plus dia jijik melihat darah, dan takut melihat cadaver, apalagi harus terlibat dengan makhluk tanpa nyawa itu terus setiap hari. Kalaupun masuk fakultas Teknik, aku sarankan dia untuk masuk Teknik Industri. Sedangkan untuk jurusan IPS, aku beri dia alternatif fakultas Hukum, Komunikasi atau Sastra Inggris. Untuk fakultas Ekonomi, dia tidak menikmati Akuntansi.
Surprisingly, dia memilih jurusan yang dulu aku tolak mentah-mentah tatkala my late Dad menyarankanku è HUKUM. Dia pengen jadi notaris katanya.
She really wants to be different from me. English Department is really not in her ‘dictionary’.
Beberapa minggu kemudian, dia bercerita tentang salah seorang sobatnya yang masih bingung memilih jurusan apa nantinya.
“Kirain dia mau masuk Kedokteran Gigi. Biar jadi Dokter Gigi, kayak Mamanya.” Kataku.
“Dia bilang itu pilihan Mamanya. Namun ternyata itu bukan pilihan hatinya. Dan Mamanya tidak memberinya gambaran jurusan-jurusan lain.” Kata Angie.
Dan masalah ini pun tidak hanya menimpa sobat Angie tersebut. Banyak teman dekat Angie lain yang belum tahu kemana akan melangkah.
“Kamu pertimbangkan dulu, kira-kira kamu punya bakat dimana,” saran Angie kepada teman-temannya; saran yang sama yang dulu kukatakan kepadanya waktu akhirnya dia memutuskan untuk memilih PSIKOLOGI.
“Perasaan aku ga punya bakat apa-apa tuh?” komplain mereka.
“Lah, pelajaran apa yang kamu sukai?” tanya Angie.
“Ga ada juga.” Jawab mereka. LOL.
Repot deh.
Pengalamanku waktu bekerja di sebuah Bimbingan Belajar satu dekade yang lalu, para tentor memang membantu anak didik untuk memilih jurusan apa yang akan dipilih sewaktu test masuk perguruan tinggi negeri, berdasarkan kesukaan, plus hasil nilai tes yang diadakan secara periodik di lembaga tersebut. Namun, demi gengsi lembaga—bahwa lembaga tersebut mampu ‘menembuskan’ anak didiknya untuk diterima di perguruan tinggi negeri dalam jumlah yang mendekati 100%--biasanya para tentor memberikan saran yang agak bias, mereka pilihkan PTN yang terletak di kota kecil, atau bahkan di luar Jawa, atau fakultas yang memiliki ranking rendah, yang penting si anak didik diterima di PTN, terlepas dari apakah pilihan itu memenuhi minat, bakat, plus kesukaan si anak. Hasilnya? Bisa jadi seseorang tidak akan bisa menikmati kuliahnya, dan menyebabkan proses studi tersendat.
PT56 12.30 070908

Tuesday, August 26, 2008

PENSAGA

Malam ini, Sabtu 23 Agust. 08 ada acara yang lumayan penting di sekolah Angie, PENTAS SENI SMA N 3 SEMARANG, atau yang lebih dikenal dengan PENSAGA. Untuk tahun ini ada dua band yang cukup terkenal yang diundang, yakni SHEILA ON SEVEN, dan THE CHANGCUTERS (tulisannya bener ga? ) Kupikir acara ini sebegitu pentingnya seperti acara pesta prom yang pertama kali kukenal (dan juga dikenal Angie) lewat buku PRINCESS DIARIES sehingga merupakan kewajiban bagi semua siswa untuk datang. Berhubung sekolah-sekolah lain pun menyelenggarakan acara yang sama—di lain waktu tentu saja—maka keberhasilan—dibuktikan dengan lakunya tiket—acara ini pun menjadi kebanggaan sekolah masing-masing.
Khusus untuk tahun ini, cerita Angie, SMA N 3 Semarang disaingi oleh “musuh bebuyutannya” SMA N 1 Semarang yang dengan sengaja menyelenggarakan PENSMANSA—or whatever you call it, I don’t really pay attention to it—pada hari yang sama. Semula SMANSA berencana untuk mengundang ANDRA & THE BACKBONE yang sedang naik daun untuk menarik perhatian anak-anak remaja sekota Semarang, agar mereka lebih memilih untuk hadir ke SMANSA daripada ke SMAGA. Rencana ini gagal karena konon ANDRA & THE BACKBONE sedang berada di Australia sehingga menolak undangan ke Semarang. Sebagai gantinya, SMANSA mengundang KOTAK yang merupakan band INDI, yang diharapkan akan mampu menarik minat para remaja yang suka ber-band ria, dan memimpikan memiliki rekaman suatu saat nanti dengan cara ber-INDI ria.
Bisa ditebak siapakah pemenang di atas kerta persaingan antara dua Sekolah Menengah yang semenjak dua dekade lalu (atau mungkin lebih lama dari ini) berusaha menunjukkan mana yang lebih baik. Semua tiket masuk PENSAGA tahun ini telah laku terjual H-A-B-I-S.
Aku tidak tahu sejak kapankah “tradisi” mengadakan PENTAS SENI dengan mengundang band-band papan atas—yang bagiku lebih cenderung menghambur-hamburkan uang daripada untuk menimba suatu pengalaman berharga—dimulai di Semarang. (Aku tidak akan pernah tahu jika aku tak memiliki anak remaja tentu!)
Dua dekade yang lalu tradisi yang ada adalah menyelenggarakan pesta sederhana yang biasanya dilaksanakan untuk merayakan HUT SMA N 3 Semarang yang jatuh pada tanggal 1 November. (SMAN 3 Semarang diresmikan oleh pemerintah kolonial Belanda pada tanggal 1 November 1877). Pesta ini hanya menampilkan kesenian masing-masing kelas, mulai dari seni tari, membaca puisi, paduan suara, band sederhana, dll. Dan biasanya pesta ini menarik perhatian para alumni yang tanpa ada undangan resmi langsung datang untuk reuni dengan guru-guru.
Dan aku sangat sedih mengetahui tak ada lagi “pesta” khusus untuk merayakan HUT SMA N 3 Semarang, dimana para alumni berdatangan untuk bereuni. Aku tidak yakin apakah para alumni lain akan tertarik untuk menghadiri PENSAGA seperti yang telah dikenal Angie semenjak dua tahun lalu. PENSAGA ini terlalu hingar bingar, banyak anak remaja dari sekolah-sekolah lain berdatangan untuk sekedar hanging out.
Aku lebih sedih lagi tatkala Angie tidak mengizinkanku datang bersamanya.  “You are old enough to hang out with my friends and me, Mom! Don’t make me feel like you are babysitting me!” katanya dua tahun lalu.
Here I am, at home, scribbling something, accompanied by some beautiful melodies I got from one loved one of mine, plus a cup of coffee. And Angie is there, at her school.
PT56 21.05 230808

Tuesday, August 05, 2008

Podungge Girls

Angie and me, 2019

 

Have you ever heard television serials entitled GILMORE GIRLS? 

Around a year ago a workmate of mine promoted this serials to me. “You’ve got to watch it, Ma’am, and I guarantee you will love it a lot!!!” 

I am not a television freak. I even ignore television a lot in my daily life so please understand me if I had never heard this serials before that workmate of mine told me about it. 

“How do you know that I will love it?” I inquired. 

“Because the story is about a single mother and her daughter. This is so you and Angie, isn’t it?” she explained. Wah … 

***** 

I bet my workmate was not a good campaigner so I didn’t really feel curious. LOL. Or, I belong to the type of person who is not easily ‘tempted’ by something. LOL. Therefore, I didn’t directly look for this serials in the VCD rental. Even when I saw it on sale at one big bookstore in Semarang, I had no idea to buy it. 

Until one day, several months ago, I found out a workmate—who belongs to a newbie in my workplace—had the complete collection of the first session. Nevertheless, I didn’t directly ask her to lend me. I am really a slow person in this kind of thing. LOL. 

Several days ago, another workmate borrowed the collection. When another workmate asked, “What is it about?” the workmate who promoted this serials to me for the first time answered, “This is about Ms. Nana and Angie.” 

W-O-W. 

***** 

Gilmore Girls

 

Today, July 31, 2008, I have watched episodes 1, 2, and 3 from season 1. Well … one thing in common between the two Lorelai Gilmore girls with Angie and me is of course absolutely the intimate relationship, we don’t look like a mother and a daughter. We are more to a girl friend with another girl friend. The rest? 

Absolutely those Gilmore girls are different from Podungge girls. (FYI, according to CEDAW, women are free to choose any family name. Therefore, even though Angie’s dad doesn’t have PODUNGGE behind his name, Angie is free to adopt this family name behind her name. Well, I assume Angie doesn’t mind it. If in fact she minds it, well, it is never late for me to release it from her name. LOL.)

What are the differences between Gilmore Girls (GG) and Podungge Girls (PG)? 

First, Lorelai got pregnant when she was 16 years old. I got pregnant when I was twenty-three years old and delivered Angie to this world when I was twenty-four years. This made our age gap bigger. Even though many people get surprised to know that I already have a teenage daughter for the first time, I assume I look old quickly after I reached the middle-aged period. LOL. (FYI, a big fan of mine said I looked 10 years younger when I was not wearing makeup and I was wearing a bright color T-shirt plus jeans; not my black work suit. LOL.) 

Second, Rory tried hard to have a good relationship with her grandparents while Angie didn’t seem successful in it. When watching episode 3 where Rory seemed to enjoy playing golf with her grandpa, I was wondering if Angie would be that nice to bother herself for having a good relationship with her grandpa, if only my dad were still alive. I am like Lorelai who didn’t want her parents to interfere her way to raise Rory. 

However, Lorelai didn’t find it difficult to have a poignant debate with her mother, especially. On the other hand, I cannot do that to my mother, at least until now. 

Oftentimes when my mother tells Angie to do this and that—especially when I am not at home—Angie often doesn’t give it a damn. She pretends not to hear what her granny says. LOL. When she tells me what her granny says that unfortunately is against to what she likes, I usually say, “That’s your granny, honey. She doesn’t change a bit. She used to say such things too to me when I was a teenager. Just be patient.” Only the difference was, I kept listening to what my Mom said, standing close to where she was blubbering, Angie left her granny, entered the bedroom, then banged the door. LOL. 

Third, Lorelai and Rory lived in a separate dwelling place from Rory’s grandparents. Angie and I live together with my Mom. Well, one most important reason was Angie refused to live in our ex small dwelling place, only both of us, because she didn’t want to be at home all alone when I was at the office. My working hours—mostly from 3pm till 7pm or sometimes 9pm—are very much different from the usual working hours for everybody else—from 8am till 4pm. Even though Angie doesn’t really have a good communication with her granny, she still chooses to live in our dwelling place now, together with her granny, rather than she is home alone while I am still at the office. Fourth, I love drinking coffee. But I don’t think I am as addicted to it as Lorelai did. I never drink coffee more than three cups a day. Three cups are the maximum number; and I hardly reach that number. Mostly I can control myself by only having one cup a day. 

Anything else? 

Well, perhaps I can make the list longer after I watch more episodes of GG. 

:) 

PT 23.45 310708

Tuesday, July 15, 2008

Tahun Ajaran 2008/2009


Hari Sabtu 12 Juli 2008 Angie seharusnya berangkat ke sekolah untuk mengembalikan raport. Selain itu, para siswa juga sekaligus melihat pengumuman mereka masuk ke kelas yang mana. Bagi banyak anak, juga Angie, ternyata hal ini bisa jadi merupakan saat-saat yang mendebarkan hati karena merasa excited siapa saja yang akan menjadi teman sekelas mereka di tahun ajaran baru.
Waktu pertama kali masuk sekolah di SMA N 3 Semarang, Angie sangat senang tatkala tahu bahwa dia satu kelas dengan Nana, sobatnya sejak duduk di bangku sekolah dasar. Angie dan Nana pun pernah satu kelas waktu duduk di kelas 2 SMP N 1 Semarang. Naik kelas 2 pada tahun ajaran 2007/2008, Angie masuk kelas XI IA 1, satu kelas dengan Mita, yang telah dia kenal sejak tahun 2004, tatkala mereka berdua belajar Bahasa Inggris di English Course tempat aku bekerja.
Di tahun ajaran 2008/2009, akankah Angie ‘seberuntung’ seperti dia duduk di kelas X dan XI karena ‘menemukan’ seseorang yang dia kenal cukup baik tatkala memulai tahun ajaran baru, agar merasa ‘secure’ sebelum akhirnya dia menjalin persahabatan dengan teman-teman sekelas yang lain?
Beberapa hari sebelum tanggal 12 Juli, my Mom berpesan pada Angie agar tinggal di rumah pada hari Sabtu itu karena semua orang harus pergi, padahal di rumah masih ada tukang yang membetulkan ini itu. Aku dan kedua adikku masuk kerja di pagi hari Sabtu, dan kebetulan my Mom ada arisan dengan teman-teman pensiunan Bank Bapindo (my late dad’s workplace). Terpaksa Angie tidak berangkat ke sekolah. Seorang teman sekelasnya di kelas XI IA 1 berbaik hati datang ke rumah untuk membawakan raport Angie ke sekolah, plus membayarkan uang BP3 yang ternyata harus sudah dibayar sebelum memasuki tahun ajaran baru 2008/2009.
Sabtu malam, sepulang aku dari kantor, aku disambut Angie dengan wajah cemberutnya.
“Masak ga ada teman-teman “es conelo” yang sekelas dengan Angie nanti di kelas XII!!!” keluh Angie.
(FYI, anak-anak kelas XI IA 1 SMA N 3 Semarang tahun ajaran 2007/2008 mempunyai ‘nickname’ untuk kelas kesayangan mereka, yakni ‘es conelo’. Unfortunately, aku lupa ‘es conelo’ itu singkatan apa.)
Aku tidak menanggapi keluhan Angie ini dengan serius. Aku hanya bilang, “You will meet new friends honey. Who knows you will get some kind, good, and nice new best friends you never get in touch before?”
“Angie sekelas dengan SB!” katanya lagi.
SB adalah nama cewe yang kebetulan naksir berat gebetan Angie. Bahkan konon mereka pernah ‘jadian’, walaupun usia ‘jadian’ mereka hanya dalam hitungan minggu. Aku berpikir mungkin Angie akan ill feel pada SB sehingga ga mungkin Angie mau duduk sebangku dengannya.
“Tapi ada seorang teman sekelas SB waktu kelas XI yang sekelas dengan dia, jadi mereka berdua akan duduk sebangku,” lanjut Angie.
“Oh? Is it possible for you to sit at the same bench and desk with SB after what has happened lately?” tanyaku heran.
I couldn’t interpret what her facial expression meant when hearing me say so. Tapi kemudian Angie bilang, “Daripada duduk sebangku dengan seseorang yang sama sekali ga Angie kenal. Duduk dengan SB pun ga papalah...”
Aku kemudian bercerita bagaimana Angie kecil dulu begitu pede memasuki sebuah komunitas baru, tanpa perlu mengenal seseorang terlebih dahulu. Waktu masuk TK Nasima tahun 1995, dia terlihat begitu menikmati hari-hari awal dia masuk sekolah, tanpa terlihat attached kepadaku. Lulus TK, sebelum mulai tahun ajaran baru di SD, selama liburan dia kumasukkan ke sebuah kursus Bahasa Inggris khusus anak-anak yang terletak di kawasan perumahan Semarang Indah. Aku hanya mengantarnya sampai di depan gedung sebelum pukul 08.00, kemudian aku harus segera kabur ke tempat kerja, aku harus mengajar jam 08.00. Kursus Angie selesai pukul 09.30. Namun berhubung aku selesai mengajar pukul 10.00, aku selalu datang menjemputya setelah pukul 10.00. Angie tidak pernah terlihat bete karena dia menikmati kegiatan-kegiatan yang disediakan oleh Lembaga Pengembangan Anak itu bagi anak-anak yang belum dijemput oleh orang tuanya.
Waktu masuk SD (aku sengaja tidak memasukkannya ke SD Nasima yang waktu itu masih brand new, belum ketahuan mutu yang dimiliki, sementara uang BP3 cukup mahal bagi kantongku waktu itu), Angie pun terlihat ‘baik-baik’ saja, kecuali sedikit keluhan karena SD N Siliwangi tidak memiliki gedung ‘seindah’ dan sebersih TK tempat Angie bersekolah.
“Where is that Angie, honey?” tanyaku ke Angie.
Angie hanya mengangkat bahunya. Wajahnya terlihat heran, seolah-olah bertanya, “Was little Angie that confident and secure in any new community? Why am I not like that anymore?”
Semalaman itu, sebelum tidur, Angie terus menerus mengeluh, “Angie ga mau masuk sekolah Ma! Gimana sih cara sekolah membagi siapa masuk kelas mana? Masak ga ada satu pun teman ‘es conelo’ yang satu kelas dengan Angie?”
Menjelang pukul 9pm, akhirnya aku berpikir mungkin teman Angie hanya nggodain Angie dengan mengatakan bahwa hanya dia seorang anggota ‘es conelo’ yang masuk kelas XII IA 10.
“I think you need to see the announcement by yourself, honey! Siapa tahu ‘Rampink’ sedang keluar isengnya untuk ‘ngerjain’ Angie.” Kataku.
“Ada berapa anak di kelas XI IA 1? Kalau ada 40 siswa, dibagi menjadi 10 kelas, bukankah seharusnya minimal ada 3 sampai 4 anak ‘es conelo’ di tiap-tiap kelas, kalau pembagiannya merata!” kataku lagi.
Harapan Angie muncul lagi, walaupun hanya tipis. Berhubung waktu telah menunjukkan pukul 9pm, aku tidak menawari Angie ke sekolahnya untuk melihat pengumuman itu sendiri. (FYI, aku belum bisa sepenuhnya menghilangkan kebiasaan ‘jam malam’ yang dimulai pukul 9pm di PT56.)
Namun ternyata malam itu Angie tidak bisa tertidur lelap sampai pukul 2 dini hari.
*****
Hari Minggu 13 Juli 08 aku dan adikku ikut ‘fun bike’ yang diselenggarakan oleh sebuah pasar swalayan di Semarang dalam rangka memperingati ulang tahun pasar swalayan tersebut yang ke30. Kita meninggalkan rumah pukul 05.45, Angie masih mendengkur di tempat tidur.
Pukul 09.30 aku dan adikku sudah ramai berkicau di ruang tamu PT56, bercerita to our dearest Mom tentang pengalaman kami berdua mengikuti ‘fun bike’ yang jarak tempuhnya mencapai 12,5 kilometer. Sampai akhirnya aku ingat Angie yang ingin melihat pengumuman pembagian kelas itu sendiri.
Sekalian olah raga dan ngirit bensin, aku dan Angie ke SMA N 3 naik sepeda, aku naik WINNER, Angie naik POLYGON PREMIERE milik adikku.
Ternyata ...
Rampink tidak sedang iseng ngerjain Angie. Angie memang satu-satunya anak ‘es conelo’ di kelas XII IA 10 tahun ajaran 2008/2009.
Angie pun terlihat gusar.
“Honey, believe me, you will find new good friends later. Okay?” Begitu aku terus menerus meyakinkannya.
LL 12.04 140708

Wednesday, June 25, 2008

Sabtu 21 Juni 2008

Hari kenaikan kelas. Alias hari pembagian raport.
Karena undangan untuk orang tua murid jam 10.00, pagi hari aku masih sempat ke Paradise Club dulu. Aku berangkat naik sepeda mini kiriman kakakku dari Cirebon beberapa bulan yang lalu. Ternyata ... memang lebih melelahkan dibandingkan naik sepeda federal. 
Jam 09.15 aku sudah selesai mandi, dan menyuruh Angie untuk segera mandi pula.
Pukul 09.30 waktu kita berdua sedang siap-siap berangkat ke SMA N 3 Semarang, sekolah Angie sekarang ini, atau sekolahku dulu di tahun 1983-1986, Angie ‘melancarkan aksinya’.
“Entar Mama jangan pakai sepatu boots ya?”
“Emang kenapa?” tanyaku.
“Terlalu mencolok ah,” protesnya. LOL. “Mama mau pakai baju apa nanti?” tanyanya.
“Hmm ... celana jeans plus T-shirt ungu yang dibelikan Lily di Bandung?” tanyaku. Aku heran kenapa pula Angie ingin tahu bagaimana aku akan berpenampilan di sekolahnya nanti. 
“Hmm ... Angie udah mengiranya.” Katanya.
Kok bisa ya? Padahal baru pagi itu aku ingat kalau aku punya T-shirt ungu cerah berhiaskan manik-manik, pemberian Lily. Sudah lama T-shirt itu tidak kupakai.
“If I am not mistaken, semester kemarin di kelas Angie cuma Mama deh yang mengenakan celana jeans, yang lain berpenampilan ‘ibu-ibu’ gitu deh.” Kataku.
“Kalau Mama pakai celana jeans, Mama mau pakai ‘sepatu gunung’ ah.” Sambungku.
Angie langsung memonyongkan mulutnya.
“Well how about these honey?” tanyaku, sambil menunjuk sepatu model terbuka, yang menurutku terlalu seksi karena terbuka begitu.
“Ah good Mama. Pakai sepatu ini aja,” jawabnya.
“Do you forget I have these shoes? Ini sepatu yang Mama beli untuk ujian tesis, kemudian juga Mama pakai waktu wisuda S2,” terangku.
Mungkin di mata Angie, sepatu berhak lima sentimeter plus cukup terbuka itu, sangat feminin dan pantas kukenakan waktu bersamanya ke sekolah mengambil raport, sehingga dia senang mendengarku akan memakai sepatu itu. FYI, dia jarang mau ngikut ke sekolah waktu mengambil raport. Dia lebih suka ngendon di rumah.
“Berarti entar Mama pakai rok aja,” kataku.
Angie mengangguk-angguk.
Waktu aku menunjukkan dua buah T-shirt yang akan kupakai, tidak jadi yang ungu cerah, dia memilih yang bermodel feminin, warna hitam, berhiaskan manik-manik di bagian dada.
“Honey, Mama bener-bener nampak seperti ‘ibu-ibu’ nih!” komplainku, waktu kita siap akan berangkat.
“Loh, bukannya peran Mama kali ini memang menjadi seorang Ibu?” komentar Angie. LOL.
*****
Sampai di sekolah kurang lebih pukul 10.10.
Waktu berjalan dari tempat parkir menuju kelas Angie, Angie mengkritik caraku berjalan, “Mama jangan terlalu membusungkan dada gitu dong Ma?!?”
Ealah, repot amat setelah anakku berusia 17 tahun yak? LOL.
“Loh Sayang, bukannya memang begini cara Mama berjalan? Masak Mama disuruh membungkukkan badan gini? Kan ya ga lucu?!?”
Sesampai di depan kelas Angie, dia langsung berbaur dengan teman-temannya sekelas, dan aku masuk kelas. Belum banyak orang tua/wali murid yang ada di dalam. Kurang dari 10 orang kalau tidak salah. Aku langsung menempatkan diri di samping seorang perempuan kurang lebih sebaya denganku, mengenakan jilbab, yang duduk di bangku nomor 2, lajur ketiga dari pintu masuk. Dia adalah teman akrabku waktu kita duduk di bangku SMP kelas 1.
Aku bersyukur wali kelas Angie tidak terlalu banyak berbicara di depan kelas. Tak lama setelah aku duduk, beliau langsung mempersilakan siapa yang datang lebih dahulu untuk segera menemuinya untuk mengambil raport.
“Padahal aku tadi datang nomor satu, tapi aku ga langsung masuk, duduk-duduk di luar dulu,” kata temanku, berbisik di telinga.
“Kenapa kamu ga langsung masuk saja?” tanyaku.
“Males, lha wong banyak anak-anak yang duduk di dalam kelas tadi,” katanya.
“Ya sudah salahmu sendiri. Ga usah protes,” jawabku.
Aku ingin acara pengambilan raport ini segera berlalu.
Meskipun dulu kita sangat akrab, sekarang aku justru merasa tidak nyaman berada bersamanya. Satu hal utama: dia suka memamerkan kekayaannya. Well, bukan karena aku iri padanya karena dia kaya, tapi kurasa tidak sopan saja tiba-tiba dia berbicara, “Aku ke sini tadi naik mobil yang nyetir anakku. Padahal dia belum punya SIM A.”
Aku tahu dia hanya ingin bilang ke aku, “Na, aku punya mobil sekarang.” Tentu saja tidak masalah anaknya belum punya SIM A karena toh kalau ketangkap petugas, adiknya yang bekerja sebagai polisi bisa membebaskannya dengan mudah?
“Aku baru beberapa hari yang lalu pulang dari Kalimantan loh Na! Aku di sana kurang lebih satu setengah bulan.”
Aku tentu tidak akan sampai hati kalau mengatakan, “Lah, yang merhatiin anak-anakmu siapa kalau kamu keluyuran melulu mengikuti suami paruh waktumu?”
Satu hal yang pernah aku debatkan bersamanya beberapa tahun lalu waktu dia cerita menikah siri dengan seorang laki-laki yang sudah bersuami. Di awal, dia bilang dia ‘ditipu’ oleh laki-laki itu yang mengaku sebagai bujang lapuk. Di kemudian hari, dia bilang ke aku kalau istri pertama suaminya itu tidak layak menjadi istri karena tidak becus mengurusi suami. Ditambahi bumbu, “Mertuaku jauh lebih sayang kepadaku loh Na, dibandingin istri yang pertama.”
Aku bilang kalau dia tidak berhak menghakimi istri pertamanya seperti itu karena di mataku justru suaminya yang brengsek karena berbohong mengaku sebagai bujang lapuk waktu akan menikahinya. Aku juga bilang kalau dia tidak berhak merebut suami orang.
You can guess dia langsung ngeles ini itu tatkala mendengarku berkata seperti itu, dan bukannya ‘membelanya’ karena dia adalah temanku dan aku tidak mengenal istri pertama suaminya.
Aku tidak ingin berbicara banyak padanya sehingga aku lebih memilih diam.
Untunglah tak lama kemudian nama anaknya dipanggil. Setelah menerima raport, dia langsung keluar kelas.
Waktu wali kelas Angie memanggil nama, “Dzikrina ...?”
Aku langsung maju.
“Angie ya Bu nama panggilannya?” tanya wali kelas Angie itu.
Aku mengangguk-angguk.
“Di kelas Angie adalah anak yang pendiam,” katanya.
“Oh? Di rumah dia banyak omong, terutama kepada saya,” kataku.
“Kalau tiika ditanya, dia tidak mau ngomong apa-apa. Dia harus dipancing dulu,” jelasnya.
“Oh, itu namanya dia tidak mau menonjolkan diri,” kataku. LOL.
“Tapi nilai-nilainya bagus kok,” katanya, sambil melihat raport Angie secara sekilas. “Semua tuntas.”
“Alhamdulillah,” jawabku.
Setelah bersalaman, aku keluar.
Ternyata di depan kelas, temanku itu masih berdiri di sana, bersama anaknya.
Tak lama aku beramah-tamah dengannya, aku langsung mengajak Angie pergi.
“Kita mau jalan-jalan,” kataku.
Dari sekolah, kita meluncur ke kawasan Tembalang. Kita berdua makan siang di “Sim-Six resto garden” yang tepatnya berlokasi di Jalan Ngesrep Timur V nomor 25 Semarang.
Naik kelas menurutku adalah kewajiban setiap anak, yang harus mereka persembahkan untuk orang tuanya. Menraktir mereka makan enak (“berwisata kuliner” kata Angie) bagiku adalah salah satu cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk menunjukkan rasa suka cita mereka, sekaligus rasa terima kasih mereka kepada sang anak yang telah berupaya keras untuk belajar dengan baik. Demi masa depan anak-anak itu sendiri.
PT56 16.56 210608

Saturday, June 14, 2008

This term: 2/2008

I remember at the very beginning of this term when Angie was about to resume her English course (in my workplace so that she could be free of charge ), we were discussing what days and time she would study. The only class she could join was only on Tuesday-Thursday from 19.00-21.00. I could not take her to the English course since I had a class finishing at 19.00 at another branch, located 11 kilometers away from the first branch. I asked her to go by public transportation but Angie didn’t feel secure. She told me one case of her schoolmate who got abused by a driver of public transportation. She refused to go by ‘becak’ (pedicab) too because she was worried about the same thing—to be abused by the ‘becak driver’.
Eventually the problem was solved because my youngest sister was available to take Angie to the English course. I could pick her up when going home.
FYI, I always feel uncomfortable to make other people—although they are my very own sisters—busy, dealing with taking care of Angie. I always want to do anything by myself; such as to take her to the English course and to pick her up, including to/from school. However, since I am a single parent so that I have to work to make our (Angie and me) ends meet, I am not always available to do that. And I always feel guilty for that.
Going back to the previous case. Thursday June 12, it rained heavily from 17.00 in Semarang. Angie sent me a message, “Mama, when will I have the written test?”
To reply her message, I called her, “You will have the test today, honey. You will go for that, won’t you?”
“But it is raining cats and dogs here.” She said.
“Yes, it is raining heavily too here. So, will you take the test today or will you take the makeup test next June 20?”
“Perhaps I will take the test today Ma.” She decided.
However, seeing that the rain didn’t slow down a bit, I started to think if it would be better for Angie to take the makeup test. I started to feel uncomfortable and guilty toward my youngest sister to bother her to take Angie to the course in such a bad weather. But I didn’t do anything, such as calling Angie again to suggest her to take the makeup test, or calling my youngest sister, asking her whether she really wouldn’t mind taking Angie to the English course. FYI, my youngest sister has poor eyesight, much poorer than mine because she has to wear glasses minus 10. It would be very risky for her to ride a motorcycle in the night under the heavy rain, plus the electricity is off.
That’s it. The uncomfortable and guilty feeling toward my youngest sister, my hurried trip from one branch to the main branch, feeling anxious whether Angie would attend the written test on the schedule, were mixed together. And what did I find after arriving? After feeling excited that I would find Angie soon (after a workmate told me that she saw Angie several minutes before), in fact Angie was away. And she herself didn’t know where she would be taken by her classmates.
I have been indoctrinating myself to be a feminist since 2003. I have been convincing myself that it is okay for me not always having full time to take care of my only daughter (read => not to be a “full-time mother” for her). But still, I have oftentimes been haunted by guilty feeling.
The result of the patriarchal indoctrination is in fact still strong in me.
LL 17.20 130608

Angie

“Ms. Nana, you were not rough to Angie last night, were you?”
A workmate asked me—as a greeting—when I entered the teachers’ room around an hour ago (this is Friday June 13, 2008).
“Of course not at all,” I answered, feeling like something tickled my stomach hearing her choosing the word ‘rough’. She really likes exaggerating anything, I guess. LOL.
“I was not angry with her, actually.” I continued saying.
This workmate of mine looked into my face, expecting me to explain more.
“I was angry with the situation, perhaps.” I felt a bit amused when finding that my workmates looked at me, astonished with what I just said.
“You know. I went back from Tembalang branch in such a bad weather—it rained very heavily—in a hurry. The electricity was off too. I came here, wanting to see whether Angie came to attend the written test or not. I really wanted to see her here. Rahma told me that she saw Angie a few minutes before. So to find out where she was, I called her cell phone number, ‘Where are you now honey?’ She said, ‘On the street Mum.’ Feeling puzzled, I asked, ‘Street where?’ I thought she was on the street in front of our office, but I was wondering why she didn’t see me coming and entering the office building? Although it was dark—due to the blackout—I believe Angie could see me clearly. Then she said, ‘I’m on the way Mum, with my classmates.’ You can imagine how disappointed I was. I rode the motorcycle in a hurry, to find her here. And in fact she went away with her classmates, without asking for my permission. And I didn’t have any idea where she was. ‘On the way where? What do you mean?’ I asked. She said, ‘Well, a classmate is going to treat us tonight. But I don’t know where we will have our dinner.’”
“So, honey, what am I supposed to do now?” I asked Angie, disappointed.
“Wait for me at the office, Mama?” begged Angie, slowly, not sure whether I would be willing to wait for her.
“What am I supposed to do while waiting for you?” my voice still sounded harsh, I believe.
Angie didn’t answer.
“You know honey there are two things I want to do so that I don’t mind waiting. The first is reading. The second is scribbling anything. And you know when the electricity is off like now, I CANNOT DO THOSE TWO THINGS. How could you ask me to wait for you at the office when I can do nothing?”
Then Angie suggested an idea, “How about going online Mama?” her voice sounded very soft, showing she was not sure with that idea.
“Honey, the electricity is off. The cyber cafes close to the office must be close because of that.” I said.
“Ah … yes. …” Angie got stuck.
“Listen to me. I don’t want to wait for you here. You go home by yourself. Ask someone, your classmate to take you home!” I said that sternly.
“But Mama, how can I ask anybody here to bring me home? I cannot.”
“Honey, this is your responsibility since you go without my permission and you know that I will pick you up here. I am here already and you are nowhere I know. I don’t want to wait for you.”
Feeling upset, I hung up the phone.
“Oh, actually there are some people ready to take Angie home, of course.” My workmate, who happened to be Angie’s class teacher this term, told me.
“Well, I didn’t know if you joined the crowd. If I had known, I would have asked Angie to give her cell phone to you and I would have talked to you directly to be responsible to take Angie home.”
“Well, after Mima called you, and I talked to you using her cell phone, and you guaranteed that there would be someone to take Angie home, I was relieved already.”
“Oh, that is the problem. I thought you were angry because I asked Angie to go out while in fact she had to study to prepare the promotion test at her school.”
“Last night I accompanied Angie to study until 23.30. It was fine with that.”
Another workmate jokingly said, “Ah, you were supposed to ask Ardi to accompany Angie to study until that late. Don’t let her go away when she brought Angie home.”
LOL.
“I cannot be mad at Angie. That’s for sure.” I told my workmates.
LL 15.55 130608

Thursday, April 17, 2008

Angie's 17th birthday

Angie reaches the age of seventeen!!!

Rasanya baru kemarin dia suka nggigitin putingku tatkala dia sedang minum minuman terbaik untuk bayi—ASI. Atau mungkin dalam hal ini ASI bisa diganti menjadi ASMN, singkatan dari ‘air susu Mama Nana’. LOL. LOL. Kalau kemudian aku meringis kesakitan, Angie memandangku dengan sorot mata bandel plus iseng, seakan bertanya, “Sakit ya Ma? Kok Angie enak aja? Abisnya, ‘bittenable’ sih...” gitu kali makna pandangan mata itu. LOL. 


Aku ingat tatkala aku duduk di bangku SMA, banyak teman sekolahku yang khusus mengadakan ‘perayaan’ pesta ulang tahun yang ketujuhbelas. Aku—yang di’juluk’i Abangku korban norma yang dibuat oleh masyarakat; and he is 100% right—pun ikut-ikutan. Hal ini membuatku menerka-nerka apakah Angie pun ingin merayakan ulang tahunnya yang ketujuhbelas, yang jatuh pada tanggal 8 April 2008 yang lalu. Namun ternyata ‘Bintang Cantik’ku ini tidak tertarik untuk mengadakan apa yang dulu diselenggarakan oleh my dearest Mom untuk anak perempuannya yang pertama.


No matter what, aku tetaplah menganggap bahwa angka 17 merupakan angka spesial, sehingga aku ingin melakukan sesuatu yang spesial pula buat anak semata wayangku itu. Pilihanku adalah, membelikannya sebuah hape baru. Untuk mendapatkan jenis hape yang dia inginkan, aku beli tabloid PULSA yang khusus mengulas berbagai macam hape. Setelah menimbang-nimbang (dari segi features yang ada, plus harga yang ‘ekonomis’ , akhirnya Angie memilih hape Sony Ericsson K550i. 


Selain itu, sebenarnya aku ingin menraktir Angie dan beberapa teman dekatnya. Alasan yang kukemukakan kepada Angie, “Mama pengen liat teman-teman Angie yang biasa Angie sebut namanya, such as Lia (yang suka manggil Angie “Cinta”, lha kok saingan dengan nyokapnya? LOL), ‘Rampinq’ (bukan nama sebenarnya tentu saja, hanya nama julukan, saking rampingnya anak satu ini) dan beberapa yang lain. Rencana makan siang bersama ini tanggal 9 April karena kebetulan aku masuk ngajar jam 5, sehingga aku bisa ikut menemani anak-anak itu makan siang, sepulang dari sekolah jam 13.30, dan ga perlu terburu-buru. Namun, ternyata rencana ini gagal lantaran kelas Angie hari itu menghadapi pertandingan sepak bola dengan kelas lain (dalam rangka ‘liga SMA3 Semarang’). Angie memilih membatalkan acara makan siang, dan ikut menjadi ‘penggembira’ tim sepak bola kelasnya, bersama teman-teman sekelasnya.



Diam-diam, teman-teman Angie merencanakan sesuatu, untuk membuat Angie selalu ingat peristiwa ulang tahunnya yang ketujuhbelas. Guess what? 


Mereka memberi Angie hadiah yang serba Mickey Mouse (untuk alasan yang private, aku tidak menuliskannya di sini mengapa Angie suka banget pada Mickey Mouse akhir-akhir ini. :)) mulai dari tempat hape, tempat pensil, gantungan hape, ketiganya dihiasi gambar Mickey Mouse, plus boneka Mickey Mouse, dan boneka mungil Mashimaru (if I am not mistaken to remember the name. LOL.)
Selain itu ...


Seusai pertandingan sepak bola yang berakhir seri, Angie di’hujani’ tepung terigu oleh teman-temannya. Plus ... di’kucurin’ telur dari atas kepala sampai kaki, sehingga praktis Angie berbau amis seluruh tubuhnya, termasuk seragam sekolah, tas, sampai sepatu dan kaos kaki. 


Sampai hari ini (Senin 14 April 08) Angie masih komplain bau amis telur yang menurut hidungnya masih menempel di seragam sekolahnya, meskipun telah dicuci berkali-kali, direndam di dalam air yang dicampur pewangi dan pelembut, plus disemprotin parfum sampai setengah botol. LOL. 


Hari Minggu 13 April 08 kemarin aku mengajaknya ke salah satu toko yang berjualan hape, yang terletak di jalan Singosari Raya. Aku membelikannya hape yang dia inginkan (karena ada cybershot) K550i. Sangking senangnya dengan hape yang berwarna hitam cute itu, waktu kita berdua mampir di SANTIAGO, rumah makan tempat kita makan siang, Angie menjadikanku model saat dia mencoba-coba kamera yang ada di d

alam hape barunya. LOL. Sesampai di rumah, ga henti-henti dia mencium pipiku.
Btw, tatkala membaca SANG PEMIMPI, novel kedua Andrea Hirata dalam tetralogi LASKAR PELANGI, ada satu adegan yang sangat menyentuh perasaanku, tatkala Ikal mengekspresikan rasa sayang, hormat, dan kekagumannya kepada ayahnya, karena sang ayah tetap merasa bangga kepada anak kelimanya itu, meskipun sang anak ‘terjungkal’ dari rangking 3 ke rangking 75.

“ ... dan riak-riaknya yang berkecipuk siang dan malam adalah nyanyian sunyi rasa sayangku yang tak bertepi untuk ayahku.” (halaman 155)

Jika ada pepatah yang mengatakan “cinta seorang anak (konon hanya) sepanjang galah, sedangkan cinta ibu kepada anaknya sepanjang jalan”, aku ingin sekali satu saat nanti, Angie pun mengekspresikan cintanya kepadaku, “Sayangku pada Mama tak akan lekang dimakan usia.”

Happy birthday, my beloved daughter.
Wish you all the best of the best for your life.
I have always loved you deeply.
And I will always love you forever.


PT56 140408

Friday, March 28, 2008

Jumat 28 Maret 2008

Mumpung libur dari kantor, setelah jemput Angie pulang sekolah pukul 11.30, aku mengajaknya ke KAMPUNG NASI, tempat aku pernah makan dua kali, diajak oleh Rahma, one workmate of mine. Pertama kali aku kesana bareng Rahma, and I loved the atmosphere, plus harga yang lumayan terjangkau buatku, aku sudah kepengen mengajak Angie makan di sana kapan-kapan. But berhubung KAMPUNG NASI libur pada hari Minggu, dan buka hanya pukul 07.00-15.00, aku harus menunggu term break dari kantor, baru bisa nraktir Angie ke sana.
Empat hari kemarin aku sibuk ngikut training di kantor, so meskipun Angie juga libur sekolah selama tiga hari--karena kakak kelasnya sedang try out ujian akhir--aku belum bisa ngajak Angie ke sana.
Di KAMPUNG NASI, aku memesankan Angie 'nasi timbel' berhubung Angie ga tahu dia mau pesan apa. Aku sendiri pesan ayam bumbu asam manis. Untuk minuman, Angie pesan es shanghai, aku pesan es teler. Setelah sang waitress pergi, Angie bertanya kepadaku,
"Tadi ada menu 'nasi goreng kolonial', tapi dari gambarnya kok kayak nasi goreng biasa. Kenapa juga diberi nama 'kolonial'?"
"Do you want to order it, honey?" tanyaku agak menyesal karena Angie tadi ga bilang apa-apa waktu sang waitress menunggu kita mau pesan apa.
"Engga kok, Ma. Cuma heran aja dengan namanya," jawab Angie.
"Or will you like it if we come here again tomorrow, after school? You can oder that menu," I proposed an idea.
Angie tertawa lebar.
"Bagaimana kalau kita coba semua menu yang ada? Setelah itu kita pindah ke rumah makan yang lain?" jawabnya. LOL.

*******

At 1pm, Angie was supposed to get additional lesson, TOEIC Preparation at school, but Angie said she didn't want to attend it. Ya udah, kita jadinya santai aja menikmati makanan kita.
"Entar sebelum pulang Angie mau fotocopy dulu ya Ma? Di dekat rumah kita ada ga sih?" tanya Angie.
"Bukannya di dekat sekolah Angie ada fotocopy center?"
"Males ke situ Ma. Yang kerja di situ ga ramah sama sekali, selalu cemberut. Ga pernah sekalipun tersenyum."
"I sometimes think that being a photocopy center worker is a very boring thing to do. The job is not challenging at all, as well as boring." kataku sembari menirukan lagak seseorang sedang fotocopy: berdiri di samping fotocopy machine, mengulak-alik lembaran-lembaran kertas. Begitu melulu, dari pagi sampai sore/malam.
Angie ketawa melihatku bertingkah seperti itu.
"Do you know what people did in the past before the photocopier was invented?"
Angie diam saja, sembari berusaha membayangkan bagaimana orang-orang zaman dulu menyalin sesuatu. "Did they rewrite it?" tanyanya.
"Exactly! You know some law firms sometimes needed copies of some important documents so they asked someone to rewrite it. People working like that were called THE SCRIVENER. I remember once I read a short story entitled BARTLEBY THE SCRIVENER by Herman Melville. At the end, the character committed suicide because of feeling bored and pessimistic looking at the world. In short, the story is like that."
Angie ngikik mendengarnya. Apalagi waktu aku bilang, "Mana dia matinya berdiri menghadap tembok lagi!"

*******


From KAMPUNG NASI, I invited Angie to drop by at warnet, mumpung liburan, aku puas-puasin ngenetnya, setelah sekian luamaaaaaaaa ... aku jarang ngenet. :)

KPDE 15.12 280308

Monday, February 18, 2008

Angie berenang

‘Ketiba-tibaan’ Angie untuk kembali ikut berenang bersamaku membuat kita berdua berebut kacamata berenang. Kacamata renang Angie yang lama (beli tahun 2002) terpaksa kupakai, dan aku harus merelakan Angie memakai kacamata renangku yang kubeli pertengahan tahun 2006 lalu, karena kacamata renangku yang kubeli bareng dengan kacamata renang Angie hilang waktu itu. (I might accidentally have left them in the shower room of the pool!) Biasalah, seorang anak maunya pake barang yang baru dibeli, dan memaksa nyokapnya memakai barang lama. LOL. (Does it happen to everyone else? I think so. :) )
Namun hari Minggu kemarin tiba-tiba aku mendapati kacamata renang ‘tua’ itu patah tatkala aku akan memakainya. Terpaksa hari Minggu kemarin aku tidak memakai kacamata tatkala berenang. Tanpa kacamata tentu aku tidak tahan berenang lama. Kalaupun tahan, mataku akan mudah terkena iritasi dan berubah warna menjadi merah. Tidak bagus untuk kesehatan mata.
Itu sebab hari Rabu 6 Februari kemarin aku menyempatkan diri ke Mall Ciputra untuk membeli kacamata renang. Demi efisiensi waktu aku tidak masuk ke dalam mall, karena ada satu toko jualan alat-alat/baju olah raga tak jauh dari tempat aku memarkir motor, di deretan luar mall.
Kamu percayakah bahwa para penjual—atau para salesperson—senantiasa melakukan taksiran kepada para calon pembeli? Salah satu pengalamanku: tatkala aku hanging out dengan Angie mengenakan busana yang lumayan keren, para salespersons serta merta menawariku membeli ini itu. LOL. Dibandingkan dengan tatkala aku ‘hanya’ mengenakan celana jeans, T-shirt biasa, tanpa manik-manik, plus sepatu ‘biasa’ tak satu pun salesperson yang tertarik menyapaku. LOL.
Demikian pula tatkala aku memasuki toko olahraga tersebut. Seorang perempuan menyapa, “Mencari apa mbak?”
“Kacamata renang,” jawabku.
Dia langsung mengambilkan sepasang kacamata renang, dengan harga berkisar 70.000-an. Namun berhubung warnanya kuning ngejreng, aku langsung menolak, “Yang warna hitam mbak!” kataku.
Dia langsung mengambilkan sepasang kacamata renang, warna hitam, seharga Rp. 40.000,00. Tentu saja aku senang dengan harga yang sangat ekonomis itu (sebagai perbandingan, di tahun 2002, aku membeli kacamata renang seharga Rp. 40.000,00. Tahun 2006 lalu seharga Rp. 65,000,00.) Namun tatkala aku mencobanya, aku tidak menyukainya.  Ada kesan tidak pas, plus kaca yang agak buram. (Memang di kolam renang, tak bakal ada ‘kecelakaan’ yang mematikan kalau hanya bertabrakan dengan perenang lain karena kacamata renang yang buram.)
Sewaktu aku mencoba itu, si perempuan itu bertanya, yang lebih cenderung ke ‘tuduhan’ daripada ‘pertanyaan’ (atau mungkin karena aku sedang PMS, sehingga kadar sensi tinggi.) “Mbak-e ga kerja?”
“Nanti masuk jam 3.”
“Kerja dimana kok masuk jam 3?” tanyanya (tentu saja kali ini pure pertanyaan, dan bukan tuduhan. LOL.)
(Aku langsung berpikir dia sedang mencoba menaksir kemampuanku untuk membeli kacamata renang berharga berapa dengan pertanyaan itu. LOL.)
“LIA,” jawabku pendek.
“Emang LIA apaan sih?” tanyanya lagi. (This is really not a big deal for me if people don’t know what kind of institution LIA is.)
“Kursus Bahasa Inggris.”
Selain itu sesi ‘interogasi’ masih terus berjalan sementara aku juga terus mencoba kacamata yang lain. Dia berusaha meyakinkanku bahwa kacamata pilihannya yang seharga Rp. 40.000,00 itu lumayan bagus, karena dia telah membelikan sepasang untuk anaknya, dan kacamata itu awet sampai sekitar 3-4 tahun, asal setelah selesai berenang, kacamata langsung dibasuh dengan air bersih, untuk menghapus sisa-sisa kaporit yang menempel.
“Saya telah membelikan kacamata renang buat anak saya tatkala dia duduk di kelas 3 SD. Sekarang dia telah duduk di bangku SMP.”
Perhatikan kata TELAH yang dia pakai. Sebagai seseorang yang berkutat dengan bahasa, pemilihan kosa kata, plus interpretasi di balik pemilihan kosa kata itu hampir tiap hari, aku langsung menginterpretasikan kalimatnya yang terakhir sebagai, “Kok mbak baru beli kacamata renang sekarang? Ga punya duit ya?” LOL. LOL.
Untuk menjawab pernyataan itu, aku bilang, “Kacamata renang yang kupakai, yang kubeli 6 tahun lalu rusak. Itu sebab aku beli yang baru lagi.”
Aku agak ‘tinggi hati’ juga, tidak mau dituduh ‘ga punya duit ya’? LOL. Sehingga aku merasa perlu untuk ‘pamer’ bahwa aku telah punya kacamata renang sebelum itu.
Karena aku termasuk agak ‘rewel’ dengan kacamata yang dia tawarkan, akhirnya dia menunjuk kacamata yang seharga Rp. 110.000,00. “Atau mau yang itu mbak? Tapi harganya mahal.”
Kalimatnya yang kedua “tapi harganya mahal” bisa diinterpretasikan dengan, “Can you afford that?” LOL.
Aku langsung memintanya untuk mengambilkan yang seharga Rp. 110.000,00. Setelah mencobanya, dan langsung merasa cocok, aku serta merta bilang, “Saya minta yang ini aja mbak. Paling enak dipakai, dibandingkan yang lain.”
Sempat kulihat dia melongo, LOL, sebelum akhirnya menuliskan nota buatku.
Well, sebenarnya aku sudah merasa terganggu dengan pertanyaan alias tuduhannya yang pertama, “Mbak ga kerja ya?” seolah-olah di jidatku ini tertulis, “housewife, financially dependent on man” karena pukul 11.30 keluyuran ke mall, memakai bukan busana kerja (I was wearing jeans, T-shirt, jacket—showing I was riding a motorcycle and not driving a car, that meant I did not belong to the haves, that probably wouldn’t spend much money to buy a pair of googles—and carrying a cute backpack.)
Hal ini tidak berarti aku menyepelekan para perempuan yang memilih sebagai housewife karena bagiku menjadi housewife justru merupakan pilihan yang sangat sulit. Being financially dependent on a man akan membuatku meletakkan diri sebagai the second sex, tanpa kusadari, karena (masih) terlalu melekatnya stigma itu di benakku meskipun aku telah membaptis diri menjadi seorang feminis semenjak tahun 2003. Karena aku ingin melepaskan stigma itu dari hidupku, aku memilih untuk menjadi a single parent. Salah satu hal yang diperjuangkan oleh para feminis adalah kebebasan untuk memilih dalam hidup, apakah ingin bekerja untuk menjadi financially independent, ataukah memilih untuk menjadi a full housewife. Seorang perempuan hanya butuh menjadi manusia biasa, dan tidak perlu menjadi seorang superwoman (dengan membebani diri menjadi a good housewife, a good mother, a good career woman, a good social worker who cares much to the neighborhood, etc). Namun, seandainya ada seorang perempuan yang mendapatkan kebahagiaan dengan memaksa diri menjadi seorang superwoman, ya silakan saja, dengan catatan tetap menghargai pilihan perempuan lain—such as being a single woman, being a full career woman although she is married, being a single parent, dll. Tidak perlu ada paksaan bahwa seorang perempuan harus (atawa sebaiknya) berkarir di dalam rumah saja, agar tetap bisa menjadi a full housewife plus a full mother, untuk memberi kesempatan kepada suaminya untuk berkiprah di ranah publik. Beri perempuan hak untuk memilih, dan jangan memakai agama maupun budaya sebagai alat untuk memasung perempuan.
What the hell have I been scribbling? Lha wong dari beli kacamata renang kok menjadi hak-hak perempuan? LOL. Maklum, feminis gitu loh. Cie ... LOL.
PT56 18.40 070108

I M L E K

Kamis 7 Februari merupakan hari libur nasional karena bertepatan dengan Imlek, alias tahun baru Cina. Sejak aku melek, sekitar pukul 04.30 pagi hari, aku telah mendengar percikan air hujan di luar. Mungkin sejak semalam hujan turun terus menerus. Tanda peruntungan yang baik, kata orang-orang Cina. (So I heard.)
Aku pun melanjutkan meringkuk di bawah selimut, plus memeluk guling kesayanganku saampai satu jam kemudian.
Setelah mengerjakan ‘tugas rumah di pagi hari’, aku bersiap-siap berangkat berenang sekitar pukul 06.30. Hujan sudah agak mereda, tinggal gerimis. Aku iseng membangunkan Angie untuk ikut berenang. (FYI, Angie ‘mogok’ ikut berenang selama beberapa tahun. Baru mulai bulan Januari kemarin dia tiba-tiba bilang kepengen ikut berenang, karena dia ingin berolahraga. ‘Ketiba-tibaan’ itu berbuah aku harus mengeluarkan ekstra uang untuk membelikannya baju renang, plus membelikan tiket berenang ‘terusan’ bulan kemarin. (Tiket terusan berarti, aku langsung membeli 10 lembar tiket yang berlaku selama 3 bulan. Dengan membeli tiket terusan, aku bisa menghemat Rp. 3500,00 per tiket.) Dan ternyata Angie tidak keberatan untuk berangkat berenang denganku.
FYI, ada satu ‘dampak’ kalau aku berangkat berenang berdua dengan Angie: aku tidak bisa berenang secara maksimal karena Angie sering memaksaku berhenti dan ngerumpi di pojokan. So, kalau sendirian, aku bisa berenang 25 m kali 50 kali dalam waktu satu jam, bersama Angie aku bisa berenang 20 kali sepanjang 25 m itu aja sudah cukup bagus.
Dan pagi tadi, seharusnya aku bisa menikmati cuaca mendung, plus sesekali gerimis disertai angin berhembus cukup kencang (suasana ngelangut yang kusukai, seperti yang kutulis di blog beberapa bulan yang lalu), aku tidak bisa. Beberapa hari terakhir ini aku dan Angie memang sangat jarang memiliki waktu untuk berbincang-bincang berhubung Angie sibuk melulu sepulang sekolah mengerjakan satu tugas besar: mempersiapkan drama untuk pelajaran Bahasa Indonesia bersama teman-teman satu kelompoknya. Dia baru sampai rumah sekitar pukul 17.00, bahkan kadang lebih. (Sama sibuknya tatkala dia mengerjakan tugas membuat film dalam pelajaran Bahasa Inggris semester lalu). Tatkala aku pulang kerja, Angie sudah tidur kecapekan.
Di kolam renang tidak banyak orang lain, hanya sekitar 5 orang, termasuk aku dan Angie. ‘Berendam’ di kolam selama kurang lebih 2 jam, paling banter aku berenang hanya 750m, sisanya ya itu tadi, ngobrol dengan Angie.
Sekitar pukul 08.45 Angie sudah memaksaku berhenti berenang dan segera ke shower room untuk mandi.
Keluar dari shower room setengah jam kemudian, hujan turun dengan deras. Uh ... my mouth really watered because I wanted to jump to the pool again!!! And this time, alone, without Angie. Ingin aku menikmati tamparan air hujan di wajahku, disertai angin yang bertiup lumayan kencang. Ingin aku merasa ngelangut karena cuaca yang muram. Betapa inginku digigit kesunyian yang perih. (What a sado masochist I am!!!)
“Silakan loh kalo Mama mau nyebur lagi!” goda Angie, melihatku memandangi air kolam yang beriak-riak kecil dengan sorot mata orang yang sedang nyidam. LOL.
Aku tahu seandainya aku benar-benar nyebur lagi, Angie bakal protes berat. Akhirnya kita hanya nongkrong di bangku tempatku biasa nongkrong, sembari menyeruput secangkir nescafe panas untuk berdua.
Sepulang dari kolam renang, setelah mencuci baju renang kita berdua, aku dan Angie kembali menempatkan diri di atas tempat tidur yang hangat, meringkuk di bawah selimut, beralaskan bantal cinta pemberian mbak Icha.
What a nice start to enter the ‘mouse year’ according to the Chinese calendar. It rained all day!!!
PT56 17.00 070108